Showing posts with label CerBung. Show all posts
Showing posts with label CerBung. Show all posts

Friday, April 27, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Mimpi

Bagian 4
Labirin Mimpi (I)

Sunyi. Sepi. Hanya suara langkah kakiku yang terdengar. Sesekali aku merasakan desiran angin lembut menerpaku. Rasanya begitu kesepian. Aku terus saja teringat pada kata-kata terakhir Marv yang ia sampaikan padaku ketika kita berpisah, Jika kau melanjutkan perjalanan ini, mungkin kau akan lebih menderita lagi.”
Memang derita apa lagi yang akan aku alami? Kepalaku mulai pusing. Sepertinya aku mulai kelelahan dan kehilangan tenaga. “Kau perlu bantuan?” ucap seseorang yang tanpa kusadari sudah ada tepat di belakangku, mencoba menopangku. Aku menoleh padanya, mengamati wajahnya yang mulai samar-samar tak terlihat, dan seketika gelap. Entah aku pingsan atau terlelap.
Aku membuka mata kemudian, secara perlahan. Terkejut, kudapati diri berdiri di tengah lorong sebuah gedung asing. Dinding-dindingnya tampak kokoh, dan semua terlihat lebih terang. Banyak pintu di sisi kanan maupun kiri. Banyak orang pula berlalu lalang; sebagian mengenakan pakaian sama dengan celana dan baju lengan panjang bermotif polkadot warna biru, sebagian lain mengenakan jubah atau jas serba putih membawa sesuatu yang dikalungkan di leher atau kertas-kertas dengan penuh catatan dan coretan. Ada juga beberapa lainnya yang mengenakan pakaian biasa, menemani atau bercengkrama dengan orang yang berbaju polkadot. Sepintas kulihat seseorang yang berjalan melaluiku, di lengannya nampak sedikit tulisan ‘Rumah Sakit’. Aku tak lagi memperhatikan kata berikutnya karena ternyata ada seseorang berjalan di belakangku. Lagi-lagi, dia seperti aku. Tidak, dia memang benar-benar aku. Perlahan dia berjalan ke arahku, tetapi tidak mengenaliku, bahkan dia tak melihatku. Dia berhenti tepat di sebelahku, menatap lurus seorang laki-laki yang sedang kesulitan berjalan karena kakinya sedang cedera dan seorang perempuan cantik dengan longdress biru navy yang membantunya, dengan perhatian penuh di sisinya. Kutebak mereka adalah sepasang kekasih, nampak dari kemesraan dan tatapan mereka satu sama lain.
Lalu, laki-laki itu melihat ke arahku, tepatnya perempuan di sebelahku. Tatapannya sungguh tak dapat kutebak. Sepintas mengejek, sepintas cuek. Sepintas terlihat dia merasa menang, sepintas nampak dia tak merasa tenang. Sepintas dia memberi tatapan galak, seolah perempuan di sisiku ingin dia elak. Tetapi mengapa rasanya semua tatapan itu tertuju pula padaku, bukan hanya pada perempuan ini? Dan, ada amarah yang mulai memenuhi nadi, serta kecewa yang menggerogoti hati. Lalu, aku pun mendengar perempuan itu berbicara, meski mulutnya rapat terkunci, “Beginikah rasa terabaikan, terbuang, tertipu? Atau aku yang terlampau bodoh percaya pada semua ujaranmu?” Batinannya sungguh tegas masuk ke saraf otakku. Perasaannya sungguh jelas memenuhi jiwaku, tercabik hingga lebur, terasa begitu sakit hingga ingin kupilih selamanya tertidur. “Rasanya ingin mati.” Kali ini dia berbisik. Tetapi bisikannya serasa maut bagiku. Kepalaku mulai merasakan sakit yang luar biasa. Tubuhku mulai limbung. Aku memejamkan mata tapi yang kulihat bukan gelap gulita. Entah itu potongan mimpi, atau ingatan, yang pasti semua berebut muncul di dalam kepala. Sedangkan kata ‘mati’ terus saja menjejal telinga. Karena sakitnya tak tertahankan, kulampiaskan dengan teriakan.
Teriakan itu membuatku terbangun di tempat berbeda, bukan di lorong gedung ataupun di labirin. Aku terbangun di sebuah tempat tidur di dalam gubuk kecil. Di sebrang tempat tidur, ada satu meja kecil dengan beberapa roti dan minuman. Aku belum tahu siapa pemilik tempat ini, tapi rasa lapar membuatku tak ingin memikirkan apa pun untuk sementara. Tanpa pikir panjang, aku lahap habis makanan dan minumannya.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara pintu terbuka. Melihat siapa yang memasuki gubuk, aku sontak berdiri, berjalan menjauh. Sekujur tubuhku mulai merasa ngilu melihat sosok laki-laki di depanku. Kecemasan mulai merajaiku mengingat laki-laki itulah yang ada di mimpiku. Pertanda burukkah itu?
Kuamati dia dengan waspada. Tingginya sekitar 4-5 cm di atasku dengan perawakan yang terbilang kecil sebagai seorang laki-laki, tetapi tetap terlihat kuat. Matanya agak sipit dan senyumnya, yah, cukup manis. Air mukanya begitu ramah dan menyenangkan. “Syukurlah, sepertinya kau baik-baik saja. Aku agak cemas karena kau terbaring cukup lama.” katanya tiba-tiba. “Kau tak ingat padaku?” tanyanya, mungkin karena aku hanya berdiri, diam, dan terlihat kebingungan. Sepintas aku bertanya-tanya maksudnya. Apakah dia pernah ada di masa laluku? Gedung asing itu mungkin. “Aku yang menemukanmu hampir pingsan, sampai akhirnya kau benar-benar pingsan.” Oh, ternyata itu maksudnya. “Yah, mungkin lebih tepatnya tidur daripada pingsan. Apa kau tidak pernah tidur?” Aku bahkan seperti membuang kata tidur dalam kamus hidupku ketika menelusuri labirin pohon. “Kenapa kau diam saja? Kau, baik-baik saja, kan?” “Y…ya, tentu,” jawabku pelan, dan dia tersenyum. “Duduklah, akan kubuatkan sesuatu yang lebih membuatmu kenyang daripada sepotong roti,” ucapnya sembari sibuk di dapur kecilnya.

