Monday, March 26, 2018

Behind the Story of Maze Traveler

Behind the Scene Story
Penjelajah Labirin

Maze Traveler adalah cerita bersambungku yang pertama. Yah, sebenarnya ada cerita berkelanjutan lain yang aku post di blog ini, hanya saja tidak sepanjang dan se-lama (dalam hal pembuatan cerita) Maze Traveler. Awalnya tidak ada niatan sama sekali untuk membuat cerita bersambung. Aku hanya ingin menulis tentang gejolak batin seseorang yang memiliki masalah kepribadian (pada Labirin Kaca) dan seseorang yang menginginkan kebebasan (pada Labirin Pohon). Aku juga sengaja memberi akhir yang menggantung seolah akan ada cerita selanjutnya, dan memang aku berencana membuat cerita selanjutnya sih. Hanya saja total keseluruhan cerita hanya tiga atau empat bagian, lalu aku tamatkan. Namun, ketika menggarap bagian ketiga (plot cerita ketiga) sempat mengalami mandeg. Sebenarnya saat itu sudah jadi, tinggal post di blog, tapi entah kenapa masih kurang sreg. Lalu aku mencoba lanjut ke cerita empat (cerita ketiga akhirnya tetap di upload), tapi aku bingung mau mengakhiri cerita seperti apa. Karena seolah kehilangan jiwa di cerita ini, aku benar-benar mandeg sampai sekitar dua tahun, hahaha.
Lalu tahun 2016, aku mencoba membuka draft plot cerita labirin ini lagi, pelan-pelan aku garap lagi, dan aku revisi lagi (semacam skripsi XD). Tidak banyak yang kuganti untuk cerita pertama dan kedua, paling judul cerita kedua kuganti menjadi Labirin Lain karena cerita yang benar-benar menunjukkan tentang labirin pohon ada di cerita ketiga. Di sinilah aku menemukan ide aneh: Hutan Adam, dan menjadikan ini klimaks di cerita keempat. Jadi, rencananya bagian ke empat ini akan lebih-sangat-panjang ketimbang cerita bagian sebelumnya. Eh, ndilalah karena beberapa faktor keadaan, cerita ini kesendat lagi. Maklum, waktu itu aku jadi mahasiswi tingkat akhir. Aku mulai lanjut lagi di pertengahan tahun 2017. Lagi-lagi, aku harus baca semua catatan, draft plot dan tokoh-tokohnya biar dapat chemistry sama ceritanya *halah. Dan, ternyata, ujung-ujungnya banyak juga yang dirubah, terutama bagian Labirin Pohon. Labirin Pohon kubuat menjadi beberapa bagian atau beberapa posts dan Hutan Adam akan menjadi bab atau judul tersendiri. Di 2017 juga inilah aku memutuskan untuk membuat cerbung dengan judul Maze Traveler atau Penjelajah Labirin dengan pertengahan cerita yang 180° berbeda dari rencana awal. Sama sekali tidak terpikirkan untuk memunculkan tokoh penyihir, dimana tokoh inilah yang punya peranan significant dalam cerita ini. Lalu beberapa nama tokoh juga berganti-ganti, bahkan sampai detik-detik terakhir aku post ulang ceritanya dari bagian pertama (2018), masih ada yang kuganti. Ada juga tokoh yang akhirnya tidak kumasukkan karena terlalu banyak tokoh laki-laki, jadi aku hanya memasukkan tokoh laki-laki yang sangat mempengaruhi jiwa kebatinan tokoh utama saja.
Nah, itu tadi seputar kisah perjalanan waktu dalam pembuatan cerita ya. Terus bagaimana dengan cerita itu sendiri? Spoiler cerita boleh? Atau genrenya deh, dan inspired by true story mungkin? *uhuk.
No spoiler ya, maaf, hahaha. Yang pasti ini bukan bacaan berat dan ini cerita yang cukup aneh. Apalagi aku cuma penulis abal-abal. Kalau masalah genre bisa ditebak sih: fantasi. Sedangkan mengenai kisah nyata atau tidak, sebenarnya memang inspirasi dari kisah nyata. Beberapa tokoh itu memang nyata ada, hanya kuganti nama. Tetapi pengalaman detailnya tentu berbeda. Bahkan bisa dibilang tidak ada satu hal pun yang cukup mendetail tentang para tokoh laki-laki yang kuceritakan. Mereka kumunculkan dan kuhapus dalam sekejap, karena pada nyatanya begitulah mereka. Datang dan pergi seenaknya dengan meninggalkan bekas dan pengaruh tersendiri untuk si tokoh utama dalam realita. Sebenarnya aku sendiri tidak puas dengan cerita ini, terlalu klise. Tetapi aku hanya ingin menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Meski membutuhkan waktu yang lama, sekalipun pikiranku sudah mulai bergerak cukup dinamis (sesuai umur dan cara pandang, ingin membuat sesuatu yang lebih berbobot seperti memunculkan kehidupan sosial dan setting yang real), aku tetap ingin menyelesaikannya karena menulis dan menamatkan cerita ini sudah seperti bagian dari tanggung jawabku *halahalaahh. Jadi, ya, aku berharap bisa selesai, dan tidak tersendat terlalu lama (lagi). ‘-.-


