Showing posts with label Stories. Show all posts
Showing posts with label Stories. Show all posts

Friday, April 27, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Mimpi

Bagian 4
Labirin Mimpi (I)

Sunyi. Sepi. Hanya suara langkah kakiku yang terdengar. Sesekali aku merasakan desiran angin lembut menerpaku. Rasanya begitu kesepian. Aku terus saja teringat pada kata-kata terakhir Marv yang ia sampaikan padaku ketika kita berpisah, Jika kau melanjutkan perjalanan ini, mungkin kau akan lebih menderita lagi.”
Memang derita apa lagi yang akan aku alami? Kepalaku mulai pusing. Sepertinya aku mulai kelelahan dan kehilangan tenaga. “Kau perlu bantuan?” ucap seseorang yang tanpa kusadari sudah ada tepat di belakangku, mencoba menopangku. Aku menoleh padanya, mengamati wajahnya yang mulai samar-samar tak terlihat, dan seketika gelap. Entah aku pingsan atau terlelap.
Aku membuka mata kemudian, secara perlahan. Terkejut, kudapati diri berdiri di tengah lorong sebuah gedung asing. Dinding-dindingnya tampak kokoh, dan semua terlihat lebih terang. Banyak pintu di sisi kanan maupun kiri. Banyak orang pula berlalu lalang; sebagian mengenakan pakaian sama dengan celana dan baju lengan panjang bermotif polkadot warna biru, sebagian lain mengenakan jubah atau jas serba putih membawa sesuatu yang dikalungkan di leher atau kertas-kertas dengan penuh catatan dan coretan. Ada juga beberapa lainnya yang mengenakan pakaian biasa, menemani atau bercengkrama dengan orang yang berbaju polkadot. Sepintas kulihat seseorang yang berjalan melaluiku, di lengannya nampak sedikit tulisan ‘Rumah Sakit’. Aku tak lagi memperhatikan kata berikutnya karena ternyata ada seseorang berjalan di belakangku. Lagi-lagi, dia seperti aku. Tidak, dia memang benar-benar aku. Perlahan dia berjalan ke arahku, tetapi tidak mengenaliku, bahkan dia tak melihatku. Dia berhenti tepat di sebelahku, menatap lurus seorang laki-laki yang sedang kesulitan berjalan karena kakinya sedang cedera dan seorang perempuan cantik dengan longdress biru navy yang membantunya, dengan perhatian penuh di sisinya. Kutebak mereka adalah sepasang kekasih, nampak dari kemesraan dan tatapan mereka satu sama lain.
Lalu, laki-laki itu melihat ke arahku, tepatnya perempuan di sebelahku. Tatapannya sungguh tak dapat kutebak. Sepintas mengejek, sepintas cuek. Sepintas terlihat dia merasa menang, sepintas nampak dia tak merasa tenang. Sepintas dia memberi tatapan galak, seolah perempuan di sisiku ingin dia elak. Tetapi mengapa rasanya semua tatapan itu tertuju pula padaku, bukan hanya pada perempuan ini? Dan, ada amarah yang mulai memenuhi nadi, serta kecewa yang menggerogoti hati. Lalu, aku pun mendengar perempuan itu berbicara, meski mulutnya rapat terkunci, “Beginikah rasa terabaikan, terbuang, tertipu? Atau aku yang terlampau bodoh percaya pada semua ujaranmu?” Batinannya sungguh tegas masuk ke saraf otakku. Perasaannya sungguh jelas memenuhi jiwaku, tercabik hingga lebur, terasa begitu sakit hingga ingin kupilih selamanya tertidur. “Rasanya ingin mati.” Kali ini dia berbisik. Tetapi bisikannya serasa maut bagiku. Kepalaku mulai merasakan sakit yang luar biasa. Tubuhku mulai limbung. Aku memejamkan mata tapi yang kulihat bukan gelap gulita. Entah itu potongan mimpi, atau ingatan, yang pasti semua berebut muncul di dalam kepala. Sedangkan kata ‘mati’ terus saja menjejal telinga. Karena sakitnya tak tertahankan, kulampiaskan dengan teriakan.
Teriakan itu membuatku terbangun di tempat berbeda, bukan di lorong gedung ataupun di labirin. Aku terbangun di sebuah tempat tidur di dalam gubuk kecil. Di sebrang tempat tidur, ada satu meja kecil dengan beberapa roti dan minuman. Aku belum tahu siapa pemilik tempat ini, tapi rasa lapar membuatku tak ingin memikirkan apa pun untuk sementara. Tanpa pikir panjang, aku lahap habis makanan dan minumannya.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara pintu terbuka. Melihat siapa yang memasuki gubuk, aku sontak berdiri, berjalan menjauh. Sekujur tubuhku mulai merasa ngilu melihat sosok laki-laki di depanku. Kecemasan mulai merajaiku mengingat laki-laki itulah yang ada di mimpiku. Pertanda burukkah itu?
Kuamati dia dengan waspada. Tingginya sekitar 4-5 cm di atasku dengan perawakan yang terbilang kecil sebagai seorang laki-laki, tetapi tetap terlihat kuat. Matanya agak sipit dan senyumnya, yah, cukup manis. Air mukanya begitu ramah dan menyenangkan. “Syukurlah, sepertinya kau baik-baik saja. Aku agak cemas karena kau terbaring cukup lama.” katanya tiba-tiba. “Kau tak ingat padaku?” tanyanya, mungkin karena aku hanya berdiri, diam, dan terlihat kebingungan. Sepintas aku bertanya-tanya maksudnya. Apakah dia pernah ada di masa laluku? Gedung asing itu mungkin. “Aku yang menemukanmu hampir pingsan, sampai akhirnya kau benar-benar pingsan.” Oh, ternyata itu maksudnya. “Yah, mungkin lebih tepatnya tidur daripada pingsan. Apa kau tidak pernah tidur?” Aku bahkan seperti membuang kata tidur dalam kamus hidupku ketika menelusuri labirin pohon. “Kenapa kau diam saja? Kau, baik-baik saja, kan?” “Y…ya, tentu,” jawabku pelan, dan dia tersenyum. “Duduklah, akan kubuatkan sesuatu yang lebih membuatmu kenyang daripada sepotong roti,” ucapnya sembari sibuk di dapur kecilnya.