Monday, March 26, 2018

Behind the Story of Maze Traveler

Behind the Scene Story
Penjelajah Labirin

Maze Traveler adalah cerita bersambungku yang pertama. Yah, sebenarnya ada cerita berkelanjutan lain yang aku post di blog ini, hanya saja tidak sepanjang dan se-lama (dalam hal pembuatan cerita) Maze Traveler. Awalnya tidak ada niatan sama sekali untuk membuat cerita bersambung. Aku hanya ingin menulis tentang gejolak batin seseorang yang memiliki masalah kepribadian (pada Labirin Kaca) dan seseorang yang menginginkan kebebasan (pada Labirin Pohon). Aku juga sengaja memberi akhir yang menggantung seolah akan ada cerita selanjutnya, dan memang aku berencana membuat cerita selanjutnya sih. Hanya saja total keseluruhan cerita hanya tiga atau empat bagian, lalu aku tamatkan. Namun, ketika menggarap bagian ketiga (plot cerita ketiga) sempat mengalami mandeg. Sebenarnya saat itu sudah jadi, tinggal post di blog, tapi entah kenapa masih kurang sreg. Lalu aku mencoba lanjut ke cerita empat (cerita ketiga akhirnya tetap di upload), tapi aku bingung mau mengakhiri cerita seperti apa. Karena seolah kehilangan jiwa di cerita ini, aku benar-benar mandeg sampai sekitar dua tahun, hahaha.
Lalu tahun 2016, aku mencoba membuka draft plot cerita labirin ini lagi, pelan-pelan aku garap lagi, dan aku revisi lagi (semacam skripsi XD). Tidak banyak yang kuganti untuk cerita pertama dan kedua, paling judul cerita kedua kuganti menjadi Labirin Lain karena cerita yang benar-benar menunjukkan tentang labirin pohon ada di cerita ketiga. Di sinilah aku menemukan ide aneh: Hutan Adam, dan menjadikan ini klimaks di cerita keempat. Jadi, rencananya bagian ke empat ini akan lebih-sangat-panjang ketimbang cerita bagian sebelumnya. Eh, ndilalah karena beberapa faktor keadaan, cerita ini kesendat lagi. Maklum, waktu itu aku jadi mahasiswi tingkat akhir. Aku mulai lanjut lagi di pertengahan tahun 2017. Lagi-lagi, aku harus baca semua catatan, draft plot dan tokoh-tokohnya biar dapat chemistry sama ceritanya *halah. Dan, ternyata, ujung-ujungnya banyak juga yang dirubah, terutama bagian Labirin Pohon. Labirin Pohon kubuat menjadi beberapa bagian atau beberapa posts dan Hutan Adam akan menjadi bab atau judul tersendiri. Di 2017 juga inilah aku memutuskan untuk membuat cerbung dengan judul Maze Traveler atau Penjelajah Labirin dengan pertengahan cerita yang 180° berbeda dari rencana awal. Sama sekali tidak terpikirkan untuk memunculkan tokoh penyihir, dimana tokoh inilah yang punya peranan significant dalam cerita ini. Lalu beberapa nama tokoh juga berganti-ganti, bahkan sampai detik-detik terakhir aku post ulang ceritanya dari bagian pertama (2018), masih ada yang kuganti. Ada juga tokoh yang akhirnya tidak kumasukkan karena terlalu banyak tokoh laki-laki, jadi aku hanya memasukkan tokoh laki-laki yang sangat mempengaruhi jiwa kebatinan tokoh utama saja.
Nah, itu tadi seputar kisah perjalanan waktu dalam pembuatan cerita ya. Terus bagaimana dengan cerita itu sendiri? Spoiler cerita boleh? Atau genrenya deh, dan inspired by true story mungkin? *uhuk.
No spoiler ya, maaf, hahaha. Yang pasti ini bukan bacaan berat dan ini cerita yang cukup aneh. Apalagi aku cuma penulis abal-abal. Kalau masalah genre bisa ditebak sih: fantasi. Sedangkan mengenai kisah nyata atau tidak, sebenarnya memang inspirasi dari kisah nyata. Beberapa tokoh itu memang nyata ada, hanya kuganti nama. Tetapi pengalaman detailnya tentu berbeda. Bahkan bisa dibilang tidak ada satu hal pun yang cukup mendetail tentang para tokoh laki-laki yang kuceritakan. Mereka kumunculkan dan kuhapus dalam sekejap, karena pada nyatanya begitulah mereka. Datang dan pergi seenaknya dengan meninggalkan bekas dan pengaruh tersendiri untuk si tokoh utama dalam realita. Sebenarnya aku sendiri tidak puas dengan cerita ini, terlalu klise. Tetapi aku hanya ingin menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Meski membutuhkan waktu yang lama, sekalipun pikiranku sudah mulai bergerak cukup dinamis (sesuai umur dan cara pandang, ingin membuat sesuatu yang lebih berbobot seperti memunculkan kehidupan sosial dan setting yang real), aku tetap ingin menyelesaikannya karena menulis dan menamatkan cerita ini sudah seperti bagian dari tanggung jawabku *halahalaahh. Jadi, ya, aku berharap bisa selesai, dan tidak tersendat terlalu lama (lagi). ‘-.-


*tambahan1: aku tidak tahu apa bisa kusebut sebagai bab atau sub-bab per post jika satu postnya saja ada yang hanya menghabiskan selembar kertas A4 hahaha… Yah, anggap saja bisa ya.
*tambahan2: alasan kenapa bukan update cerita terbaru, malah tulisan tidak jelas ini adalah karena aku sedang merombak total bagian ke empat, yang awalnya masih masuk bagian cerita Labirin Pohon, akhirnya kubuat jadi Labirin Mimpi (yang membuat kisah ini semakin terasa klise sih sebenarnya, tapi demi adanya sebuah foreshadow atau hint dalam cerita ya apa boleh buat). 
*tambahan3: setelah selesai mengetik, baru sadar, di bilang no spoiler awalnya tapi tetap saja ada beberapa spoiler semacam kemunculan penyihir dan judul Labirin Mimpi '-_-



Tuesday, March 13, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon III

Bagian 3
Labirin Pohon (III)

“Aku rasa kita harus berhenti sekarang,” pintaku pada Marv. “Mari berhenti dan bicarakan.”
“Bicarakan? Tidak biasanya kamu ingin berbicara. Ada apa?” katanya, berbalik padaku.

