Tuesday, December 11, 2012

Air Mata di Tengah Malam


Air Mata di Tengah Malam

Well, ini namanya (baca juga : judulnya) menangis semalam. Jam sepuluh malam tadi, aku lagi ngerjain tugas kewarganegaraan. Aku sih lagi ngerjain tugas buat makalah individu, eh tiba-tiba aku malah keinget tentang makalah kelompok. Dan aku inget kejadian kemarin siang di kantin.
Aku tiba-tiba nangis, dan nggak berhenti-berhenti. Sial, kenapa lagi ini air mata nggak mau berhenti keluar, malah semakin menjadi. Apa? Karena omongan 2 temenku kah? Atau karena yang lain? 
Aku sendiri nggak paham, nggak tahu pasti. Masa iya cuma karena masalah ‘nyuruh dan minta tolong’? Emang sih sakit hati, berasa kayak semua efforts yang udah aku lakuin kurang dihargai. Aku kerja itu sampe nglembur 2 hari 2 malem, revisi juga bikin power point. Tahu sih nggak ada yang nyuruh aku buat nglakuin itu. Paham aku. Tapi emang salah ya kalau aku pengin makalah dan presentasinya jadi bagus? Toh aku mau minta tolong juga gimana? Kumpul pun pada nggak sempat. Mau kumpul Selasa juga terlalu mepet sama hari-H. Kalau aku nunggu pada kumpul terus baru ngerjain, apa nggak bakal kelabakan? Pengalaman mengajariku kok gimana nggak enaknya kelabakan ngerjain tugas gara-gara deadline-nya sebentar lagi. 
KALAU, MUNGKIN, JIKA yang terjadi cuma itu, aku masih bisa nahan diri untuk nggak nangis tapi nyatanya aku nangis. Kenapa? Segitu besarkah efek obrolan mereka? Sampai-sampai aku mikir juga, selama ini aku nggak dianggap temen ya? Ya oke, dalam permintaanku emang nggak ada kata-kata ‘tolong’ dan aku sedikit maksa kemarin siang. Tapi maksudku kan juga demi kelompok, supaya kalau ada yang perlu diedit jadi langsung aku edit. Salahku juga sih. Dia emang kelihatan nggak mood, malah aku maksa. Makin nggak mood deh dia.
Tapi karena udah terlanjur dijudge nyuruh, dan faktanya nggak ada kata-kata tolong dari mulutku, aku pun diem aja. Aku terima pandangan itu, tentu dengan goresan kecil, yang makin membersar setelah obrolan berikutnya.
‘Nyuruh? Emang siapanya?’ makin ma’jleb tuh kalimat. Tahu kok aku, itu cuma ceplosan bercanda. Aku tahu itu emang kebiasaan mereka ngobrol. Well, tapi tetep itu bikin sakit hati. Dan untuk orang yang pemikir kayak aku?? ditambah lagi respon yang satunya itu setuju sama statement itu dengan muka nggak mood dan lemesnya plus serius; coba deh bayangin sendiri gimana itu membekas di otak dan menggores di hati.
Di sisi lain aku emang ngrasa bersalah. Tapi mungkin aku sendiri juga udah capek dengan masalah-masalah lain dan beban lainnya. Pada dasarnya aku emang orang yang pemikir dan agak cengeng. Perpaduan yang gampang membuat kantung mataku membengkak.
Setiap hal kecil yang bikin beban atau yang nyakitin hati, aku nggak terlalu memikirkan, awalnya. Tapi giliran hal itu numpuk, maka perasaanku juga nggak bisa dipendam, air mata juga nggak bisa dibedung lagi. Ini salah satu ekspresiku meluapkan semua emosi yang aku rasa. Entah itu sakit hati, marah, kecewa, bingung, stres, ngrasa sendiri, ngrasa nggak ada tempat yang cocok buat aku, bahkan aku ngrasa aku emang mesti sendiri dalam keadaan ini. Aku ya cuma bisa nangis. Cerita pun mau cerita sama siapa? Cerita pun mereka belum tentu nanggepin serius. Kasih tahu pun mereka belum tentu kasih solusi.
Aku nggak ngerti kenapa banyak dari mereka susah ngerti aku, yang bener-bener aku. Aku merasa nggak ada satu pun yang bisa dekat sama aku jiwa-raga luar-dalem lahir-batin. Bahkan orang tua pun juga. Aku nggak pernah sekalipun cerita tentang masalahku atau perasaanku atau pengalamanku atau kisah-kisahku ke orang tua. Satu kalipun nggak pernah. Sama mereka pun aku nggak merasa nyaman untuk cerita segala hal, gimana sama temen dan orang lain?
Perasaan-perasaan ini cuma bisa aku simpen sendiri lah. Aku alay ya? Lebay? super duper aneh? Whatever. I don't care. This is my feeling. And they won’t understand it. Maybe never.
Dan ketika bangun pagi ini, mataku bengkak dan suaraku sedikit hilang. Hasil yang bagus sekali. -___- tapi aku lega udah nangis.