*tambahan1: aku tidak tahu apa bisa kusebut sebagai bab atau sub-bab per post jika satu postnya saja ada yang hanya menghabiskan selembar kertas A4 hahaha… Yah, anggap saja bisa ya.
*tambahan2: alasan kenapa bukan update cerita terbaru, malah tulisan tidak jelas ini adalah karena aku sedang merombak total bagian ke empat, yang awalnya masih masuk bagian cerita Labirin Pohon, akhirnya kubuat jadi Labirin Mimpi (yang membuat kisah ini semakin terasa klise sih sebenarnya, tapi demi adanya sebuah foreshadow atau hint dalam cerita ya apa boleh buat). 
*tambahan3: setelah selesai mengetik, baru sadar, di bilang no spoiler awalnya tapi tetap saja ada beberapa spoiler semacam kemunculan penyihir dan judul Labirin Mimpi '-_-



Tuesday, March 13, 2018

Dimana Letak Kebebasan? - Pasung Jiwa karya Okky Madasari (Opini Pribadi)

Kebebasan hanya fiktif belaka. Bagaimana mungkin ada kebebasan jika satu detik setelah manusia lahir, sudah ada norma dan aturan sosial yang harus dilekatkan padanya, pada bayi yang baru saja lahir ke dunia. Ada konstruksi sosial dan gender yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Apa konstruksi tersebut dibuat oleh manusia? Tentu saja. Berarti bukankah manusia itu sendiri yang memenjarakan diri? Tidak, lebih tepatnya konstruksi sosial, terutama konstruksi gender, pada awalnya dibuat untuk menguntungkan pihak laki-laki; itu untuk meguntungkan ruang gerak mereka dan memenjarakan wanita. Cari dan baca saja sejarah kehidupan wanita, bagaimana mereka teraniaya; mereka dijadikan budak baik jiwa maupun raga. Dan sekarang yang katanya emansipasi wanita? Ah percuma. Pada nyatanya, yang kupercaya, tidak ada kebebasan di dunia.

Kebebasan adalah hal yang kurenungi setelah membaca novel Pasung Jiwa yang ditulis oleh Okky Madasari. Sebuah novel kritik sosial yang menceritakan tentang kehidupan Sasana, seorang laki-laki yang menjadi biduan dangdut, dan Jaka, laki-laki yang memberi jalan kepada Sasana untuk menjadi Sasa si Biduan. Novel yang cukup menguras emosi. Meski salah di mataku dan di mata masyarakat pada umumnya--seorang laki-laki yang berdandan perempuan--,tapi itu lah potret kehidupan nyata dengan segala pengalaman buruknya. Lagi-lagi kita disindir dan dibikin mikir, bejat mana, orang yang menjadi waria tapi jujur pada dirinya atau orang yang seharusnya jadi panutan masyarakat tapi menyodomi mereka? Bejat mana, orang pekerja seksual yang tak munafik atau orang yang menghancurkan lokalisasi berkedok agama tapi sambil teriak "Bunuh! Bunuh!" dan menikmati juga barang-barang jarahannya?