Aku mencoba mengatur nafasku perlahan, dan sejenak menghilangkan kelelahan yang kurasa karena terlalu lama berjalan. Aku duduk di bebatuan di pinggiran sebuah tanah lapang. Marv, masih berdiri di hadapanku, menatapku dan menungguku berbicara. Kubalas tatapannya, dan aku mulai berbicara.

“Bagaimana mungkin aku berdiam diri membisu dan hanya mengekor kemanapun kau pergi, sedangkan arah yang kau pilih selalu menuju ke tempat yang sama? Kau pikir sudah berapa kali kita melewati lorong yang sama dan berujung pada tempat lapang ini? Kita tersesat, sadarkah kau?” Tak ada respon darinya. Dia masih diam, seolah masih menungguku untuk berbicara lagi.

“Jangan-jangan kau sengaja?” tanyaku curiga. Dia mulai bersiap untuk protes. “Mungkin dari awal kau tidak ingin membantuku, kau hanya ingin mempermainkanku, iya kan? Kenapa? Bodohnya aku, aku bahkan tak benar-benar mengenalmu, tapi aku percaya begitu saja. Dari awal harusnya aku sendirian. Aku yakin kau akan menghilang jika sudah bosan mempermainkanku,” celotehku. “Aku benar-benar tak mengerti, tempat apa ini sebenarnya? Siapa dirimu? Siapa mereka? Datang dan pergi silih berganti. Aku merasa begitu dipermainkan, tapi aku tak yakin lagi, apakah kau atau ada sesuatu yang lain yang sedang mempermainkanku.” Aku menghela nafas dengan rasa dan pikiran yang campur aduk. "Kau... pasti tahu sesuatu, kan?" tanyaku sambil memicingkan mata, curiga.

Marv pun bertanya, “Kenapa baru kau pikirkan sekarang? Kenapa pula baru kau pertanyakan semuanya? Aku yakin pertanyaan itu sudah tertimbun lama dalam pikiranmu, kan?” Tepat sekali. Tak bisa dipungkiri memang, dari awal aku berada dalam kebingungan karena tak menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Aku kira seiring berjalannya waktu, aku akan menemukan jawabannya.

“Tidak semua hal akan terjawab oleh waktu. Tidak semua pertanyaan dan persoalan akan terselesaikan begitu saja dengan hanya menunggu dalam diam,” ucapnya tiba-tiba, seolah sedang membaca pikiranku. “Waktu mungkin akan mampu menjawabnya, tapi tetap saja semua tergantung pada usaha yang kau lakukan.”

Aku menatapnya lekat, antara ingin mempercayainya tetapi tetap mewaspadainya. "Jadi, kau tahu sesuatu atau tidak?" Dia hanya diam, enggan menjawab. “Sebenarnya kau… orang baik atau jahat?” Dia masih diam. Lalu beberapa saat kemudian, dengan tersenyum kecut dia menjawab, “Kedua-duanya.”

Aku menghela nafas lagi, dan berusaha bersikap tenang. 
“Lalu kapan saat kau menjadi orang baik?”
“Saat aku bersamamu, menemani dan menjagamu.”
“Dan kapan saat kau menjadi jahat?”
“Di waktu aku harus benar-benar meninggalkanmu.”

Entah mengapa aku mengerti jawaban dan ekspresinya itu. Dia berkata jujur. Aku tak ingin tahu apakah dia benar-benar tersesat atau sengaja menahanku dari sesuatu yang buruk yang akan terjadi jika kita memilih jalan lorong yang lain. Aku tak terlalu yakin, mungkin dia ingin aku menghindari orang-orang semacam Kris dan Hak. Tetapi jika aku terus seperti ini, aku tak akan pernah keluar dari labirin pohon.

Kuputuskan untuk mempercayainya lagi. Namun, aku tetap memilih perjalananku sendiri. Akan lebih baik aku yang meninggalkannya ketika dia menjadi orang baik. Akan lebih baik aku tak melihatnya berubah menjadi orang jahat, orang yang meninggalkanku. Aku beranjak dari bebatuan tempatku duduk. Kembali melanjutkan perjalanan labirin ini, sendiri.

Thursday, March 01, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon II

Bagian 3
Labirin Pohon (II)



Perlahan kubuka pagar kecil labirin pohon itu. Memasuki labirin pohon, aku hanya mengikuti Kris. ‘Kris’, nama panggilan yang tiba-tiba saja terucap secara spontan dari mulutku. Tetapi semakin aku mengikutinya, semakin aku merasa sesak. Sesuatu yang menyakitkan yang entah darimana mulai menghampiriku. Hanya dengan melihatnya, aku merasa sakit. Aku harus segera meninggalkannya, dan itu kulakukan. Aku berpisah darinya di dalam labirin itu. Tetapi tetap saja sesuatu mengganjal perasaanku. “Benarkah aku meninggalkannya? Bukan sebaliknya?”

Berpisah darinya, tidak benar-benar menghapus rasa sesakku. Parahnya, aku lebih sering menemukan jalan buntu, dan entah bagaimana aku kembali di tempat aku pertama kali memulai. Kuputuskan mengambil jalan yang berbeda. Kali ini aku mengambil jalan ke kanan dari pagar labirin.

Jalanan labirin yang kulewati terlihat rapuh dan mudah longsor. Sangat rapuh hingga aku hampir jatuh terperosok. Saat itulah aku bertemu Marv, yang menahanku dan memegang tanganku erat agar tak terjatuh. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku hanya mengangguk, tanpa berkedip. Aku tak terpesona padanya, hanya saja aku merasa aman dengan kedatangannya. Aku merasa bisa mempercayainya kali ini. “Di lorong ini, kau harus ekstra hati-hati, atau kau akan terjerumus ke dalam kegelapan di bawah sana,” katanya menasehatiku sembari melirik ke dasar lubang. Mengikuti arah bola matanya, aku melihat kepekatan tanpa dasar di dalam lubang itu. Aku tak dapat membayangkan jika aku benar-benar jatuh ke sana. “Ayo kutemani kau melewati lorong ini,” katanya lagi sambil menarik tanganku. “Terimakasih,” kataku lirih, dan dia membalasnya dengan senyuman. Aku tak mengerti, yang ia genggam apakah tanganku, atau hatiku?

