'Aku hanya bisa melihat namanya, terukir dalam sebuah nisan.'
'Aku sadar, aku mungkin tidak bisa
merasakan perasaan-perasaan yang sama lagi ketika aku jatuh cinta padanya
dengan orang lain, karena dia hanya ada satu, tidak ada yang bisa disamakan
dengannya. Aku pun tak yakin apakah aku bisa jatuh cinta lagi, sebesar aku
menyukainya. Tetapi, bagaimana pun dan seperti apa pun hatiku nanti, aku tidak
akan membiarkannya tersembunyi lagi.'
Penyesalan
selalu datang terlambat, menciptakan rasa sesak yang menyiksa, yang mungkin
akan terobati oleh waktu, dan oleh keikhlasan. Tiap orang pasti memiliki
penyesalan dalam hidup mereka. Begitu pun aku. Satu penyesalan terbesarku,
yang belum terobati hingga sekarang, adalah terlambat dalam bertindak.
Ini
tentang cinta, cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya tepat ketika ujian
semester tahun 2006/2007 lalu. Sistem rolling
membuat kita berada di ruang ujian yang sama, meski kita beda angkatan. Saat
itu dia masih kelas satu SMP, dan aku kelas dua SMP. Mungkin sulit dipercaya
bahwa masih sekecil itu aku bisa merasakan yang namanya cinta, pada pandangan
pertama pula. Ah, kata cinta sepertinya masih terlalu berat untuk umur segitu.
Anggap saja aku suka dan tertarik padanya. Terkesan ringan, simpel, sederhana,
dan bukan perasaan yang mendalam, kan?
Setelah
ujian dan liburan, semester genap pun dimulai. Seperti sudah tersetting, mataku selalu awas dengan
kehadirannya. Cara jalannya, rambutnya, tingginya, tasnya, juga sepedanya, aku
bisa paham. Dan secara kebetulan, aku menemukan fakta bahwa tempat tinggalnya
tidak jauh dari tempatku, hanya tiga menit dengan kendaraan bermotor. Sejak
saat itulah aku mulai mengamati di menit ke berapa dia biasa berangkat dan
sampai di sekolah. Tentu aku bukan stalker,
aku hanya terus mencoba untuk berangkat ke sekolah di menit yang berbeda.
Lalu dengan hitungan matematika tanpa rumus, aku berhasil mengetahui kebiasaannya
berangkat pagi. Aku sering sampai di sekolah bersamaan dengannya atau di jalan
saat aku yang diantar ayahku dengan motor melewatinya. Saat-saat seperti itulah aku
mulai sering menyapanya dengan senyuman. Saat pulang sekolah, tempat duduk
favoritku di angkot adalah pojok kiri belakang. Kenapa? Karena dari sini aku
bisa melihat dengan jelas dirinya yang mengayuh sepeda jika kebetulan si mobil
angkot menyalipnya atau disalip olehnya, dan kalau beruntung, kita bisa saling
senyum lagi. Ah, aku bukan stalker, aku
hanya ingin bertemu atau sekedar melihatnya.
Di kelas
tiga semester ganjil, aku bisa sering berangkat dan pulang dengannya karena
satu angkot (saat itu, aku dengar kabar sepedanya dijual, jadi dia selalu naik
angkot), tapi aku tidak pernah berani berbicara padanya. Aku jadi lebih
semangat bangun pagi karena jam 6 harus sudah berangkat, dan di angkot aku
selalu berdoa dan berharap dia naik angkot yang kunaiki. Kurang puas dengan
pagi hari, di jam istirahat, aku sengaja ke lantai dua dan bertemu dengan teman
dekatku (adik kelas perempuan). Padahal tujuannya hanya sekedar ingin melewati
kelasnya, dan berharap bisa berpapasan dengannya. Selain itu, pernah juga aku
mencari segala cara agar mendapatkan nomor HPnya. Tidak peduli itu ternyata nomor
HP orangtuanya, aku sempat nekat juga mengucapkan ulang tahun lewat sms ke
nomor itu.
Dan… waktu
pun berlalu. Hanya hal-hal kecil dan hal remeh yang terjadi, tapi aku cukup
senang. Bahkan tiap halaman dari tiga diaryku
penuh, menceritakan tentang bagaimana aku dan dia, apakah aku bertemu
dengannya, apakah aku bisa menyapa atau mengobrol sedikit dengannya, obrolan
seperti apa ketika bertemu, juga perasaan campur aduk ketika tahu dia tertarik
dengan teman sekelasnya atau teman sekelasku, dll. Tapi satu hal yang pasti,
tidak ada perkembangan antara aku dan dia. Kita masih saja menjadi sekedar
kakak dan adik kelas, bahkan sebagai teman pun belum masuk hitungan.