Untukku, kisah yang disandingkan dalam Pasung Jiwa cukup pelik dan efeknya mungkin jika aku bertemu dengan seorang wanita-pria di depan mata, aku akan membatin, "Apa hidupnya serunyam Sasana?". Meski di akhir cerita, si penulis 'memberi' kebebasan pada Sasana dan Jaka, tapi apa mereka telah benar-benar bebas? Apa kita manusia, memang benar bisa bebas lepas?

Seperti yang kubilang di awal: fiktif. Sejatinya Tuhan memang tidak sekalipun membuat sesuatu yang kita sebut sebagai kebebasan, karena manusia memang diciptakan dengan aturan untuk hidup berdampingan. Tuhan tidak menciptakan kebebasan, tapi kemudahan dan perlindungan. Sayangnya, manusia sekarang kecanduan untuk mempersulit keadaan. Tuhan ciptakan pria dan wanita dengan perananannya. Tapi manusia terlalu congkak, ingin berkuasa dan mengubah kodratnya.

Banyak juga yang cenderung berpikir, orang yang kuat, dia bisa berkuasa; orang yang berkuasa, dia bisa bebas suka-suka. Iya, tepat, sesuai realita, tapi ya jelas hanya di dunia; bebas yang semu, maya, palsu. Bagi sebagian orang lain, yang tak punya kekuatan-kekuasaan, mati adalah kebebasan. Bahkan dalam Pasung Jiwa pun disuguhkan. Salah satu karakter yang ditemui Sasana di rumah sakit jiwa memilih mati demi bisa bebas. Atau tengok novel klasik seperti The Awakening karya Kate Chopin dimana tokoh utamanya pun memilih bunuh diri sebagai simbol kebebasannya karena dia terlalu terkekang dengan aturan masyarakat pada saat itu.

Tapi pada kenyataannya, lagi-lagi sayangnya, kematian pun ada aturannya. Orang yang memilih mati demi kebebasan, justru bukan mendapat kebebasan tapi masuk ke kurungan lain, bisa saja. Setidaknya begitu dalam agama yang kupercaya. Kebebasan yang lebih besar eksis di surga. Mati memang jalan satu-satunya, tapi mati pula jalan yang sama ke 'penjara' (red:neraka).

Tambahan, kenapa kubilang 'kebebasan yang lebih besar' bukan 'kebebasan nyata, mutlak, sejati, atau sesungguhnya'? Ya aku hanya berpikir ulang, Kalau surga sebebas itu, apa akan ada manusia di dunia? Kita ada karena Adam dan Hawa yang terusir dari surga, kan? Karena adanya pelanggaran aturan, meski hanya ada satu aturan/larangan. Dan yang bisa mengusir mereka cuma Dia. Jadi yang sebenar-benarnya bebas dan memiliki kebebasan hanya satu: Tuhan, Yang Maha Kuat, Maha Kuasa, Maha Segala.

Ah sepertinya lanturanku terlalu panjang ya. Ku sekian kan saja daripada bosan. Intinya, aku menikmati novelmu Mbak Okky, dua jempol.

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon III

Bagian 3
Labirin Pohon (III)

“Aku rasa kita harus berhenti sekarang,” pintaku pada Marv. “Mari berhenti dan bicarakan.”
“Bicarakan? Tidak biasanya kamu ingin berbicara. Ada apa?” katanya, berbalik padaku.

Aku mencoba mengatur nafasku perlahan, dan sejenak menghilangkan kelelahan yang kurasa karena terlalu lama berjalan. Aku duduk di bebatuan di pinggiran sebuah tanah lapang. Marv, masih berdiri di hadapanku, menatapku dan menungguku berbicara. Kubalas tatapannya, dan aku mulai berbicara.

“Bagaimana mungkin aku berdiam diri membisu dan hanya mengekor kemanapun kau pergi, sedangkan arah yang kau pilih selalu menuju ke tempat yang sama? Kau pikir sudah berapa kali kita melewati lorong yang sama dan berujung pada tempat lapang ini? Kita tersesat, sadarkah kau?” Tak ada respon darinya. Dia masih diam, seolah masih menungguku untuk berbicara lagi.

