Orang Asing
Sepertinya aku lagi-lagi kehilangan sesosok
penghibur hati. Yah, meski pada akhirnya aku tahu namanya dari seorang teman,
tapi waktu itu juga aku nggak pernah lagi ngliat dia bekerja di ‘sana’. Hariku
mulai mendung lagi dan ketidakpastian dari keberadaannya sekarang malah bikin
makin mendung. Padahal, biasanya, satu-satunya orang yang bisa ngilangin
mendungku cuma dengan sekali lihat, baru dia dan mungkin cuma dia.
Aku sendiri nggak tahu apa pun tentangnya.
Apa dia masih kuliah atau udah lulus? Apa dia pengurus market, yang berarti dia
masih kuliah di universitas yang sama denganku, atau orang luar yang bekerja di
sana? Berapa umurnya? Dari daerah mana dia berasal? Tinggal di mana sekarang?
Apa dia udah punya pasangan atau menikah atau bahkan punya anak?
Aku sama sekali nggak mengenalnya. Tapi
mataku mengenalnya, wajah lucunya. Telingaku mendengarnya, suara yang begitu
biasa. Otakku mengingatnya, sikap ramah dengan senyum yang nggak terlupakan.
Dan hatiku merindukannya, gimana pun dan dengan atau tanpa alasan apa pun.
9 Maret, terakhir kali aku ketemu dia ‘di
tempat biasa’, tapi bukan dalam kondisi yang ‘biasa’, seenggaknya untuk saat
itu aku ngrasa hal itu biasa aja. Dia lagi nggak pakai pakaian seragamnya,
nggak dengan sigapnya bermain sama mesin kasir dan scanner barcode, nggak ngajuin
pertanyaan ‘ada member, Mba?’ atau ngomong ‘ terima kasih’ waktu ngasih
kembalian.
9 Maret siang sekitar jam satu. Aku tiba di
depan tempat itu. Sebelum masuk, aku menoleh ke kiri. Seorang laki-laki
mengenakan jaket (tapi aku lupa jaket biasa atau jaket jeans) ada di atas
motornya dengan menggunakan helm yang tertutup. Aku sempat berusaha ngliat ke
dalam helm itu, siapa dia. Tapi perhatianku teralihkan dengan seorang yang aku
tahu banget (meskipun aku dan orang ini nggak saling kenal juga), bekerja di
tempat itu juga dan disukai teman yang satu kos sama aku, lagi naik ke motornya
sendiri untuk keluar dari tempat parkir itu. Aku ngerasa ada sosok si Dia di
sana, tapi aku nggak nglihat dia di mana-mana. Bahkan di dalam market pun, aku
nggak lihat. Aku pikir mungkin hari itu dia lagi nggak ambil giliran kerja.
Dari pintu keluar, aku masih nglihat dua
orang itu. Kali ini, mereka berada di depan pos satpam. Karena dua orang ini
sama-sama pakai jaket (atau apa pun itu) dengan warna yang mirip, aku pikir
laki-laki yang paling depan adalah Mas G***** yang disukai temanku. Aku sama
sekali nggak sadar bahwa laki-laki yang ada di depan sendiri, sedang bercanda
gurau dengan satu perempaun yang kebetulan mau ke market, adalah si Dia. Aku
kaget waktu dia menoleh ke belakang, lebih tepatnya ke teman di belakangnya
itu. Dan saat itu juga aku ada di sebelah kanan temannya. Ya, dia sempat
melihatku, dan karena aku takut dia nangkep rasa kaget sekaligus senang dari
mataku, aku langsung mengalihkan pandangan dan tetap berjalan tenang. Poker
face.
Setelah tiga langkah aku di depan mereka, dia
dan temannya pun pergi. Aku yang posisinya mau nyebrang, nggak bisa nyebrang.
Ya karena aku sibuk nglihat kepergiannya itu. Setelah dirasa dia udah terlalu
jauh untuk dipandangi terus, aku barulah nyebrang.
Dan aku sama sekali nggak nyangka, setelah
hari itu, begitu susah aku ngelihat dia lagi. Minggu pertama setelah hari itu,
aku ke sana beberapa kali. Bahkan sampai minggu ini, aku berharap bisa ketemu
dia lagi dan masih sering bolak-balik ke sana. Tapi aku nggak pernah sekalipun
merasa ada dia di sana.
Dan satu yang aku sadari, aku begitu
mengaguminya (baca : menyukainya).
0 comment:
Post a Comment