18.1.14.01.P.M. (S.O.S)
Seseorang
yang menemuiku saat itu memberiku sedikit tamparan ringan namun sakit. Menghabiskan
beberapa jam dengannya, berbincang-bincang, dan akhirnya aku sadar akan
kenyataan. Dia berkata ada orang lain yang merasa takut denganku. Dia berkata
aku egois. Ya, aku syok, tapi mungkin jauh sebelum ini terjadi, aku sudah
menyadarinya.
Aku
tidak tahu bahwa selama ini aku menakutkan. Tidak, sebenarnya jauh di dalam
pikiranku aku tahu aku membuat orang di sekitarku takut, hanya saja entah aku
pura-pura tidak tahu atau aku melupakan kenyataan itu. Begitu susah merubah
tingkah laku yang sudah sejak lama aku miliki. Aku tidak bisa menahan diri
untuk tidak berkata dengan nada ketus atau jutek. Aku tidak bisa ‘berkata
manis’, aku lebih sering ‘straigth-forward’, dan aku tidak bisa lagi
menyembunyikan ekspresiku bila membenci sesuatu, berbeda ketika aku menyukai
sesuatu atau seseorang.
Aku
tidak pernah berpikir bahwa aku egois karena aku sering melakukan sesuatu demi
orang lain terlebih dahulu. Tapi ternyata hal-hal kecil yang pernah aku lakukan
tanpa aku pedulikan, mereka anggap aku egois. Tidak, aku memang egois. Beberapa
hal yang kuingat, dan mungkin banyak hal yang tidak aku ingat, ku lakukan
dengan egois. Hanya saja, aku sedih. Beberapa hal kecil dari egoisku mereka
anggap sifat dasarku egois. Sedangkan begitu sering aku terdiam dan tertahan,
menahan keinginanku sebenarnya dan membiarkan mereka melakukan sesuatu yang
mereka inginkan yang bertolak belakang denganku.
Aku
yang sekarang pun luapan aku yang dulu. Begitu mudah aku berpura-pura dan
menembunyikan rasa. Namun sekarang, aku ‘lelah’. Aku tidak mau terus
menyembunyikan ekspresi jika aku sedih atau lelah, marah atau bahagia. Mungkin
terlalu banyak kekecewaaan yang aku dapati ketika dulu aku selalu
menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, sehingga aku pun berubah. Hidupku
menjadi serba kebalikan. Kekecewaan yang aku dapat, kulampiaskan dalam
keluarga, namun aku tetap tersenyum di luar. Dan sekarang, perasaan apapun yang
kudapat, mempengaruhi sikapku terhadap lingkungan di luar. Aku tidak bisa
berpura-pura bahwa aku baik-baik saja dengan muka tersenyum.
Mau
bagaimana pun aku menyangkal kenyataan, kenyataan tetap saja kenyataan. Aku
bukan orang baik nan sempuna. Dan aku egois! Ya, aku benar-benar tidak bisa
terima bahwa aku egois, tapi bukti sudah cukup untuk menunjukkannya.
“Rubahlah
attitudemu, pasti kamu bisa!” Tidak,
aku merasa tidak mampu lagi. Semakin aku ingat itu, semakin aku terbebani dan
sedih.
Begitu
jahat, aku sesekali berharap aku tidak dilahirkan dalam keluargaku yang selalu
bertengkar dan menjadi tidak pernah akur dengan saudara. Begitu jahat, aku
berdoa aku dibesarkan dalam keluarga yang begitu harmonis, saling menjaga satu
sama lain, dan begitu disayang oleh sang kakak. Begitu jahatnya aku, harapan
dan doaku secara tidak langsung menyalahkan keluargaku atas hidupku. Meskipun
keluargaku telah membaik, tapi aku tetap masih sakit. Gangguan psychologis?
Temanku mengiyakannya. Karakter seseorang dibentuk dan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga. Selanjutnya dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dan
masyarakat. Dia pun mewajarkan bahwa aku memiliki sifat ini karena pengaruh
keluargaku.
Lalu
apakah aku harus berubah menjadi sempurna seperti yang orang-orang inginkan?
Apakah salah memiliki suatu kelemahan? Apapun itu, aku benar-benar tidak
berniat untuk menjadi seperti ini. Aku hanya aku yang manusia biasa. Mungkin
aku hanya perlu lebih dewasa. Yakinlah, aku tidak benar-benar ingin menyakiti
siapapun. Aku pun menangis ketika aku menyakiti seseorang dengan sadar maupun
tidak sadar, hanya tidak ada yang tahu itu. Aku hanya perlu mereka
mengingatkanku, mendampingiku, dan membimbingku untuk menjadi lebih dewasa dan
bukannya menjadi takut padaku. Bagaimana mungkin aku menjadi lebih dewasa,
lebih mengerti dan memahami mereka, jika mereka pun takut padaku dan menjaga
jarak? Mungkin aku harus berteriak S.O.S pada dunia.