Monday, March 26, 2018

Behind the Story of Maze Traveler

Behind the Scene Story
Penjelajah Labirin

Maze Traveler adalah cerita bersambungku yang pertama. Yah, sebenarnya ada cerita berkelanjutan lain yang aku post di blog ini, hanya saja tidak sepanjang dan se-lama (dalam hal pembuatan cerita) Maze Traveler. Awalnya tidak ada niatan sama sekali untuk membuat cerita bersambung. Aku hanya ingin menulis tentang gejolak batin seseorang yang memiliki masalah kepribadian (pada Labirin Kaca) dan seseorang yang menginginkan kebebasan (pada Labirin Pohon). Aku juga sengaja memberi akhir yang menggantung seolah akan ada cerita selanjutnya, dan memang aku berencana membuat cerita selanjutnya sih. Hanya saja total keseluruhan cerita hanya tiga atau empat bagian, lalu aku tamatkan. Namun, ketika menggarap bagian ketiga (plot cerita ketiga) sempat mengalami mandeg. Sebenarnya saat itu sudah jadi, tinggal post di blog, tapi entah kenapa masih kurang sreg. Lalu aku mencoba lanjut ke cerita empat (cerita ketiga akhirnya tetap di upload), tapi aku bingung mau mengakhiri cerita seperti apa. Karena seolah kehilangan jiwa di cerita ini, aku benar-benar mandeg sampai sekitar dua tahun, hahaha.
Lalu tahun 2016, aku mencoba membuka draft plot cerita labirin ini lagi, pelan-pelan aku garap lagi, dan aku revisi lagi (semacam skripsi XD). Tidak banyak yang kuganti untuk cerita pertama dan kedua, paling judul cerita kedua kuganti menjadi Labirin Lain karena cerita yang benar-benar menunjukkan tentang labirin pohon ada di cerita ketiga. Di sinilah aku menemukan ide aneh: Hutan Adam, dan menjadikan ini klimaks di cerita keempat. Jadi, rencananya bagian ke empat ini akan lebih-sangat-panjang ketimbang cerita bagian sebelumnya. Eh, ndilalah karena beberapa faktor keadaan, cerita ini kesendat lagi. Maklum, waktu itu aku jadi mahasiswi tingkat akhir. Aku mulai lanjut lagi di pertengahan tahun 2017. Lagi-lagi, aku harus baca semua catatan, draft plot dan tokoh-tokohnya biar dapat chemistry sama ceritanya *halah. Dan, ternyata, ujung-ujungnya banyak juga yang dirubah, terutama bagian Labirin Pohon. Labirin Pohon kubuat menjadi beberapa bagian atau beberapa posts dan Hutan Adam akan menjadi bab atau judul tersendiri. Di 2017 juga inilah aku memutuskan untuk membuat cerbung dengan judul Maze Traveler atau Penjelajah Labirin dengan pertengahan cerita yang 180° berbeda dari rencana awal. Sama sekali tidak terpikirkan untuk memunculkan tokoh penyihir, dimana tokoh inilah yang punya peranan significant dalam cerita ini. Lalu beberapa nama tokoh juga berganti-ganti, bahkan sampai detik-detik terakhir aku post ulang ceritanya dari bagian pertama (2018), masih ada yang kuganti. Ada juga tokoh yang akhirnya tidak kumasukkan karena terlalu banyak tokoh laki-laki, jadi aku hanya memasukkan tokoh laki-laki yang sangat mempengaruhi jiwa kebatinan tokoh utama saja.
Nah, itu tadi seputar kisah perjalanan waktu dalam pembuatan cerita ya. Terus bagaimana dengan cerita itu sendiri? Spoiler cerita boleh? Atau genrenya deh, dan inspired by true story mungkin? *uhuk.
No spoiler ya, maaf, hahaha. Yang pasti ini bukan bacaan berat dan ini cerita yang cukup aneh. Apalagi aku cuma penulis abal-abal. Kalau masalah genre bisa ditebak sih: fantasi. Sedangkan mengenai kisah nyata atau tidak, sebenarnya memang inspirasi dari kisah nyata. Beberapa tokoh itu memang nyata ada, hanya kuganti nama. Tetapi pengalaman detailnya tentu berbeda. Bahkan bisa dibilang tidak ada satu hal pun yang cukup mendetail tentang para tokoh laki-laki yang kuceritakan. Mereka kumunculkan dan kuhapus dalam sekejap, karena pada nyatanya begitulah mereka. Datang dan pergi seenaknya dengan meninggalkan bekas dan pengaruh tersendiri untuk si tokoh utama dalam realita. Sebenarnya aku sendiri tidak puas dengan cerita ini, terlalu klise. Tetapi aku hanya ingin menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Meski membutuhkan waktu yang lama, sekalipun pikiranku sudah mulai bergerak cukup dinamis (sesuai umur dan cara pandang, ingin membuat sesuatu yang lebih berbobot seperti memunculkan kehidupan sosial dan setting yang real), aku tetap ingin menyelesaikannya karena menulis dan menamatkan cerita ini sudah seperti bagian dari tanggung jawabku *halahalaahh. Jadi, ya, aku berharap bisa selesai, dan tidak tersendat terlalu lama (lagi). ‘-.-