“Jangan-jangan kau sengaja?” tanyaku curiga. Dia mulai bersiap untuk protes. “Mungkin dari awal kau tidak ingin membantuku, kau hanya ingin mempermainkanku, iya kan? Kenapa? Bodohnya aku, aku bahkan tak benar-benar mengenalmu, tapi aku percaya begitu saja. Dari awal harusnya aku sendirian. Aku yakin kau akan menghilang jika sudah bosan mempermainkanku,” celotehku. “Aku benar-benar tak mengerti, tempat apa ini sebenarnya? Siapa dirimu? Siapa mereka? Datang dan pergi silih berganti. Aku merasa begitu dipermainkan, tapi aku tak yakin lagi, apakah kau atau ada sesuatu yang lain yang sedang mempermainkanku.” Aku menghela nafas dengan rasa dan pikiran yang campur aduk. "Kau... pasti tahu sesuatu, kan?" tanyaku sambil memicingkan mata, curiga.

Marv pun bertanya, “Kenapa baru kau pikirkan sekarang? Kenapa pula baru kau pertanyakan semuanya? Aku yakin pertanyaan itu sudah tertimbun lama dalam pikiranmu, kan?” Tepat sekali. Tak bisa dipungkiri memang, dari awal aku berada dalam kebingungan karena tak menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Aku kira seiring berjalannya waktu, aku akan menemukan jawabannya.

“Tidak semua hal akan terjawab oleh waktu. Tidak semua pertanyaan dan persoalan akan terselesaikan begitu saja dengan hanya menunggu dalam diam,” ucapnya tiba-tiba, seolah sedang membaca pikiranku. “Waktu mungkin akan mampu menjawabnya, tapi tetap saja semua tergantung pada usaha yang kau lakukan.”

Aku menatapnya lekat, antara ingin mempercayainya tetapi tetap mewaspadainya. "Jadi, kau tahu sesuatu atau tidak?" Dia hanya diam, enggan menjawab. “Sebenarnya kau… orang baik atau jahat?” Dia masih diam. Lalu beberapa saat kemudian, dengan tersenyum kecut dia menjawab, “Kedua-duanya.”

Aku menghela nafas lagi, dan berusaha bersikap tenang. 
“Lalu kapan saat kau menjadi orang baik?”
“Saat aku bersamamu, menemani dan menjagamu.”
“Dan kapan saat kau menjadi jahat?”
“Di waktu aku harus benar-benar meninggalkanmu.”

Entah mengapa aku mengerti jawaban dan ekspresinya itu. Dia berkata jujur. Aku tak ingin tahu apakah dia benar-benar tersesat atau sengaja menahanku dari sesuatu yang buruk yang akan terjadi jika kita memilih jalan lorong yang lain. Aku tak terlalu yakin, mungkin dia ingin aku menghindari orang-orang semacam Kris dan Hak. Tetapi jika aku terus seperti ini, aku tak akan pernah keluar dari labirin pohon.

Kuputuskan untuk mempercayainya lagi. Namun, aku tetap memilih perjalananku sendiri. Akan lebih baik aku yang meninggalkannya ketika dia menjadi orang baik. Akan lebih baik aku tak melihatnya berubah menjadi orang jahat, orang yang meninggalkanku. Aku beranjak dari bebatuan tempatku duduk. Kembali melanjutkan perjalanan labirin ini, sendiri.

Thursday, March 01, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon II

Bagian 3
Labirin Pohon (II)



Perlahan kubuka pagar kecil labirin pohon itu. Memasuki labirin pohon, aku hanya mengikuti Kris. ‘Kris’, nama panggilan yang tiba-tiba saja terucap secara spontan dari mulutku. Tetapi semakin aku mengikutinya, semakin aku merasa sesak. Sesuatu yang menyakitkan yang entah darimana mulai menghampiriku. Hanya dengan melihatnya, aku merasa sakit. Aku harus segera meninggalkannya, dan itu kulakukan. Aku berpisah darinya di dalam labirin itu. Tetapi tetap saja sesuatu mengganjal perasaanku. “Benarkah aku meninggalkannya? Bukan sebaliknya?”

Berpisah darinya, tidak benar-benar menghapus rasa sesakku. Parahnya, aku lebih sering menemukan jalan buntu, dan entah bagaimana aku kembali di tempat aku pertama kali memulai. Kuputuskan mengambil jalan yang berbeda. Kali ini aku mengambil jalan ke kanan dari pagar labirin.