Saturday, November 17, 2012

Berawal dari Awal 5


“Sebenarnya aku sama Aula tuh mau ngerjain Awan dengan cara mengurung dia soalnya dia ulang tahun hari ini. Nanti pas dia keluar, kita nyiram dia pakai air, lempar pakai terigu, dan lain-lain. Eh, malah jadi kayak gini.” jawab Ian lalu menghela nafas.
“Oh,” respon Tyas singkat sambil terus mengetik. ”Sial banget sih nasibmu.”
Dalam hati, Ian cukup terkejut dengan sikap Tyas yang cuek dan tenang itu. “Lho, bukannya malah kamu ya yang kena sial?”
“Aku? Sial karena ke kurung? Biasa aja tuh.”
“Ke kurung mungkin emang biasa aja, tapi kan ke kurungnya sama aku, orang yang kamu sebel selangit! Gimana nggak sial tuh kamu?” kata Ian sambil melirik ke arah Tyas. Deg! Tyas berhenti mengetik tiba-tiba dan terdiam beberapa detik.
“Oh, sori deh buat yang waktu itu. Bukan maksudku kok.”
“Waktu itu yang mana?”
“Lupa apa ngelupa nih?”
“Kayaknya sih ngelupa.” sahut Ian. “Eh, uda ingat kok. Terus?”
”Ya aku minta maaf.”
“Terus?”
“Hah?? Emm, nggak seharusnya aku ngejek kamu, padahal kita kan nggak saling kenal. Ya, kan?”
“Terus?”
“Belok kanan, belok kiri pas pertigaan, belok kiri lagi di gang ke tiga, rumah pertama itu rumahnya Aula.”
“Hah? Emang aku tanya alamat rumah Aula?”
“Habisnya, dari tadi ngomongnya terus-terus mulu sih kamu!”
“Hahaha… iya terus aku mesti gimana?”
“Terjun aja sana!”
“Lho, kan nggak ada hubungannya?”
”Ya emang nggak ada!”
”Terus maksudnya apa?”
”Nggak ada maksud apa-apa.”
“Hah? Dasar aneh!”
“Siapa?”
“Kamu!”
“Emang!” celetuk Tyas sambil tetap mengetik. “Nggak beda jauh, kan?”
“Sama?”
“Kamu.”
“Sial!hahaha...” kata Ian tertawa. Kemudian terdengar bunyi ’klek’ dan pintu terbuka.
”Cielah, Restia Ningtyas sama Alfian Rizki lagi berduaan,” ledek Aula. Awan yang ada di belakangnya pun terkekeh meskipun seluruh tubuhnya basah dan dipenuhi terigu oleh Aula, Astri, dan teman-teman mereka.
”Hahaha... Wan, sumpah Wan! Ganteng banget kamu kayak gitu! Cocok banget yakin!” ejek Tyas lalu tertawa. Begitu juga dengan yang lainnya. Awalnya Awan kesal tapi akhirnya dia ikut tertawa juga.
Beberapa saat setelah itu, Tyas mengirim pesan ke Kiki. Dia mengatakan bahwa dia merasa lega karena sudah meminta maaf. Kiki pun membalas dan mengatakan bahwa dia ikut merasa senang.
Di gerbang sekolah, Tyas sedang menunggu angkutan umum bersama Aula dan Awan.
”Tadi berjalan lancarkan?” tanya Aula tiba-tiba. Kebingungan terekspresikan dari wajah Tyas, tapi beberapa detik setelahnya, ekspresi itu berubah menjadi kaget.
”Ah! Jangan bilang kalau kamu yang ada dibalik semua ini?” Aula hanya mengangguk dan berkata, ”Maaf, Yas. Tapi aku lihat semua berjalan baik kok.”
”Iya sih. Tapi itu juga berkat Kiki. Mungkin kalau nggak ada dia, aku nggak berani minta maaf ke Ian.”
”Kiki? Siapa dia?” tanya Awan. Tyas pun menceritakan kepada mereka berdua perkenalan anehnya dengan Kiki.
”Ah, itu jemputanku sudah datang. Duluan ya,” kata Tyas sambil masuk ke mobil angkutan umum.
”Ya, hati-hati,” kata Aula. Suasana hening sesaat.
”La! Dahimu berkerut tuh,” ucap Awan mengagetkan Aula. ”Kamu lagi mikir apa sih?”
”Kira-kira apa jadinya ya kalau Tyas tahu kenyataannya?” tanya Aula.
”Kenyataan apa? Hubungan antara Ian dan Kiki?” Aula hanya mengangguk. ”Ya, aku juga penasaran. Untuk sekarang kita lihat dulu aja lah perkembangannya, La.”
Begitulah awal kisah Tyas. Hubungan dengan Kiki dekat, sedangkan dengan Ian mulai tampak ada kemajuan. Padahal Kiki dan Ian adalah satu orang yang sama.
The End…?