Tanah yang kita lalui sudah berganti menjadi bebatuan kecil. Aku kembali curiga, apakah sebentar lagi aku akan berpisah dengan Marv? Bersamanya, aku tak banyak bicara dan tak banyak bertanya, sama seperti biasanya. Rasa takut dan khawatir memang ada, tetapi aku tak pernah membiarkan emosi itu terlihat. Aku terbiasa menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, terbiasa menyimpan semuanya sendiri, terbiasa berpura-pura.

“Tunggu, sepertinya aku mendengar sesuatu,” ucapku tiba-tiba seraya mencari tahu suara apa dan berasal dari arah mana. Marv pun berhenti dan ikut mengamati sekeliling. Pantulan bola? Mungkinkah ada seseorang yang sedang bermain bola di dalam labirin? Aku dan Marv saling tatap, dan sepakat untuk mendekat ke arah suara, memastikan sesuatu. Ya, benar. Ada seseorang sedang memainkan bola basket. Dia menatapku lurus, lalu melemparkan bola cepat kepadaku. Spontan aku menangkapnya tepat di depan wajahku. Kekuatan lemparannya tidak tanggung-tanggung, membuat kaki kananku mundur selangkah untuk menahannya, dan tentu saja tanganku terasa sakit.

Ada apa dengan laki-laki itu? Dia terus saja menatapku dengan dingin dan tajam, lalu beranjak pergi begitu saja. Terheran-heran, aku bersiap untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba Marv meminta bola itu dan memantulkannya ke bawah berkali-kali. “Ayo main!” ajaknya, membuatku spontan kebingungan, “Hah??”

Dia mulai berlari kecil sambil mendribel bola itu, lalu melemparkan kembali padaku. “Tidak, sebaiknya kita menyusul pemilik bola ini,” kataku ketika kutangkap bola lemparannya. Agaknya dia sedikit kecewa dengan kemauanku, tapi aku biarkan.

Kita mencoba mencari si pemilik bola. Sesekali aku melihat sosoknya berbelok atau melewati jalan-jalan labirin di sekitarku. Namun, ketika kucoba menyusulnya, dia menghilang. Sampai akhirnya aku berhasil menemukannya, berdiri menghadap ke jalan buntu dan membelakangiku.
“Hei, aku kembalikan…” kataku berbicara padanya. Mendekatlah. Tiba-tiba ada suara perempuan asing yang berbisik yang membuatku berhenti melanjutkan kata-kataku. Aku celingukan, tetapi tak ada siapapun kecuali aku dan Hak, sebutan untuk sosok di hadapanku ini. Kemudian Hak perlahan membalikkan badannya. Sorotan tajamnya seolah akan menghancurkanku, dan sorotan dinginnya mampu membuatku membeku, ketakutan. Beberapa saat kemudian, Marv datang. “Di sini kau rupanya,” katanya. Aku spontan menoleh pada Marv, dan Hak lenyap begitu saja ketika kukembalikan pandanganku ke arahnya. Lalu tanpa basa-basi Marv menarik tanganku, mengajakku segera pergi dari tempatku berdiri. Keberadaan Hak dan bola yang sedaritadi kupegang menghilang tepat di depan mata. Tetapi mengapa Marv sama sekali tak menanyakannya?
 ~~~

Saturday, June 04, 2016

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon I

Bagian 3
Labirin Pohon (I)


Aku terengah-engah. Aku merasa nafasku hampir habis. Aku berhenti dan bersandar menyamping pada pohon tinggi di sebelahku. Sunyi. Hanya suara berat nafasku yang kudengar. Aku mencoba mengatur nafasku, sembari menatap kaki telanjangku. Penuh goresan luka, tapi aku biarkan.

Aku tidak memahami apapun. Hanya ketakutan lagi yang kurasa. Tersesat. Lagi-lagi aku tersesat. Aku ingin segera keluar dari tempat ini. Tapi bagaimana? Kakiku mulai kelelahan, bahkan untuk berjalan.

Satu persatu wajah mereka kembali membayangi. Mereka seakan enggan untuk enyah dari pikiranku, sekalipun aku berlari dan berteriak, sekalipun aku menghindari atau mengusir mereka. Sakit. Aku meringkuk kesakitan. Bukan karena goresan kakiku. Sakit yang bahkan aku sendiri tak dapat melihat dan mengobatinya.

Mataku perlahan memejam. Lelah dan sakit ini, apakah aku akan berakhir di sini? Ataukah ada lagi yang akan muncul menolongku? Seperti yang dilakukan Rez sesaat setelah aku memasuki hutan ini.
***
Ialah Rez, sosok laki-laki yang menolongku ketika aku tenggelam ke dasar sungai beberapa saat setelah aku keluar dari Padang Rumput Kebahagiaan. Aku pikir aku beruntung karena ada seseorang bersamaku. Tetapi tidak. Rez pergi menghilang begitu saja. Selama waktu yang singkat bersamanya, kita tidak pernah benar-benar saling berbicara. Aku hanya mengingatnya, satu paket dengan gitar yang tidak pernah dia mainkan. Tanpa Rez, aku kembali meyusuri hutan gelap sendiri.