Jalanan labirin yang kulewati terlihat rapuh dan mudah longsor. Sangat rapuh hingga aku hampir jatuh terperosok. Saat itulah aku bertemu Marv, yang menahanku dan memegang tanganku erat agar tak terjatuh. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku hanya mengangguk, tanpa berkedip. Aku tak terpesona padanya, hanya saja aku merasa aman dengan kedatangannya. Aku merasa bisa mempercayainya kali ini. “Di lorong ini, kau harus ekstra hati-hati, atau kau akan terjerumus ke dalam kegelapan di bawah sana,” katanya menasehatiku sembari melirik ke dasar lubang. Mengikuti arah bola matanya, aku melihat kepekatan tanpa dasar di dalam lubang itu. Aku tak dapat membayangkan jika aku benar-benar jatuh ke sana. “Ayo kutemani kau melewati lorong ini,” katanya lagi sambil menarik tanganku. “Terimakasih,” kataku lirih, dan dia membalasnya dengan senyuman. Aku tak mengerti, yang ia genggam apakah tanganku, atau hatiku?

Tanah yang kita lalui sudah berganti menjadi bebatuan kecil. Aku kembali curiga, apakah sebentar lagi aku akan berpisah dengan Marv? Bersamanya, aku tak banyak bicara dan tak banyak bertanya, sama seperti biasanya. Rasa takut dan khawatir memang ada, tetapi aku tak pernah membiarkan emosi itu terlihat. Aku terbiasa menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, terbiasa menyimpan semuanya sendiri, terbiasa berpura-pura.

“Tunggu, sepertinya aku mendengar sesuatu,” ucapku tiba-tiba seraya mencari tahu suara apa dan berasal dari arah mana. Marv pun berhenti dan ikut mengamati sekeliling. Pantulan bola? Mungkinkah ada seseorang yang sedang bermain bola di dalam labirin? Aku dan Marv saling tatap, dan sepakat untuk mendekat ke arah suara, memastikan sesuatu. Ya, benar. Ada seseorang sedang memainkan bola basket. Dia menatapku lurus, lalu melemparkan bola cepat kepadaku. Spontan aku menangkapnya tepat di depan wajahku. Kekuatan lemparannya tidak tanggung-tanggung, membuat kaki kananku mundur selangkah untuk menahannya, dan tentu saja tanganku terasa sakit.

Ada apa dengan laki-laki itu? Dia terus saja menatapku dengan dingin dan tajam, lalu beranjak pergi begitu saja. Terheran-heran, aku bersiap untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba Marv meminta bola itu dan memantulkannya ke bawah berkali-kali. “Ayo main!” ajaknya, membuatku spontan kebingungan, “Hah??”

Dia mulai berlari kecil sambil mendribel bola itu, lalu melemparkan kembali padaku. “Tidak, sebaiknya kita menyusul pemilik bola ini,” kataku ketika kutangkap bola lemparannya. Agaknya dia sedikit kecewa dengan kemauanku, tapi aku biarkan.

Kita mencoba mencari si pemilik bola. Sesekali aku melihat sosoknya berbelok atau melewati jalan-jalan labirin di sekitarku. Namun, ketika kucoba menyusulnya, dia menghilang. Sampai akhirnya aku berhasil menemukannya, berdiri menghadap ke jalan buntu dan membelakangiku.
“Hei, aku kembalikan…” kataku berbicara padanya. Mendekatlah. Tiba-tiba ada suara perempuan asing yang berbisik yang membuatku berhenti melanjutkan kata-kataku. Aku celingukan, tetapi tak ada siapapun kecuali aku dan Hak, sebutan untuk sosok di hadapanku ini. Kemudian Hak perlahan membalikkan badannya. Sorotan tajamnya seolah akan menghancurkanku, dan sorotan dinginnya mampu membuatku membeku, ketakutan. Beberapa saat kemudian, Marv datang. “Di sini kau rupanya,” katanya. Aku spontan menoleh pada Marv, dan Hak lenyap begitu saja ketika kukembalikan pandanganku ke arahnya. Lalu tanpa basa-basi Marv menarik tanganku, mengajakku segera pergi dari tempatku berdiri. Keberadaan Hak dan bola yang sedaritadi kupegang menghilang tepat di depan mata. Tetapi mengapa Marv sama sekali tak menanyakannya?
 ~~~
Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management