Berawal dari Awal 4


Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu Aula, Awan, dan Astri pun tiba. Mereka memulai peran mereka masing-masing. Pagi hari, Aula membujuk Ian dan berhasil. Awan bersikap biasa seolah-olah tidak tahu apa-apa. Sedangkan Astri meminta tolong Tyas untuk datang ke sanggar sepulang sekolah nanti.
Sepulang sekolah, Ian terkejut dengan kehadiran Tyas.
“Lho? Kenapa Tyas ada di sini? Kata Aula, Tyas nggak ada dalam scenario kan?” tanya Ian dalam hati.
Tyas pun terkejut saat melihat Ian ada di dalam sanggar. Namun, Tyas pandai menyembunyikan perasaannya, sehingga dia bersikap seolah-olah Ian bukan siapa-siapa dan tidak pernah terjadi apa-apa antara dia dan Ian.
“Tyas?! Kok kamu di sini?” tanya Aula berpura-pura terkejut.
“Kamu mau aku di mana? Di tengah jalan, di kuburan, di gunung, apa di gurun gersang?”
“Di tengah samudra aja deh sana!”  jawab Awan iseng.
“Oke, aku berangkat,” sahut Tyas lalu balik kanan.
“Eh, Yas!” panggil Aula dan Awan serentak.
“Oh, jangan, jangan pegangi aku,” kata Tyas berlagak seperti di film-film.
“Ih, siapa juga yang pegang kamu? Ge-er,” tukas Awan. Tyas hanya tersenyum. Ian pun tersenyum kecil melihat tingkah Tyas itu. Tapi Tyas tidak terlalu mempedulikannya dan bertanya pada Astri apa yang bisa dia bantu.
 “Tolong kamu buat proposal tentang acara kita bulan depan. Kamu cuma tinggal mengetik kok. Sekarang aku mau ke ruang guru dulu sebentar,” katanya sambil menunjukkan setumpuk kertas di tangannya. ”Nanti aku balik lagi.” Astri pun pergi dari ruangan itu. Kemudian Tyas mulai menggantikan Astri mengetik, sedangkan Aula, Awan, dan Ian sedang asyik bermain kartu UNO.
Beberapa saat kemudian, Aula pergi keluar. Mulai tampak kecemasan dan kebingungan di wajah Ian.
“Giliranku yang keluar. Eh, tapi Tyas gimana? Apa aku ajak dia keluar ya? Ah, tapi nggak mungkin! Tapi kalau cuma aku yang keluar, yang terkurung malah mereka berdua. Kalau ada apa-apa, nanti aku, lagi, yang suruh tanggung jawab,” kata Ian dalam hati.
Tiba-tiba Awan berdiri dan berjalan keluar. Ian pun bertanya, ”Eh, mau ke mana kamu, Wan?” Awan hanya menunjukkan beberapa bungkus permen. Lalu Ian mengangguk tanpa menyadari sesuatu.
“Mau ke mana tuh Awan?” tanya Tyas dengan sikap sewajar dan setenang mungkin.
“Buang sampah di luar,” jawab Ian singkat. Detik demi detik berlalu. Suasana hening yang tidak mengenakkan. ”Kok Awan lama?” tanya Tyas mencoba mencairkan suasana.
”Entah. Mungkin buang sampahnya di ujung dunia kali.” Akhirnya Ian tersadar ada sesuatu yang tidak beres. Dia pun bergegas ke arah pintu dan firasatnya benar. Pintunya terkunci. Dia pun panik.
“Kenapa sih?!” tanya Tyas melihat tingkah Ian.
“Pintunya dikunci dari luar,” jawab Ian. Lalu dia berteriak, ”Woi, buka pintunya! Jangan bercanda deh! Nggak lucu tahu!”
Dari arah luar, Awan berteriak,“Eh, udah sadar ya kalau ke kunci? Hahaha... Ian, Aku tuh udah tahu kamu mau mengurung aku di sanggar ’kan?! Sekarang jadi senjata makan tuan deh! Duluan ya. Daaaaah.” Awan pun menjauh dari sanggar.
Tyas pun bertanya, “Apa sih maksudnya?”
=+++=