Waktu telah berlalu sejak Rez menghilang. Sebanyak apa, dan sejauh mana telah kulewati waktu di hutan ini, aku tidak tahu pasti. Tak jarang pula aku ingin kembali ke padang rumput hijau itu dan menghabiskan waktu membuat pesawat kertas. Samar-samar aku mendengar suara aneh mendekat dari balik punggungku. Seperti gesekan antara roda dengan daun-daun kering dan tanah. Aku menoleh ke belakang. Seorang anak laki-laki tiba-tiba berhenti tepat di belakangku dengan sepedanya. Aku tersontak, tapi dia justru tersenyum. Senyuman kemenangan karena dia berhasil mengejutkanku.

Wajahnya begitu familiar. Aku merasa sudah lama mengenalnya, dan merindukannya. Sangat. Tanpa sadar, dan tanpa ragu-ragu, aku membalas senyumnya itu. Dia turun dari sepedanya, menarik tanganku, mengajakku pergi dari tempat itu. Sembari mengikutinya, aku melihat ke belakang, ke arah sepeda yang ia tinggalkan. Sepeda itu lenyap menjadi debu, dan menghilang seperti diterbangkan angin. Aku berhenti, mengerutkan kening. Lalu anak laki-laki itu menarik-narik lagi tanganku. Wajah polos dan senyuman manisnya seolah mencekik leherku. Sakit. “Akankah anak ini menghilang seperti sepeda itu?” batinku.

Sekelilingku tampak sama. Hanya pepohonan besar nan kokoh yang ujungnya bahkan tak dapat kulihat. Aku tidak tahu kemana anak itu akan membawaku. Dalam diam, aku memperhatikannya. Lagi - lagi ada yang aneh. Entah bagaimana aku merasa dia berubah, tumbuh menjadi dewasa perlahan secara fisik. Anak manis tadi telah berubah menjadi sosok laki-laki yang cukup tampan. Namun, aku tetap diam. Tak ada pertanyaan apapun, dan tak ada penjelasan apapun. Bagaimana itu mungkin, aku saja tak dapat berbicara. Tapi aku tidak peduli, asalkan dia terus bersamaku.

Hutan semakin gelap. Dia menghentikan langkahnya, dan melepaskan genggamannya dariku. Aku dimintanya untuk beristirahat, sedangkan dia mengumpulkan ranting-ranting kayu untuk dibakar. Rasa kantuk mulai menyerangku, tapi aku takkan membiarkan mataku terpejam. Aku tak ingin terbangun dan mendapati diriku sendirian lagi. Tetapi aku gagal mengalahkan kantukku. Saat itu, sangat nyaman dan hangat, aku terlelap.

Aku membuka mata perlahan. Hutan lebat ini, meski siang pun akan tetap gelap, meskipun akan lebih gelap ketika malam. Aku melihat sekelilingku. Aku sadar akan sesuatu. Tidak ada. Dia tidak ada! “Gat!!” sontak aku meneriakkan nama itu. Aku terkejut sendiri. Bukan karena nama yang ku teriakkan, tapi pada kenyataan bahwa aku bisa bicara. Apa karena aku telah keluar dari padang rumput itu? Entahlah. Tanpa pikir panjang, aku bangun dan mulai mencari lelaki yang kusebut Gat. Tak hentinya aku menggumamkan nama itu. Aku tak yakin, tapi nama itu menjadi panggilanku untuknya, dan ya, itu nama yang cukup aneh.

Aku terus mencarinya, tapi nihil. Bukan dia yang kutemukan, tetapi sebuah gerbang kayu yang cukup besar dan terlihat kokoh. Meski pintu gerbang itu terbuka sedikit, tubuhku masih cukup untuk memasukinya. Aku melihat seseorang di balik pintu besar itu. Aku pun berjalan mendekat. “Gat, kau kah itu?” batinku, berharap. Ternyata bukan. Laki-laki itu berdiri memandang lurus ke arahku, sembari menyandarkan dirinya pada pohon dibelakangnya. Perlahan, dia bersiap untuk beranjak dari sana. Lalu dia mengulurkan tangannya, memintaku untuk masuk ke dalam.

Aku meragu. Aku yakin Gat masih di luar. Haruskah aku masuk seorang diri? Atau kembali mecari Gat, dan datang ke tempat aneh itu bersamanya? Berkelut dengan pikiranku sendiri, laki-laki itu mulai berjalan menjauh, berjalan masuk ke dalam. Gerbang pun seolah tak memberikan banyak waktu karena ia perlahan menutup. Pada detik-detik terakhir, aku memutuskan untuk masuk.

Di balik gerbang kayu besar rupanya terdapat lorong. Bukan lorong bangunan, melainkan lorong yang terbentuk dari dahan-dahan pohon yang saling melilit satu sama lain. Sesaat aku tahu, lorong ini telah membentuk labirin, labirin dari pohon-pohon besar dan pohon-pohon merambat.

Sebelum aku berbelok ke kiri untuk meneruskan masuk ke dalam labirin dan sebelum pintu gerbang benar-benar tertutup, aku memandangi hutan gelap di luar gerbang.
“Apakah aku meninggalkan Gat? Atau dari awal aku yang sudah ia tinggalkan?”
Apapun itu, aku berharap dapat bertemu dengannya lagi.
~~~ 

