JANTUNG HATI
Aku duduk terdiam di bangku di
dekat sebuah taman. Taman itu begitu sepi dan matahari mulai menampakkan sinar
jingganya. Suasana yang tadinya sedikit gelap, mulai terang diiringi cahaya
matahari tersebut. Aku bertanya-tanya mengapa aku seorang diri di taman ini.
Bersamaan dengan pikiran itu, ada seseorang di sampingku tanpa aku sadari. Dia tersenyum
tetapi pipinya terlihat basah. Apa karena hujan? Bukan. Aku tahu itu bukan
karena hujan. Air matalah yang membuat pipinya basah. Tapi kenapa? Ada apa?
==+++++++==
Aku membuka mataku. Aku berada
dalam ruangan yang terang. Aku berbaring dengan pakaian berwarna biru muda dan dengan
selimut putih yang menutupi sebagian tubuhku. Lalu seorang perempuan masuk
dengan seragam putihnya membawa makanan, minuman, dan juga obat.
“Bagaimana keadaan kamu
sekarang, Risya?” tanya suster Lucy.
“Baik, Sus,” jawabku lemas.
“Kamu sepertinya masih lemas.
Apa kamu yakin mau pulang hari ini?”
“Iya Suster, soalnya besok aku
mulai masuk kuliah lagi.”
“Oh begitu. Terus kamu nanti
pulangnya sama siapa? Ada yang menjemput?”
“Ada. Nanti temanku yang
menjemput.”
“Ya sudah. Sekarang yang
penting sarapan dulu, terus diminum obatnya,” katanya lalu beranjak pergi.
Ruangan kembali sepi. Aku memikirkan tentang mimpiku dan berusaha mengingat siapa
orang di sampingku itu. Tapi kemudian perhatianku teralihkan dengan suara
Suster Lucy di depan ruanganku.
“Mas, tolong jangan lari-lari
seperti itu di rumah sakit. Takut mengganggu yang lain.”
“Iya, Suster… Maaf...” kata si
laki-laki dengan sedikit terengah-engah. Beberapa detik kemudian, seseorang
membuka pintu. Sudah aku duga sebelumnya.
“Dimas, Dimas. Kamu hobi banget
ya lari-lari, sampai di rumah sakit aja kamu nggak bisa kalau nggak lari,” ledekku
ketika laki-laki itu mendekat. Nafasnya masih sedikit terengah-engah.
“Syukurlah. Aku kira kamu udah
pulang, Ris.”
“Hah?”
“Sorry, aku lupa kalau pagi ini
kamu udah boleh pulang, makanya…”
“Makanya tadi malam kamu
begadang, main PS sampai jam empat pagi, terus kesiangan, kan? Iya, nggak apa-apa.
Toh aku juga masih di sini,” kataku memotong.
“Risyaaa, you know me so well
deh. I love you pokoknya,” candanya dengan senyum sumringahnya.
“Ya ya ya…,” responku seperti
biasa. Begitulah dia. Laki-laki pelupa, tapi sangat baik dan supel. Seringnya orang-orang
di sekeliling kita salah mengartikan hubungan kita. Karena, ya itu tadi, dia
sering bercanda dengan ungkapan-ungkapan ‘I love you’, ’jadi makin cinta’, ‘Risya
tercinta’, dan lain-lain. Keakraban kita juga terkadang membuat orang lain
salah paham.
Dimas orang yang bebas dan
menyukai kebebasan. Dia tidak suka terlalu diatur, termasuk kebiasaan
memanggilku seenak hatinya itu. Sayangnya dan tentunya, beberapa perempuan yang
menyukai Dimas dan / atau yang disukai Dimas menjauh. Alasan pertama, mereka
mengira aku dan Dimas memiliki hubungan yang special, sehingga mereka menyerah. Kedua, sekalipun mereka tahu
bahwa kita hanya bersahabat, mereka masih tidak dapat menerima ada perempuan
lain yang Dimas panggil dengan ‘cinta’ atau ‘sayang’.
Entah aku dan Dimas yang memang
bukan type orang yang peka atau
memang mereka yang terlalu berlebihan menanggapi tingkah kita. Aku sendiri
tidak terlalu memikirkannya. Karena bagaimana pun juga kita sahabat, dan aku
berharap akan selamanya.
“Yah, kenapa kamu malah bengong?
Ayo buka mulutnya,” kata Dimas sambil menyodorkan sesuap nasi, membuatku
tersadar dari lamunanku sendiri. Aku tidak langsung membuka mulutku, aku merasa
enggan untuk memakannya.
“Ya ampun. Cuma tinggal buka
mulut, kunyah, terus telan. Ayolah,” bujuk Dimas, tapi aku tetap menolak.
Makanan di rumah sakit seringnya tidak enak dan hambar, membuatku malas, bahkan
untuk melihatnya.
“Aku tahu makanan rumah sakit
itu nggak enak, tapi ini mending daripada perut kosong. Lagian kamu juga mesti
minum obat kan?” Dimas mulai menghela nafas lalu berkata, “Kamu bengong nggak akan
bikin kamu kenyang, Ris.”