*tambahan1: aku tidak tahu apa bisa kusebut sebagai bab atau sub-bab per post jika satu postnya saja ada yang hanya menghabiskan selembar kertas A4 hahaha… Yah, anggap saja bisa ya.
*tambahan2: alasan kenapa bukan update cerita terbaru, malah tulisan tidak jelas ini adalah karena aku sedang merombak total bagian ke empat, yang awalnya masih masuk bagian cerita Labirin Pohon, akhirnya kubuat jadi Labirin Mimpi (yang membuat kisah ini semakin terasa klise sih sebenarnya, tapi demi adanya sebuah foreshadow atau hint dalam cerita ya apa boleh buat). 
*tambahan3: setelah selesai mengetik, baru sadar, di bilang no spoiler awalnya tapi tetap saja ada beberapa spoiler semacam kemunculan penyihir dan judul Labirin Mimpi '-_-



Tuesday, March 13, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon III

Bagian 3
Labirin Pohon (III)

“Aku rasa kita harus berhenti sekarang,” pintaku pada Marv. “Mari berhenti dan bicarakan.”
“Bicarakan? Tidak biasanya kamu ingin berbicara. Ada apa?” katanya, berbalik padaku.

Aku mencoba mengatur nafasku perlahan, dan sejenak menghilangkan kelelahan yang kurasa karena terlalu lama berjalan. Aku duduk di bebatuan di pinggiran sebuah tanah lapang. Marv, masih berdiri di hadapanku, menatapku dan menungguku berbicara. Kubalas tatapannya, dan aku mulai berbicara.

“Bagaimana mungkin aku berdiam diri membisu dan hanya mengekor kemanapun kau pergi, sedangkan arah yang kau pilih selalu menuju ke tempat yang sama? Kau pikir sudah berapa kali kita melewati lorong yang sama dan berujung pada tempat lapang ini? Kita tersesat, sadarkah kau?” Tak ada respon darinya. Dia masih diam, seolah masih menungguku untuk berbicara lagi.

“Jangan-jangan kau sengaja?” tanyaku curiga. Dia mulai bersiap untuk protes. “Mungkin dari awal kau tidak ingin membantuku, kau hanya ingin mempermainkanku, iya kan? Kenapa? Bodohnya aku, aku bahkan tak benar-benar mengenalmu, tapi aku percaya begitu saja. Dari awal harusnya aku sendirian. Aku yakin kau akan menghilang jika sudah bosan mempermainkanku,” celotehku. “Aku benar-benar tak mengerti, tempat apa ini sebenarnya? Siapa dirimu? Siapa mereka? Datang dan pergi silih berganti. Aku merasa begitu dipermainkan, tapi aku tak yakin lagi, apakah kau atau ada sesuatu yang lain yang sedang mempermainkanku.” Aku menghela nafas dengan rasa dan pikiran yang campur aduk. "Kau... pasti tahu sesuatu, kan?" tanyaku sambil memicingkan mata, curiga.

Marv pun bertanya, “Kenapa baru kau pikirkan sekarang? Kenapa pula baru kau pertanyakan semuanya? Aku yakin pertanyaan itu sudah tertimbun lama dalam pikiranmu, kan?” Tepat sekali. Tak bisa dipungkiri memang, dari awal aku berada dalam kebingungan karena tak menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Aku kira seiring berjalannya waktu, aku akan menemukan jawabannya.

“Tidak semua hal akan terjawab oleh waktu. Tidak semua pertanyaan dan persoalan akan terselesaikan begitu saja dengan hanya menunggu dalam diam,” ucapnya tiba-tiba, seolah sedang membaca pikiranku. “Waktu mungkin akan mampu menjawabnya, tapi tetap saja semua tergantung pada usaha yang kau lakukan.”

Aku menatapnya lekat, antara ingin mempercayainya tetapi tetap mewaspadainya. "Jadi, kau tahu sesuatu atau tidak?" Dia hanya diam, enggan menjawab. “Sebenarnya kau… orang baik atau jahat?” Dia masih diam. Lalu beberapa saat kemudian, dengan tersenyum kecut dia menjawab, “Kedua-duanya.”

Aku menghela nafas lagi, dan berusaha bersikap tenang. 
“Lalu kapan saat kau menjadi orang baik?”
“Saat aku bersamamu, menemani dan menjagamu.”
“Dan kapan saat kau menjadi jahat?”
“Di waktu aku harus benar-benar meninggalkanmu.”

Entah mengapa aku mengerti jawaban dan ekspresinya itu. Dia berkata jujur. Aku tak ingin tahu apakah dia benar-benar tersesat atau sengaja menahanku dari sesuatu yang buruk yang akan terjadi jika kita memilih jalan lorong yang lain. Aku tak terlalu yakin, mungkin dia ingin aku menghindari orang-orang semacam Kris dan Hak. Tetapi jika aku terus seperti ini, aku tak akan pernah keluar dari labirin pohon.