Tuesday, May 03, 2016

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Lain

Bagian 2

Labirin Lain

Waktu demi waktu berlalu. Ia berputar dengan lambat. Atau justru sangat cepat sehingga aku merasa waktu bergulir lambat? Tidak lagi paham aku akan waktu.

Aku teringat ketika pertama kali keluar dari labirin kaca. Bukan dunia yang kukenal yang kurindukan. Hanya sebuah pintu, yang diikuti pintu lain di baliknya. Tidak ada yang lain kecuali pintu dengan dinding, lantai, dan atap yang serba putih.

Thursday, February 04, 2016

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Kaca

Bagian 1
Labirin Kaca

Aku seperti dalam ruang yang cukup gelap dan penuh cermin setinggi lima meter. Ke mana pun aku pergi, hanya ada cermin. Sepanjang jalan yang berliku yang aku susuri, hanya ada aku dan pantulan-pantulan diriku, diriku yang lain. Mereka bukan aku, tapi kita sama.
Aku terus berjalan mencari jalan keluar. Semakin lama semakin menyesakkan. Kupercepat jalanku lalu aku mulai berlari kecil. Seluas apakah labirin ini? Sejauh mana aku harus menjelajahinya? Dan selama apa aku dapat bertahan? Bingung menghampiri, dan cemas pun merajai. Aku merasa ketakutan sendiri melihat sosok-sosok yang berlari dengan kecepatan yang sama namun tubuh yang berbeda. Mereka bukan aku dan kita tidak lagi sama.
Siapa mereka? Mereka tampak mengerikan. Aku berlari makin cepat, berusaha menjauh dari mereka. Tapi mereka tetap mengejarku. Begitu ketakutan, aku tak bisa menggunakan akalku dengan benar. Aku berlari tanpa tahu arah. Berbelok, berbelok, dan berbelok. Berlari dan terus berlari. Aku tidak menemukan jalan keluar, tapi jalan buntu. Aku terjatuh, terpojok dan aku terengah-engah. Aku berbalik ke belakang, sosok-sosok mengerikan itu menghilang. Aku duduk memeluk kedua lututku, dan kutundukkan kepalaku bersandar pada lututku. Aku merasa haus dan lapar, tapi tak ada apa pun di sini. Aku menangis, tapi itu hanya membuatku semakin haus dan lapar. Kuusap air mataku dan dengan lemas, aku mencoba berdiri. Aku berpegang pada dinding di sisiku. Dan lagi, aku melihat sosok dalam cermin. Terkaget, aku melangkah mundur hingga menabrak sisi dinding yang lain, dinding cermin. Menyedihkan. Mereka menyedihkan dan mengerikan. Tidak terlihat kebahagiaan, namun hanya kesepian dan ketakutan. Langit dan lantai pun berubah menjadi cermin. Mereka semua muncul dari segala sudut, mereka yang terlihat jahat dan penuh kesedihan.
Tempat apa ini sebenarnya? Di mana aku? Dan siapakah mereka? Aku terdiam, pikiranku kosong sesaat. Kenapa aku harus bertanya siapa mereka? Bukankah jelas mereka adalah aku.
Ya. Mereka adalah aku. Lalu siapa aku sebenarnya? Siapa? Aku adalah mereka semua, mereka yang menunjukkan betapa buruknya aku: penuh kecurigaan, ketakutan dan kepedihan yang akhirnya menimbulkan kebencian pada kehidupan. Kecurigaan akan tingkah laku tiap orang. Ketakutan akan kehilangan dan ketakutan akan dibenci dan dilupakan. Kepedihan karena telah merasakan banyak kehilangan dan kebencian serta terlupakan. Aku menganggap mereka tidak pernah ada. Yang kulakukan hanya berlari menjauh. Pergi menjauh karena aku tidak ingin menganggap mereka adalah bagian dari diriku.
Kuberanikan diri mendekat pada salah satu sosok menyedihkan dalam cermin. Kuamati sosok tersebut. Perlahan semua sosok-sosok dalam cermin menyamai sosok itu. Tidak kuasa aku menahan tangis dan terucap kata maaf dari bibirku. Begitu rapuhnya kah aku serapuh sosok yang sedang kuamati itu? Salahku telah membiarkan dia sendiri. Salahku telah memisahkan diriku dan menganggap dia tidak ada. Salahku hanya berlari menjauh dari sosok itu, bukan membawanya bersamaku mencari jalan keluar dan meraih kegembiraan.
“Aku adalah kamu. Kamu adalah aku.”
Aku menerimanya sebagai bagian dari diriku. Aku menerimanya sebagai aku yang penuh kecurigaan, ketakutan, kesepian, kepedihan, dan kebencian. Aku tidak akan lagi berlari menjauh, tetapi berbalik menghadapi dan menerima. Akan aku terima semua, aku hadapi semua perasaan dan keadaan, lalu kuubah perlahan menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan.

Labirin ini menunjukkan diriku yang lain, diriku yang sebenarnya. Namun, labirin ini masih membuatku tersesat. Aku masih harus mencari jalan keluar. Dan perjalananku sepertinya masih panjang.

Monday, November 24, 2014

Yossy #end


 Part 3

Dia duduk di sampingku, menemaniku yang sedang terkulai lemah di ruang inap. “Kamu ke sini sendirian, Do? Nggak sama orang spesial atau undangan special mungkin?” tanyaku iseng untuk memecah keheningan. Dia paham maksudku, tapi dia hanya menjawab sambil tersenyum, ”Nggak, Lun.“ Ya, dia memang tersenyum, tapi tersenyum getir. Tidak lama dia menjenguk dan menemaniku, karena aku harus istirahat. Namun, dalam pertemuan singkat ini, aku dapat melihat belum ada yang berubah dari dirinya, perasaan maupun sikapnya untukku. Caranya menatap, nadanya ketika bercerita dan bercengkrama, dan dalam sentuhan-sentuhan kecilnya aku masih dapat merasakan apa yang ada dalam isi hatinya. Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Kita tidak boleh bersama, dan aku pun telah mencintai orang lain. Aku hanya berdoa agar dia mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.
***_***

Sunday, November 23, 2014

Yossy #2


 Part 2
Aku membuka mata mendengar pintu yang berdecit pelan dan seseorang datang menjengukku, seseorang yang lama kurindukan. Dia tersenyum dan berjalan mendekat membawa satu paket buah untukku.“Pagi, bagaimana kabarnya, Bu Luna?” tanyanya. Aku tertawa kecil lalu menjawab,”Nggak perlu kaku begitu, aneh tahu. Begini-begini aku juga masih gaul kok.”
***_***

Saturday, November 22, 2014

Yossy #1


 Part 1

Jodoh, salah satu misteri yang tidak pernah mampu dipecahkan oleh banyak orang. Mungkin sebagian orang merasa mudah dalam menemukan jodoh mereka, dan sebagian orang yang lain perlu merasakan getirnya kehidupan demi bertemu jodoh yang tepat. Tapi untukku, jodoh itu penuh kejutan. Aku tidak akan tahu pasti siapa jodohku sampai akhirnya aku menghembuskan nafas terakhir di sisinya.Aku pun kini sudah mulai menua, terbaring lemah di rumah sakit ditemani suami tercinta dan kedua putri kembarku yang sudah mulai beranjak dewasa.