Berawal dari Awal 3



Suatu hari, saat sedang berkumpul di sanggar pramuka, rahasia bahwa Tyas menyukai Ian hampir terbongkar. Karena Tyas tidak ingin menjadi bahan gossip, dia pun mengelak dengan berkata, “ Nggak lah! Mana mungkin aku suka sama Ian. Bukan tipeku banget! Aku malah sebel tahu!” Tyas mengatakannya dengan sangat jelas dan betapa terkejutnya dia saat Ian yang ternyata ada di belakangnya berkata dengan sinis, “Oh, maaf deh kalau aku bukan tipemu! Tapi, asal tahu aja, kamu juga bukan tipeku kok.” Lalu Ian menoleh ke Aula dan bertanya, ”Eh, La, Awan di mana sih? Aku kira dia di sini.”
”Nggak, paling dia di lapangan basket,” jawab Aula.
”Thanks.” Ian langsung pergi sedangkan Tyas masih berdiri mematung. Hancur sudah hati Tyas. Ingin menangis rasanya. Padahal pertama kalinya Tyas berbicara dengan Ian, tapi mungkin itu yang terakhir pula.
Tyas pun dirundung rasa sedih dan rasa bersalah. Ingin sekali Tyas meminta maaf, tapi dia terlalu takut. Takut Ian tidak mau memaafkannya dan makin membencinya. Malamnya, Kiki menelpon Tyas. Hal yang tidak pernah disangka-sangka Tyas sebelumnya. Tyas pun menjawab telpon itu dengan suara yang lemas dan hal itu membuat Kiki bertanya-tanya.
”Kenapa kamu? Kok kayaknya nggak semangat? Apa karena aku menelpon?” tanya Kiki.
”Nggak kok, nggak. Aku cuma lagi bingung, ada konflik kecil.”
”Konflik kecil kok bikin nggak semangat gitu? Kalau mau, cerita aja ke aku,” respon Kiki. Tyas diam sejenak. Berpikir.
”Sebenarnya hari ini aku nggak sengaja menyakiti perasaan orang lain, dan hal itu menyakiti perasaanku juga. Aku mengatakan sesuatu yang nggak seharusnya aku katakan dan aku benar-benar menyesal.”
”Oalah, ya kamu tinggal minta maaf aja ke dia.”
”Aku takut. Aku nggak terlalu mengenalnya, tapi kesan pertama yang aku berikan malah buruk gini. Jangan-jangan malah dia nggak mau terima maafku. Jangankan menerima, melihat atau berbicara denganku aja mungkin dia nggak mau.”
”Jangan pesimis gitu lah. Sebenarnya itu hak dia sih mau merespon maafmu dengan positif lalu memaafkan kamu, atau dengan negatif dan nggak mau berteman sama kamu. Tapi setidaknya kamu berusaha meminta maaf.” Suasana hening sejenak. Tyas kembali berpikir.
”Tia, kamu masih hidupkah?” ledek Kiki.
”Nggak, lagi pingsan nih,” sahut Tyas.
”Pingsan kok bisa ngomong, haha... Hei, sudahlah, nggak perlu terlalu kamu pikirkan. Cuma tekadkan niat untuk minta maaf dan minta maaflah ketika kamu ketemu dia. Oke?”
”Ya, oke,” jawab Tyas dengan sedikit ragu.
”Tenang aja, ada aku kok yang siap menghibur kamu kalau-kalau kamu sedih karena dia nggak mau memaafkan kamu, haha...,” canda Kiki.
Berkat Kiki, akhirnya Tyas membulatkan tekad untuk meminta maaf. “Tapi gimana caranya minta maaf ya? Kayaknya aku harus tunggu waktu yang tepat buat minta maaf,” ucap Tyas dalam hati.
Malam yang sama, tempat berbeda. Awan dan Aula duduk di teras rumah Aula. Mereka mengkhawatirkan Tyas. Lalu Aula mendapat sebuah ide dan dia berkata pada Awan, “Wan, besok kamu ultah kan? Kita manfaatkan moment itu aja!”
“Maksudnya?” tanya Awan bingung.
“Begini, besok pagi aku minta tolong sama Ian supaya kamu bisa dikurung di sanggar alasaannya aku mau kasih kejutan karena kamu ultah. Kita juga minta bantuan Astri buat manggil Tyas ke sanggar. Terus kita kurung deh mereka berdua. Oh iya, aku juga bilang ke Ian kalau Tyas nggak ikutan. Jadi, ini seolah-olah nggak disengaja. Gimana?”
“Em, boleh juga tuh,” jawab Awan setuju.
=+++=