Kuputuskan untuk mempercayainya lagi. Namun, aku tetap memilih perjalananku sendiri. Akan lebih baik aku yang meninggalkannya ketika dia menjadi orang baik. Akan lebih baik aku tak melihatnya berubah menjadi orang jahat, orang yang meninggalkanku. Aku beranjak dari bebatuan tempatku duduk. Kembali melanjutkan perjalanan labirin ini, sendiri.

Thursday, March 01, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon II

Bagian 3
Labirin Pohon (II)



Perlahan kubuka pagar kecil labirin pohon itu. Memasuki labirin pohon, aku hanya mengikuti Kris. ‘Kris’, nama panggilan yang tiba-tiba saja terucap secara spontan dari mulutku. Tetapi semakin aku mengikutinya, semakin aku merasa sesak. Sesuatu yang menyakitkan yang entah darimana mulai menghampiriku. Hanya dengan melihatnya, aku merasa sakit. Aku harus segera meninggalkannya, dan itu kulakukan. Aku berpisah darinya di dalam labirin itu. Tetapi tetap saja sesuatu mengganjal perasaanku. “Benarkah aku meninggalkannya? Bukan sebaliknya?”

Berpisah darinya, tidak benar-benar menghapus rasa sesakku. Parahnya, aku lebih sering menemukan jalan buntu, dan entah bagaimana aku kembali di tempat aku pertama kali memulai. Kuputuskan mengambil jalan yang berbeda. Kali ini aku mengambil jalan ke kanan dari pagar labirin.

Jalanan labirin yang kulewati terlihat rapuh dan mudah longsor. Sangat rapuh hingga aku hampir jatuh terperosok. Saat itulah aku bertemu Marv, yang menahanku dan memegang tanganku erat agar tak terjatuh. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku hanya mengangguk, tanpa berkedip. Aku tak terpesona padanya, hanya saja aku merasa aman dengan kedatangannya. Aku merasa bisa mempercayainya kali ini. “Di lorong ini, kau harus ekstra hati-hati, atau kau akan terjerumus ke dalam kegelapan di bawah sana,” katanya menasehatiku sembari melirik ke dasar lubang. Mengikuti arah bola matanya, aku melihat kepekatan tanpa dasar di dalam lubang itu. Aku tak dapat membayangkan jika aku benar-benar jatuh ke sana. “Ayo kutemani kau melewati lorong ini,” katanya lagi sambil menarik tanganku. “Terimakasih,” kataku lirih, dan dia membalasnya dengan senyuman. Aku tak mengerti, yang ia genggam apakah tanganku, atau hatiku?

Tanah yang kita lalui sudah berganti menjadi bebatuan kecil. Aku kembali curiga, apakah sebentar lagi aku akan berpisah dengan Marv? Bersamanya, aku tak banyak bicara dan tak banyak bertanya, sama seperti biasanya. Rasa takut dan khawatir memang ada, tetapi aku tak pernah membiarkan emosi itu terlihat. Aku terbiasa menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, terbiasa menyimpan semuanya sendiri, terbiasa berpura-pura.

“Tunggu, sepertinya aku mendengar sesuatu,” ucapku tiba-tiba seraya mencari tahu suara apa dan berasal dari arah mana. Marv pun berhenti dan ikut mengamati sekeliling. Pantulan bola? Mungkinkah ada seseorang yang sedang bermain bola di dalam labirin? Aku dan Marv saling tatap, dan sepakat untuk mendekat ke arah suara, memastikan sesuatu. Ya, benar. Ada seseorang sedang memainkan bola basket. Dia menatapku lurus, lalu melemparkan bola cepat kepadaku. Spontan aku menangkapnya tepat di depan wajahku. Kekuatan lemparannya tidak tanggung-tanggung, membuat kaki kananku mundur selangkah untuk menahannya, dan tentu saja tanganku terasa sakit.

Ada apa dengan laki-laki itu? Dia terus saja menatapku dengan dingin dan tajam, lalu beranjak pergi begitu saja. Terheran-heran, aku bersiap untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba Marv meminta bola itu dan memantulkannya ke bawah berkali-kali. “Ayo main!” ajaknya, membuatku spontan kebingungan, “Hah??”

Dia mulai berlari kecil sambil mendribel bola itu, lalu melemparkan kembali padaku. “Tidak, sebaiknya kita menyusul pemilik bola ini,” kataku ketika kutangkap bola lemparannya. Agaknya dia sedikit kecewa dengan kemauanku, tapi aku biarkan.