Sunday, March 09, 2014

A Trip to the Past V


A Trip to the Past ( I n D )
Tahun 2011 setelah aku berpisah dengan L dan memasuki masa-masa kuliah, aku melakukan dua kesalahan yang fatal menurutku. Bahkan salah satunya membuatku merasa menyesal seumur hidup.
Bulan 24 Juli 2011, aku bertemu dengan I dalam suatu acara kelurahan di desaku. I adalah teman masa kecilku waktu aku masih TK. Dia seumuran denganku, tapi aku lebih dulu masuk SD. Lalu, sejak kita memasuki sekolah dasar yang berbeda, aku tidak seakrab dulu lagi. Bahkan semakin dewasa, semakin sulit untuk kita berinteraksi seperti dulu. Tiap tahunnya aku memang bertemu dengannya saat bulan Ramadhan di masjid, tapi aku tidak pernah berbicara dengannya selama bertahun-tahun. Dan tanggal itu, pertama kalinya aku menjalin komunikasi dengannya.
Bulan Agustus, tepat ketika bulan Ramadhan datang, aku pun sering bertemu dengannya saat shalat tarawih dan shalat shubuh. Terkadang dia mengantarku pulang sampai ke depan rumah, karena jarak masjid dengan rumahku cukup jauh, meskipun berkali-kali aku berusaha menolak. Terkadang, kita juga jalan-jalan pagi setelah shalat shubuh di masjid.
Tepat ketika hari berganti menjadi hari raya Idul Fitri, tepat ketika aku berulang tahun, sekitar pukul 00.15 dia menelpon. Dia menyatakan perasaannya untuk kesekian kalinya. Dan sampai hari di mana aku harus kembali ke Jogja, aku tidak sempat untuk menemuinya. Aku mengecewakannya, mengecewakan rencana kejutannya untukku. Dia sempat marah karena aku tidak memberitahunya jam berapa aku berangkat, sehingga membuat gagal rencananya. Tapi setelah itu, justru kita memastikan hubungan kedekatan kita dan jadilah kita sebagai sepasang kekasih.
Terlihat sepintas, cerita yang membahagiakan. Tapi, kesedihanku datang setelah aku tinggal di Jogja. Dia yang terlalu romantis, tapi protektif dan posesif membuatku merasa tercekik. Dia tahu bahwa aku masih memiliki perasaan untuk L, bahkan dari awal dia berusaha mendekatiku, dan dia tidak mempermasalahkannya. Justru dia mengatakan akan merubah hatiku dan membuat aku berpaling seutuhnya dari L. Tapi, bagaimana mungkin aku mampu berpaling dengan sikapnya yang protektif, posesif, dan memiliki emosi yang lebih labil daripada aku. Untuk sesaat aku masih bisa bertahan, tapi setelah dia meminta kiss on the lip, aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengakhirinya. Selama satu minggu aku mendiamkannya. Aku tidak membalas sms atau teleponnya. Dan pada akhirnya, hubungan kita pun berakhir ketika aku masih di Jogja.
Aku tidak tahu bagian mana yang seharusnya atau ingin aku perbaiki. Semuanya terasa salah, tapi aku pun tidak ingin menyalahkan pertemuan kita. Aku memang menyukainya dan aku berharap banyak darinya. Tapi justru itu yang membuatku sangat kecewa.
Benar-benar sangat egois aku saat itu. Aku tidak memikirkan bagaimana perasaannya. Aku terlalu penuh akan diriku. Aku tidak melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang membuat semua kejadian itu menjadi salah. Aku tidak membiarkan diriku memberi kesempatan untuk lebih tahu kehidupan I yang sebenarnya, kehidupan SMA nya saat itu dan kehidupannya setelah ayahnya meninggal. Mungkin saja dia terpengaruh lingkungannya yang dikelilingi teman-teman yang berandal, membuatnya belum bisa berpikir mana yang benar dan salah. Mungkin sebenarnya Tuhan mempertemukanku lagi saat itu, bukan saat yang lain, dengan maksud agar aku dapat membantunya untuk lebih dewasa dalam menyikapi banyak hal.
Tapi aku justru lari dan meninggalkannya. Bahkan, seolah aku melampiaskan amarah karena apa yang dilakukan L dulu, dengan melakukan hal yang sama pada I, dengan bersikap dingin padanya. Benar-benar jahat. Aku memang terluka dengan apa yang dia minta karena itu menyangkut prinsipku. Tapi bukan berarti aku harus membalas luka dengan luka. Sampai kini aku masih menyesalinya dan berandai untuk kembali ke masa lalu agar aku bisa memperbaikinya. Tentu saja mustahil. Karena itu, sampai sekarang, aku ingin bertemu dengannya dan meminta maaf. Tapi aku belum juga diberi-Nya kesempatan untuk bertemu secara personal dengan I.
Belum selesai sampai di situ, lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Memang, manusia tempatnya salah. Hal yang sangat aku sesali hingga kini adalah mengenal seorang laki-laki berinisial D. Tidak, mengenalnya bukan suatu kesalahan tentu saja, tapi jatuh ke tangannya lah kesalahan besar. Kali itu, aku benar-benar merasakan seperti seorang bidadari yang dipuja dan dibumbungkan setinggi mungkin. Lalu tiba-tiba tanpa suatu sebab yang jelas, sayap bidadari ini dicabut dan aku dilemparkan ke tanah. Dia yang penuh cara mampu mengecoh pikiran dan perhatianku seketika. Dengan rajinnya dia ‘menyerangku’ dengan kebaikan, perhatian, dan kehangatannya. Dia melakukan hal-hal yang cukup romantis untuk menunjukkan perasaannya padaku. Dia beberapa hal yang belum pernah dilakukan laki-laki lain dalam menunjukkan perasaan sukanya. Namun, pada akhirnya dia melepasku begitu saja tepat setelah dia menyatakan perasaannya padaku.
Aku tidak dendam padanya. Tapi aku ragu bahwa aku tidak membencinya. Ketika aku mengingatnya, hanya ada rasa kesal dan marah. Tapi tetap saja ada perasaan yang aneh. Aku memang sangat kesal dan marah, tapi entah mengapa aku tidak bisa benar-benar membencinya. Bukan karena aku mencintainya atau hal-hal semacam itu. Mungkin aku hanya tidak bisa menerima apa yang dia lakukan. Aku yakin dia tipe laki-laki yang setia ketika dia sudah berkomitmen, tapi kenapa dia malah mempermainkan perasaanku.
Aku masih sakit hati, tapi aku sangat yakin aku tidak memiliki perasaan apapun padanya setelah apa yang dia lakukan. Selama hampir satu tahun, aku mencoba untuk tetap berteman dengannya meskipun lewat sms. Tapi dia tidak pernah mau mempedulikannya. Dan datanglah hari di mana dia mengatakan untuk tidak mengharapkannya lagi dan melupakan apa yang pernah dia sampaikan satu tahun sebelumnya. Tersontak aku membaca sms itu. Amarahku justru makin memuncak. Selama ini dia berpikir aku mengharapkannya?! Dia pikir aku bergantung pada kata-kata sukanya dulu?! Dia pikir aku bodoh!? Sekali pandang, aku pun paham dia tidak menyukaiku lagi dan lebih menyukai teman sekelasnya. Selama ini aku menahan rasa sakit hati untuk terus berinteraksi dengannya agar aku tidak memutus pertemanan, tapi ternyata itu yang dia pikir. Aku merasa apa yang aku lakukan sia-sia. Dan penyesalanku pun makin tumbuh. Aku MENYESAL pernah berpikir untuk mencintai dia sepenuh hati! Aku menyesal tetap berusaha berbaik hati padanya setelah apa yang dia perbuat. Aku menyesal mengenalnya, bahkan sampai sekarang, dan mungkin selamanya. Tidak ada yang ingin ku perbaiki di masa itu, karena pada dasarnya aku hanya tidak ingin dan tidak seharusnya mengenal dia!
Tapi karena jalan hidupku adalah telah mengenalnya, maka aku pun harus membawa kenangan buruk itu. Entah kapan aku dapat tersenyum mengingat hal menyebalkan itu. Aku hanya bisa sabar dan berusaha menganggapnya angin lalu. Mungkin itu pun terjadi karena aku telah menyakiti orang lain sebelumnya, sehingga aku pun disakiti. Namun, begitulah hidup. Hal yang mustahil untuk kita terhindar sepenuhnya dari menyakiti dan disakiti.
Mas R dan I, aku benar-benar ingin meminta maaf pada mereka sekalipun mereka sudah melupakanku. Dan juga beberapa orang lain yang sempat bersusah payah mendekatiku, tapi aku malah membuat mereka sakit hati karena aku tidak memiiki perasaan yang sama dengan mereka.
Aku tidak tahu apakah kisahku sekarang akan berbeda ataukah tetap sama jika aku diberi kesempatan untuk memperbaiki salah satu dari semua kejadian-kejadian itu. Tapi yang pasti, aku bahagia dan sangat berterima kasih untuk-Nya karena telah menghadirkan mereka-mereka dalam hidupku. Memberiku pelajaran dan pengalaman berharga. Dan memberiku kenangan yang akan terus kusimpan hingga kelak aku dapat tersenyum puas dan bahagia saat mengingat tiap detail kejadiannya.
The End ???