Thursday, November 08, 2012

Berawal dari Awal 2




 Beberapa hari kemudian, sepulang sekolah, Tyas langsung menuju kamarnya dan tidur tanpa mengganti pakaiannya dulu. Sayangnya, tidur siang Tyas terganggu oleh dering handphone miliknya. Di layar handphone Tyas terlihat nama ‘Specialperson’. Karena rasa lelah dan mengantuk yang amat sangat, telepon itu dia matikan. Selama beberapa menit, dering handphone miliknya berbunyi tapi tidak dipedulikan juga olehnya.
Malamnya, Tyas mengambil handphone dan terlihat ada lima panggilan tak terjawab dari satu orang, ‘Specialperson’. 
“Ini orang siapa sih? Kayaknya aku nggak pernah simpan nomor seseorang dengan nama ini,” kata Tyas bingung. Kemudian dia kirim sms ke nomor itu :
Sori, ini siapa ya? Kok tadi miscall berkali-kali? Ada apa sih?
Tidak lama, jawaban datang :
Lho? Siapa juga yg miscall kamu? Yg ada, kamu tuh yang miscall aku!
Tyas menjadi makin bingung. Lalu dia membalas :
Hah?! Kapan aku miscall kamu?? Ga pernah kok!
Specialperson menjawab :
Ga pernah gimana? Jelas-jelas di hp-ku da 3 panggilan ga terjawab dr kamu!
Balasan Tyas :
Eh, di hp-ku jg secara nyata ada 5 panggilan ga terjawab dr kamu! Hayo, lbh byk aku kan?
Specialperson cepat menjawab :
Yee, ga ada hubungannya tahu!
Ini siapa sih sebenarnya? Jgn iseng-iseng dong!
Tyas membalas :
Lho? Harusnya aku yg tanya kayak gitu! Huuuu… Nyontek kamu, ga kreatif!
Balasan Specialperson :
Nyontek-nyontek! Emang lg ulangan?haha..
Sms itu tidak mampu mengalahkan rasa kantuk Tyas, sehingga Tyas lebih memilih tidur daripada membalasnya.
Keesokkan harinya saat moving class, handphone Tyas bergetar dan ada satu pesan masuk dari Specialperson :
Aku Kiki, kamu??
Tyas langsung membalas :
Oh, Kiki. Ngaku kek dr kemarin! hihi… Aku Tia. Kamu anak mana? Sekolah??
Kiki membalas :
Wonosobo, sekolah di SMA 5 Purwokerto. Kamu??
Dengan cepat Tyas memjawab :
Purwokerto, sekolah di SMA N 2 Purwokerto. Eh, berarti kamu ngekos ya?
Lalu Kiki membalas dan mereka pun saling berkirim pesan lewat sms. Hal ini telah berlangsung selama lebih dari tiga minggu. Entah mengapa Tyas (Tia), merasa senang jika dia mendapat sms dari Kiki. Padahal mereka tidak pernah bertemu.
“Suka sama Kiki? Nggak mungkin! Pikiran konyol. Dia kan nggak nyata, Yas! Ingat, Yas, ingat! Jangan pernah suka sama orang yang baru dikenal apalagi belum pernah face to face,” kata Tyas pada dirinya sendiri dalam hati.
=+++=

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management