Kita mencoba mencari si pemilik bola. Sesekali aku melihat sosoknya berbelok atau melewati jalan-jalan labirin di sekitarku. Namun, ketika kucoba menyusulnya, dia menghilang. Sampai akhirnya aku berhasil menemukannya, berdiri menghadap ke jalan buntu dan membelakangiku.
“Hei, aku kembalikan…” kataku berbicara padanya. Mendekatlah. Tiba-tiba ada suara perempuan asing yang berbisik yang membuatku berhenti melanjutkan kata-kataku. Aku celingukan, tetapi tak ada siapapun kecuali aku dan Hak, sebutan untuk sosok di hadapanku ini. Kemudian Hak perlahan membalikkan badannya. Sorotan tajamnya seolah akan menghancurkanku, dan sorotan dinginnya mampu membuatku membeku, ketakutan. Beberapa saat kemudian, Marv datang. “Di sini kau rupanya,” katanya. Aku spontan menoleh pada Marv, dan Hak lenyap begitu saja ketika kukembalikan pandanganku ke arahnya. Lalu tanpa basa-basi Marv menarik tanganku, mengajakku segera pergi dari tempatku berdiri. Keberadaan Hak dan bola yang sedaritadi kupegang menghilang tepat di depan mata. Tetapi mengapa Marv sama sekali tak menanyakannya?
 ~~~

Tuesday, July 19, 2016

Kenangan Terakhir




'Aku hanya bisa melihat namanya, terukir dalam sebuah nisan.'

'Aku sadar, aku mungkin tidak bisa merasakan perasaan-perasaan yang sama lagi ketika aku jatuh cinta padanya dengan orang lain, karena dia hanya ada satu, tidak ada yang bisa disamakan dengannya. Aku pun tak yakin apakah aku bisa jatuh cinta lagi, sebesar aku menyukainya. Tetapi, bagaimana pun dan seperti apa pun hatiku nanti, aku tidak akan membiarkannya tersembunyi lagi.'

Penyesalan selalu datang terlambat, menciptakan rasa sesak yang menyiksa, yang mungkin akan terobati oleh waktu, dan oleh keikhlasan. Tiap orang pasti memiliki penyesalan dalam hidup mereka. Begitu pun aku. Satu penyesalan terbesarku, yang belum terobati hingga sekarang, adalah terlambat dalam bertindak.

Saturday, June 04, 2016

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon I

Bagian 3
Labirin Pohon (I)


Aku terengah-engah. Aku merasa nafasku hampir habis. Aku berhenti dan bersandar menyamping pada pohon tinggi di sebelahku. Sunyi. Hanya suara berat nafasku yang kudengar. Aku mencoba mengatur nafasku, sembari menatap kaki telanjangku. Penuh goresan luka, tapi aku biarkan.

Aku tidak memahami apapun. Hanya ketakutan lagi yang kurasa. Tersesat. Lagi-lagi aku tersesat. Aku ingin segera keluar dari tempat ini. Tapi bagaimana? Kakiku mulai kelelahan, bahkan untuk berjalan.

Satu persatu wajah mereka kembali membayangi. Mereka seakan enggan untuk enyah dari pikiranku, sekalipun aku berlari dan berteriak, sekalipun aku menghindari atau mengusir mereka. Sakit. Aku meringkuk kesakitan. Bukan karena goresan kakiku. Sakit yang bahkan aku sendiri tak dapat melihat dan mengobatinya.

Mataku perlahan memejam. Lelah dan sakit ini, apakah aku akan berakhir di sini? Ataukah ada lagi yang akan muncul menolongku? Seperti yang dilakukan Rez sesaat setelah aku memasuki hutan ini.
***
Ialah Rez, sosok laki-laki yang menolongku ketika aku tenggelam ke dasar sungai beberapa saat setelah aku keluar dari Padang Rumput Kebahagiaan. Aku pikir aku beruntung karena ada seseorang bersamaku. Tetapi tidak. Rez pergi menghilang begitu saja. Selama waktu yang singkat bersamanya, kita tidak pernah benar-benar saling berbicara. Aku hanya mengingatnya, satu paket dengan gitar yang tidak pernah dia mainkan. Tanpa Rez, aku kembali meyusuri hutan gelap sendiri.

Waktu telah berlalu sejak Rez menghilang. Sebanyak apa, dan sejauh mana telah kulewati waktu di hutan ini, aku tidak tahu pasti. Tak jarang pula aku ingin kembali ke padang rumput hijau itu dan menghabiskan waktu membuat pesawat kertas. Samar-samar aku mendengar suara aneh mendekat dari balik punggungku. Seperti gesekan antara roda dengan daun-daun kering dan tanah. Aku menoleh ke belakang. Seorang anak laki-laki tiba-tiba berhenti tepat di belakangku dengan sepedanya. Aku tersontak, tapi dia justru tersenyum. Senyuman kemenangan karena dia berhasil mengejutkanku.

Wajahnya begitu familiar. Aku merasa sudah lama mengenalnya, dan merindukannya. Sangat. Tanpa sadar, dan tanpa ragu-ragu, aku membalas senyumnya itu. Dia turun dari sepedanya, menarik tanganku, mengajakku pergi dari tempat itu. Sembari mengikutinya, aku melihat ke belakang, ke arah sepeda yang ia tinggalkan. Sepeda itu lenyap menjadi debu, dan menghilang seperti diterbangkan angin. Aku berhenti, mengerutkan kening. Lalu anak laki-laki itu menarik-narik lagi tanganku. Wajah polos dan senyuman manisnya seolah mencekik leherku. Sakit. “Akankah anak ini menghilang seperti sepeda itu?” batinku.

Sekelilingku tampak sama. Hanya pepohonan besar nan kokoh yang ujungnya bahkan tak dapat kulihat. Aku tidak tahu kemana anak itu akan membawaku. Dalam diam, aku memperhatikannya. Lagi - lagi ada yang aneh. Entah bagaimana aku merasa dia berubah, tumbuh menjadi dewasa perlahan secara fisik. Anak manis tadi telah berubah menjadi sosok laki-laki yang cukup tampan. Namun, aku tetap diam. Tak ada pertanyaan apapun, dan tak ada penjelasan apapun. Bagaimana itu mungkin, aku saja tak dapat berbicara. Tapi aku tidak peduli, asalkan dia terus bersamaku.

Hutan semakin gelap. Dia menghentikan langkahnya, dan melepaskan genggamannya dariku. Aku dimintanya untuk beristirahat, sedangkan dia mengumpulkan ranting-ranting kayu untuk dibakar. Rasa kantuk mulai menyerangku, tapi aku takkan membiarkan mataku terpejam. Aku tak ingin terbangun dan mendapati diriku sendirian lagi. Tetapi aku gagal mengalahkan kantukku. Saat itu, sangat nyaman dan hangat, aku terlelap.

Aku membuka mata perlahan. Hutan lebat ini, meski siang pun akan tetap gelap, meskipun akan lebih gelap ketika malam. Aku melihat sekelilingku. Aku sadar akan sesuatu. Tidak ada. Dia tidak ada! “Gat!!” sontak aku meneriakkan nama itu. Aku terkejut sendiri. Bukan karena nama yang ku teriakkan, tapi pada kenyataan bahwa aku bisa bicara. Apa karena aku telah keluar dari padang rumput itu? Entahlah. Tanpa pikir panjang, aku bangun dan mulai mencari lelaki yang kusebut Gat. Tak hentinya aku menggumamkan nama itu. Aku tak yakin, tapi nama itu menjadi panggilanku untuknya, dan ya, itu nama yang cukup aneh.

Aku terus mencarinya, tapi nihil. Bukan dia yang kutemukan, tetapi sebuah gerbang kayu yang cukup besar dan terlihat kokoh. Meski pintu gerbang itu terbuka sedikit, tubuhku masih cukup untuk memasukinya. Aku melihat seseorang di balik pintu besar itu. Aku pun berjalan mendekat. “Gat, kau kah itu?” batinku, berharap. Ternyata bukan. Laki-laki itu berdiri memandang lurus ke arahku, sembari menyandarkan dirinya pada pohon dibelakangnya. Perlahan, dia bersiap untuk beranjak dari sana. Lalu dia mengulurkan tangannya, memintaku untuk masuk ke dalam.

Aku meragu. Aku yakin Gat masih di luar. Haruskah aku masuk seorang diri? Atau kembali mecari Gat, dan datang ke tempat aneh itu bersamanya? Berkelut dengan pikiranku sendiri, laki-laki itu mulai berjalan menjauh, berjalan masuk ke dalam. Gerbang pun seolah tak memberikan banyak waktu karena ia perlahan menutup. Pada detik-detik terakhir, aku memutuskan untuk masuk.

Di balik gerbang kayu besar rupanya terdapat lorong. Bukan lorong bangunan, melainkan lorong yang terbentuk dari dahan-dahan pohon yang saling melilit satu sama lain. Sesaat aku tahu, lorong ini telah membentuk labirin, labirin dari pohon-pohon besar dan pohon-pohon merambat.

Sebelum aku berbelok ke kiri untuk meneruskan masuk ke dalam labirin dan sebelum pintu gerbang benar-benar tertutup, aku memandangi hutan gelap di luar gerbang.
“Apakah aku meninggalkan Gat? Atau dari awal aku yang sudah ia tinggalkan?”
Apapun itu, aku berharap dapat bertemu dengannya lagi.
~~~ 