Akhirnya aku pun menyerah.
“Iya, iya, bawel. Sini aku makan sendiri aja, kamu nggak perlu nyuapin,” kataku
sambil mengambil piring dan sendok dari tangan Dimas dan Dimas pun tersenyum
tanda menang.
Inilah sisi lain dari Dimas
yang pelupa, sikap perhatian yang dia beri untuk orang lain. Sekalinya dia
menyayangi seseorang, maka dia akan mencurahkan segenap perhatiannya pada orang
itu. Dia tidak bisa membiarkan orang lain menangis di hadapannya.
“Aku lupa tadi aku cerita
sampai mana ya?” tanyanya tiba-tiba.
“Hem? Emangnya tadi kamu lagi cerita?”
tanyaku dengan polos membuat Dimas menepuk dahinya sendiri. “Jangan bilang
kalau kamu sibuk dengan lamunanmu sewaktu aku cerita tadi?”
“Kayaknya gitu,” jawabku datar
sambil mengunyah, lalu menelan makananku itu. “Alah, paling tentang cewek, kan?”
“Wah, kenapa tebakanmu
seringnya benar yah?” tanyanya heran.
“Entah.”
“Jangan-jangan kamu punya bakat
terpendam, jadi paranormal.”
“Bisa jadi,” kataku datar dan
singkat.
“Pasti juga karena kamu makin cinta.”
“Iya, makin cinta sama kucing
tetangga,” responku masih dengan nada datar. Dimas terkekeh lalu iseng
bertanya, “Kapan ya kamu akan punya pacar?”
“Kapan-kapan,” jawabku spontan.
“Eeehh? Apa hubungannya?” Dimas hanya tertawa kecil mendengar responku itu.
Sebenarnya aku tahu apa yang
dia pikirkan. Bukan karena aku berbakat menjadi paranormal, hanya saja aku
telah jauh mengenalnya. Dimas menginginkanku lebih membuka diri dan hati untuk
orang lain. Dia berharap aku menemukan lebih banyak kebahagiaan dan keceriaan
ketika aku melakukannya.
“Jadi, siapa cewek itu? Di mana
kalian ketemu?” tanyaku mengawali cerita.
“Aku nggak tahu namanya. Aku ketemu
dia kemarin sewaktu aku mengantarmu ke sini, tepat di depan gerbang rumah
sakit. Kayaknya dia baru selesai berobat di sini. Tapi aku merasa ada yang
aneh.” Dimas mulai mengingat sesuatu, dan aku hanya terdiam menunggu kalimat
selanjutnya.
“Sewaktu dia melihatku, dia
sedikit terkejut lalu menyebut namaku lirih,” katanya sambil berpikir.
“Yakin? Mungkin kamu aja kali yang
terlalu mengharap,” kataku sedikit bercanda.
“Emm, kurang yakin. Tapi wajahnya
itu emang nggak asing sih. Apa mungkin aku pernah ketemu dia ya?”
“Bisa jadi. Atau mungkin dia pengagum
rahasiamu.”
“Ah pengagum rahasia! Tapi,
serius menurutmu dia pengagum rahasia?” tanyanya serius. Aku pun tertawa.
“Silly boy! Mana ada yang mau
jadi pengagum rahasiamu,” candaku sambil melemparkan boneka malaikat yang ada
di sebelah bantal ke arah Dimas. Dia pun reflek menangkapnya.
“Sialan,” ucapnya lalu tertawa
kecil. Dimas melihat boneka malaikat yang sudah di tangannya itu. Tawanya
berubah menjadi senyum.
“Kamu masih menyimpan boneka
ini rupanya.” Aku hanya mengangguk.
Seseorang memberikan sebuah
boneka malaikat delapan tahun yang lalu, tepat ketika aku mengetahui bahwa hidupku
hanya bertahan tiga tahun lagi. Sebuah kartu tergantung di leher boneka. ‘Biarkan
malaikat ini bersamamu, maka keajaiban Tuhan akan terjadi.’ Aku memang tidak
mempercayainya, tapi jauh di dalam hatiku yang sedang begitu putus asa,
mengharap sebuah keajaiban terjadi padaku. Dan memang keajaiban itu datang. Aku
dapat bertahan hingga sekarang karena keajaiban-Nya. Aku tahu boneka itu
ditujukan untuk menghentikan keputusasaanku. Hanya saja sampai kini aku tidak
tahu siapa pemberinya.
Sejujurnya, aku sendiri tidak
tahu apakah aku memang tidak mengetahuinya atau aku melupakan siapa pemberinya.
Aku merasa banyak hal telah terlupakan di kala itu. Aku bahkan melupakan hari
ketika kedua orang tuaku meninggal. Aku tidak tahu persis apa, kenapa, dan
bagaimana mereka meninggal. Orang-orang sekitarku hanya mengatakan bahwa mereka
meninggal karena kecelakaan dan tidak pernah membicarakan secara detail tentang
kejadian itu.
0 comment:
Post a Comment