Saturday, March 08, 2014

A Trip to the Past IV


A Trip to the Past ( L )
Selang beberapa bulan setelah aku dan K berpisah, masih dalam tahun yang sama –2009–, diadakan suatu acara reuni SMP kelas Sembilan sekaligus buka bersama karena bertepatan dengan bulan Ramadhan. Di sini lah aku bertemu kembali dengan L setelah satu tahun tanpa kabar dan tanpa adanya komunikasi. Satu tahun kemudian, tahun 2010 bulan Desember tanggal 7, aku dan L meresmikan hubungan sebagai kekasih.
Karena sekolah kita yang berbeda, aku jarang sekali bisa bertemu dengannya. Dan lagi-lagi handphone menjadi andalannya. Kita lebih meluangkan waktu bersama hanya lewat handphone. Hanya sekali-dua kali dia mengantar atau menjemputku. Hanya beberapa kali dia ke rumahku. Dan hanya satu kali kita benar-benar main berdua.
Entah berawal dari mana, cobaan mulai datang. Dua laki-laki mendekatiku. Mereka adalah A dan M. Mereka tahu dengan jelas dan pasti bahwa aku masih dengan L. Namun, mereka acuh dan tetap mencoba mendekatiku. Aku tidak pernah ragu dengan perasaanku, sama sekali. Sampai suatu ketika, L mulai dingin padaku tanpa sebab. Mengetahui hal itu, A dan M justru makin gencar ‘menyerangku’, membanjiriku dengan perhatian. Aku tidak begitu mempedulikan dua orang itu. Justru semakin mereka memberi perhatian, semakin aku sedih karena bukan L yang melakukannya.
Karena aku masih belum berpengalaman dalam hal percintaan, aku pun tidak tahu harus bagaimana. Apalagi orang-orang terdekatku mulai melawan hubunganku dengan L karena melihatku yang saat itu cukup menderita. Semakin sakit rasanya ketika sahabatku sendiri menyarankan dengan cukup tegas untuk mengakhiri hubunganku dengan L.
Meski aku sempat meragukan perasaanku sendiri, pada akhirnya aku tetap tahu bahwa hanya L satu-satunya yang aku sayangi saat itu. Aku tidak peduli apa yang dilakukan dua orang itu. Aku pun tidak peduli apa yang orang lain pikir. Sayangnya, aku tidak mengatakannya setelah tahu bahwa L sedang mengujiku.
Lagi dan lagi. Aku menyembunyikan perasaanku sendiri. Aku tidak bisa mengatakannya ketika dia sendiri sudah meragukan perasaanku dan tidak mempercayaiku dengan mengujiku dan mendapatkan jawaban yang menurutnya benar. Pada akhirnya, ‘spanduk kekasih’ antara aku dan L pun diturunkan pada tanggal 9 Juni 2011 tanpa dia menyadari perasaanku sebenarnya, bahkan hingga sekarang.
Karena itulah, seandainya aku mampu kembali, aku ingin kembali ke masa ketika aku mengenal A dan bertemu kembali dengan M. Alasan kenapa mereka mendekatiku adalah karena kebaikanku sendiri. Awalnya mereka seperti anak kecil yang tersesat dan aku menolong mereka menemukan jalan mereka. Ya, saat aku mengenal A untuk pertama kalinya dan bertemu dengan M, teman masa kecilku, mereka sama-sama dalam keadaan terpuruk. Sebagai seorang teman, aku hanya berusaha untuk membantu mereka. Namun, perhatianku mereka salah artikan. Perhatianku membuat mereka menargetkanku. Aku merasa aku cukup tegas mengatakan perasaanku hanya untuk L. Mungkin aku seharusnya lebih kasar dengan tidak mempedulikan perhatian mereka. Bahkan mungkin aku harus bersikap dingin seperti L yang sempat bersikap dingin padaku.
Sekalipun apa yang ingin kulakukan itu tidak mempan terhadap dua orang itu dan L tetap menunjukkan keraguannya, harusnya aku tidak menyembunyikan perasaanku. Harusnya aku tetap jujur apa adanya dan seharusnya aku berusaha sedikit lagi untuk memperjuangkannya. Andai apapun yang ku lakukan tetap tidak berpengaruh, setidaknya aku akan lebih lega dan lebih mudah untuk melangkah maju karena tidak ada lagi hal yang aku tutup-tutupi dan tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Aku tidak ingin lagi menahan diri dan menyembunyikan perasaan apa pun untuk orang yang aku sayangi nantinya.
To be continued…
Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management