Tuesday, May 03, 2016

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Lain

Bagian 2

Labirin Lain

Waktu demi waktu berlalu. Ia berputar dengan lambat. Atau justru sangat cepat sehingga aku merasa waktu bergulir lambat? Tidak lagi paham aku akan waktu.

Aku teringat ketika pertama kali keluar dari labirin kaca. Bukan dunia yang kukenal yang kurindukan. Hanya sebuah pintu, yang diikuti pintu lain di baliknya. Tidak ada yang lain kecuali pintu dengan dinding, lantai, dan atap yang serba putih.

Thursday, February 04, 2016

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Kaca

Bagian 1
Labirin Kaca

Aku seperti dalam ruang yang cukup gelap dan penuh cermin setinggi lima meter. Ke mana pun aku pergi, hanya ada cermin. Sepanjang jalan yang berliku yang aku susuri, hanya ada aku dan pantulan-pantulan diriku, diriku yang lain. Mereka bukan aku, tapi kita sama.
Aku terus berjalan mencari jalan keluar. Semakin lama semakin menyesakkan. Kupercepat jalanku lalu aku mulai berlari kecil. Seluas apakah labirin ini? Sejauh mana aku harus menjelajahinya? Dan selama apa aku dapat bertahan? Bingung menghampiri, dan cemas pun merajai. Aku merasa ketakutan sendiri melihat sosok-sosok yang berlari dengan kecepatan yang sama namun tubuh yang berbeda. Mereka bukan aku dan kita tidak lagi sama.
Siapa mereka? Mereka tampak mengerikan. Aku berlari makin cepat, berusaha menjauh dari mereka. Tapi mereka tetap mengejarku. Begitu ketakutan, aku tak bisa menggunakan akalku dengan benar. Aku berlari tanpa tahu arah. Berbelok, berbelok, dan berbelok. Berlari dan terus berlari. Aku tidak menemukan jalan keluar, tapi jalan buntu. Aku terjatuh, terpojok dan aku terengah-engah. Aku berbalik ke belakang, sosok-sosok mengerikan itu menghilang. Aku duduk memeluk kedua lututku, dan kutundukkan kepalaku bersandar pada lututku. Aku merasa haus dan lapar, tapi tak ada apa pun di sini. Aku menangis, tapi itu hanya membuatku semakin haus dan lapar. Kuusap air mataku dan dengan lemas, aku mencoba berdiri. Aku berpegang pada dinding di sisiku. Dan lagi, aku melihat sosok dalam cermin. Terkaget, aku melangkah mundur hingga menabrak sisi dinding yang lain, dinding cermin. Menyedihkan. Mereka menyedihkan dan mengerikan. Tidak terlihat kebahagiaan, namun hanya kesepian dan ketakutan. Langit dan lantai pun berubah menjadi cermin. Mereka semua muncul dari segala sudut, mereka yang terlihat jahat dan penuh kesedihan.
Tempat apa ini sebenarnya? Di mana aku? Dan siapakah mereka? Aku terdiam, pikiranku kosong sesaat. Kenapa aku harus bertanya siapa mereka? Bukankah jelas mereka adalah aku.
Ya. Mereka adalah aku. Lalu siapa aku sebenarnya? Siapa? Aku adalah mereka semua, mereka yang menunjukkan betapa buruknya aku: penuh kecurigaan, ketakutan dan kepedihan yang akhirnya menimbulkan kebencian pada kehidupan. Kecurigaan akan tingkah laku tiap orang. Ketakutan akan kehilangan dan ketakutan akan dibenci dan dilupakan. Kepedihan karena telah merasakan banyak kehilangan dan kebencian serta terlupakan. Aku menganggap mereka tidak pernah ada. Yang kulakukan hanya berlari menjauh. Pergi menjauh karena aku tidak ingin menganggap mereka adalah bagian dari diriku.
Kuberanikan diri mendekat pada salah satu sosok menyedihkan dalam cermin. Kuamati sosok tersebut. Perlahan semua sosok-sosok dalam cermin menyamai sosok itu. Tidak kuasa aku menahan tangis dan terucap kata maaf dari bibirku. Begitu rapuhnya kah aku serapuh sosok yang sedang kuamati itu? Salahku telah membiarkan dia sendiri. Salahku telah memisahkan diriku dan menganggap dia tidak ada. Salahku hanya berlari menjauh dari sosok itu, bukan membawanya bersamaku mencari jalan keluar dan meraih kegembiraan.
“Aku adalah kamu. Kamu adalah aku.”
Aku menerimanya sebagai bagian dari diriku. Aku menerimanya sebagai aku yang penuh kecurigaan, ketakutan, kesepian, kepedihan, dan kebencian. Aku tidak akan lagi berlari menjauh, tetapi berbalik menghadapi dan menerima. Akan aku terima semua, aku hadapi semua perasaan dan keadaan, lalu kuubah perlahan menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan.

Labirin ini menunjukkan diriku yang lain, diriku yang sebenarnya. Namun, labirin ini masih membuatku tersesat. Aku masih harus mencari jalan keluar. Dan perjalananku sepertinya masih panjang.

Thursday, July 02, 2015

Ternyata!! (Dreamstory)

TERNYATA!!
Di suatu rumah, yang gue kenal itu adalah rumah tetangga gue, berkumpulah beberapa perempuan yang rumpi dan heboh ngomongin perjodohan di ruang tamu. Gue di situ cuma jadi penyimak mereka. Ternyata mereka ribut gara-gara si U bakal dijodohkan. Mereka semua penasaran laki-laki seperti apa yang bakal dijodohkan dengannya, bahkan si U sendiri nggak tahu. Gue juga penasaran sih sebenarnya, tapi gue diam aja. Lalu keluarlah seorang tante-tante, yang ternyata dia adalah ibu dari si U. Dia minta si U untuk berdandan yang cantik dibantu yang lain.
Di situ, gue nggak tahu gue jadi siapanya mereka. Entah antara tetanggaan atau saudaraan. Wajah mereka semua asing. Tapi satu hal yang gue yakin, perlakuan cuek mereka ke gue seolah-olah hubungan kita menggambarkan keadaan Cinderella sama ibu tiri dan saudari-saudari tirinya atau semacam Ande-Ande Lumut dan Klenting Kuning atau Bawang Merah Bawang Putih atau lagi Si Upik Abu.

Friday, December 12, 2014

Potongan Kisah Pernikahan

Potongan Kisah Pernikahan


Dia datang. Berjalan pelan nan anggun dari balik tirai. Pita putih cantik merantai rambut panjang bergelombangnya yang ia sampirkan di sisi kiri. Mata bulat dengan bulu mata lentik yang menjadikan keelokan pada paras wajahnya. Aku yakin ada sedikit kecemburuan pada mempelai wanita karena separuh perhatian orang-orang tercuri oleh gadis itu. Bahkan mempelai lelaki pun tidak dapat membohongi kekaguman hati untuk si gadis.

Dua Kata (Past and Love)

Bosan. Jenuh. Masa lalu terus saja menghantui. Membuatku tidak dapat berkutik. Seolah aku terjebak di dalamnya, terkurung di jerujinya. Bagaimana aku dapat melepasnya? Beribu kali aku mencoba, tetapi dia datang terus menerus, menyerangku; tubuhku dan memoriku. Tak tersampaikan kah teriakanku ini, Tuhan?

Thursday, December 11, 2014

Dua Kata (masa depan)

Bosan. Jenuh. Aku dalam masa penantian. Penantian akan semangat, penunjuk jalan hidup, pencerahan, juga kematian. Aku tidak melakukan banyak hal, tidak juga tidak melakukan apapun sama sekali. Aku tidak melakukan hal-hal heroic layaknya super hero atau heroine, tapi aku juga tidak mematung. Kehidupanku berjalan normal, sangat normal, sampai dapat disebut lambat, juga datar. Tidak pernah terjadi guncangan apa pun. Sekalipun ada, tidak akan bernar-benar merubahku dan hidupku.

Dua Kata (Keluarga)

Bosan. Jenuh. Aku terlalu termanja oleh kemudahan. Aku menyesal. Tapi aku tidak bisa menyalahkan mereka, orang yang telah merawatku sedari kecil. Aku tidak bisa menyalahkan perlakuan mereka padaku dan pertengkaran rutin mereka. Mengingatnya membuat mataku selalu berair, hatiku pun terbanjiri rasa benci. Kenapa harus aku? Kenapa harus seperti itu? Kenapa aku yang mengalaminya?

Wednesday, December 10, 2014

Dua Kata (Jati Diri)


Bosan. Jenuh. Aku tidak tahu kenapa aku harus lahir. Apa gunaku sesungguhnya? Layakkah aku hidup dan menjalani kehidupan ini? Siapa aku? Apa yang bisa kulakukan? Aku bisa apa? Berbagai pertanyaan hidup ini selalu menghantuiku. Sebenarnya apa makna dari kehidupanku? Aku sungguh tidak tahu. Aku hanya manusia biasa. Aku tidak memiliki keahlian khusus. Aku pun bukan orang jenius, atau minimal orang yang pintar di kelas di sekolah-sekolah. Aku bukan seorang yang fanatik pada agama yang rela mengorbankan nyawanya di jalan Tuhan. Bukan. Aku pun bukan seorang yang ateis yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan, dan hanya percaya pada apa yang bisa kulihat dan kuraba.

Monday, November 24, 2014

Yossy #end


 Part 3

Dia duduk di sampingku, menemaniku yang sedang terkulai lemah di ruang inap. “Kamu ke sini sendirian, Do? Nggak sama orang spesial atau undangan special mungkin?” tanyaku iseng untuk memecah keheningan. Dia paham maksudku, tapi dia hanya menjawab sambil tersenyum, ”Nggak, Lun.“ Ya, dia memang tersenyum, tapi tersenyum getir. Tidak lama dia menjenguk dan menemaniku, karena aku harus istirahat. Namun, dalam pertemuan singkat ini, aku dapat melihat belum ada yang berubah dari dirinya, perasaan maupun sikapnya untukku. Caranya menatap, nadanya ketika bercerita dan bercengkrama, dan dalam sentuhan-sentuhan kecilnya aku masih dapat merasakan apa yang ada dalam isi hatinya. Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Kita tidak boleh bersama, dan aku pun telah mencintai orang lain. Aku hanya berdoa agar dia mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.
***_***

Sunday, November 23, 2014

Yossy #2


 Part 2
Aku membuka mata mendengar pintu yang berdecit pelan dan seseorang datang menjengukku, seseorang yang lama kurindukan. Dia tersenyum dan berjalan mendekat membawa satu paket buah untukku.“Pagi, bagaimana kabarnya, Bu Luna?” tanyanya. Aku tertawa kecil lalu menjawab,”Nggak perlu kaku begitu, aneh tahu. Begini-begini aku juga masih gaul kok.”
***_***

Saturday, November 22, 2014

Yossy #1


 Part 1

Jodoh, salah satu misteri yang tidak pernah mampu dipecahkan oleh banyak orang. Mungkin sebagian orang merasa mudah dalam menemukan jodoh mereka, dan sebagian orang yang lain perlu merasakan getirnya kehidupan demi bertemu jodoh yang tepat. Tapi untukku, jodoh itu penuh kejutan. Aku tidak akan tahu pasti siapa jodohku sampai akhirnya aku menghembuskan nafas terakhir di sisinya.Aku pun kini sudah mulai menua, terbaring lemah di rumah sakit ditemani suami tercinta dan kedua putri kembarku yang sudah mulai beranjak dewasa.

Tuesday, November 18, 2014

Senyum Kala Senja

SENYUM KALA SENJA


 “Bayu!, ini pasti kerjaan kamu, kan?!” teriakku sambil terengah-engah. Tidak ada jawaban, tetapi aku masih mendengar ada beberapa orang menahan tawa sembari melangkah pergi. Lalu suasana menjadi hening. Aku tetap berteriak meminta tolong. Tenggorokkanku mulai terasa serak, sampai-sampai sulit untuk berbicara. Lalu aku alihkan tenaga untuk melepas ikatan. Satu jam berlalu. Gelap, dan itu membuatku panik. Ikatan di tanganku mulai mengendur, tapi tetap tidak bisa lepas. Aku pun pasrah.

Sunday, September 21, 2014

#3 Seiris Kisah KKN



KKN, KKN! Bukannya bikin bahagia, yang ada malah bikin petaka. Bayangpun, dari 8 orang yang udah pada punya pasangan, gara-gara KKN, tinggal tiga orang doang yang adem ayem. Sisanya? PUTUS! Walah jyaaann. Ini orang-orang pada nggak bisa jaga hati. Tapi mungkin emang bukan jodoh kali. Ya gue juga nggak tahu sih. Satu cerita ini juga masih seputar ketua sama sekretarisnya, tapi berending tragis, bagi si ketua.
portraits by abigaillarson

#2 Sepotong Kisah KKN



Apa yang pertama kali terlintas waktu denger kata KKN? Sengsara. Kerja Rodi. Prihatin. Tapi yang terkenal itu kenalan baru, bisa jadi malah pacar baru. Iya lah. Populernya kan KKN itu Kisah Kasih Nyata di mana orang-orangnya itu banyak yang cinta lokasi. Lucunya lagi, menurut beberapa sumber, yang cinta lokasi itu antara sekretaris sama ketua kelompok. Kayak yang satu ini nih, cinta lokasi tapi satu pihak dan ini cerita juga nggak pake konflik, ngalir gitu aja, selese gitu aja. Sebenarnya dibilang sekretarisnya cinta juga enggak sih. Cuma kebiasaan bareng aja. Terus siapa sih sekretaris yang gue maksud?


Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management