Hanya
sekedar itu, tetapi rasa bahagia dan debarannya masih bisa kurasakan, bahkan
sampai sekarang. Aku masih ingat dengan jelas perasaan-perasaan yang pernah
kurasakan dulu saat bertemu, saling menyapa atau saling senyum, bahkan saat
hanya bertatapan atau melihatnya. Sebut saja aku gadis gila dan terlalu
berlebihan. Tapi begitulah nyatanya. Dulu, meski aku lulus dan lanjut ke SMA,
bahkan sempat berpacaran di SMA, aku sama sekali tidak pernah bisa
melupakannya. Aku bahkan masih rela pulang sore, lalu jalan kaki sekitar 30
menit ke SMP supaya bisa bertemu dan satu angkot lagi dengan dia, setiap hari. Jadi,
masihkah ini termasuk sekedar rasa suka atau ketertarikan semata? Entahlah.
Sayangnya,
semua yang kulakukan hanya berujung pada penyesalan. Penyesalan karena sebenarnya
begitu banyak kesempatan, hampir setiap hari, yang Tuhan beri agar aku bisa
lebih dekat dengannya, aku justru menyia-nyiakannya. Saat itu aku merasa
‘sudahlah, melihatnya dengan senyum itu saja sudah membuatku bahagia’, lalu aku
membiarkan perasaanku sembunyi darinya. Meski dulu sempat berencana untuk mengungkapkan
perasaanku ketika kelulusan SMP, semua kuurungkan. Aku terlalu takut, dan malu.
Wajar, karena aku masih kecil saat itu (dan jangan disamakan dengan masa kecil anak
zaman sekarang, pasti beda). Tapi aku merasa aku terlalu bodoh. Bahkan beberapa
tahun lalu, ketika Tuhan membiarkan dia melanjutkan kuliah di kota yang sama
denganku, aku tak pernah berusaha untuk mencari dan menemuinya.
Jarak
kita begitu dekat, tapi aku tak pernah bertindak. Desa kita, tempat tinggal
kita, sekolah kita, tempat kuliah kita, dan tempat rantauan kita, selalu
berdekatan. Tapi aku tak pernah berbuat apa-apa, bahkan aku yakin dia sudah
melupakanku. Tentu saja dia melupakanku, karena aku tidak pernah benar-benar
mendatangi kehidupannya. Aku tak pernah menunjukkan bagaimana perasaanku selama
ini padanya. Tak pernah kutunjukkan bagaimana aku selalu diam-diam
memikirkannya, penasaran dengan kegiatannya, sering mencari tahu tentang dia
hanya dari sosial media, dll. Aku hanya berdoa dan berharap agar ada kebetulan
yang terjadi sehingga aku bisa bertemu dengannya, entah mungkin itu satu mobil
travel, bis, atau kereta saat mudik, atau ada kegiatan/acara mahasiswa, atau
kebetulan apa pun itu. Hanya berharap, tanpa benar-benar berusaha.
Dan
sekarang, dia mungkin dekat, bahkan aku bisa menemuinya. Sayangnya aku tak akan
pernah bisa menggapainya. Aku bisa pulang ke kampung halaman untuk menemuinya
kapan saja, tapi semua harapanku hancur. Aku tidak akan pernah lagi berharap
ada kebetulan-kebetulan aneh, lucu, atau romantis, yang selama ini sering aku
impikan. Aku tidak bisa lagi bertemu dan saling menyapa dengan senyuman seperti
dulu. Aku hanya bisa menemuinya, tapi tidak benar-benar bertemu dengannya dan
melihat senyumnya. Aku hanya bisa melihat namanya, terukir dalam sebuah nisan.
Perandaianku
semakin menjadi-jadi setelah dia pergi setahun yang lalu. Andai dulu, andai
saat itu, andai di depan kelasku waktu itu, andai di pinggir jalan waktu
menunggu angkot dulu, andai di gerbang sekolah dulu, andai di dalam angkot
ketika itu, andai aku mencarinya, andai aku menemuinya, andai aku
menghubunginya lagi entah lewat sosial media atau apa pun itu, dan andai-andai
yang lain masih sering bermunculan. Ah, ANDAI AKU LEBIH BERANI BERTINDAK.
Aku lebih
memilih melihat dia benar-benar bahagia hidup dengan atau dekat dengan perempuan
lain. Entah mengapa akan lebih mudah melupakannya jika keadaannya seperti itu.
Aku sama sekali tidak paham kenapa sekarang justru aku semakin berat untuk
benar-benar melupakan dan meninggalkannya. Setiap keping memori yang sedikit
itu terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja. Aku merasa justru ini
saatnya, ini kesempatan terakhirku (belum tentu umurku panjang dan belum tentu
aku akan bertemu dengannya setelah aku meninggal). Aku semakin ingin lebih
mencurahkan perasaanku yang terpendam selama ini dengan sering mengunjunginya
dan mendoakannya. Hanya ini caranya. Memang sangat terlambat, tapi untuknya
sekarang, tak banyak yang bisa kuperbuat.
Kini aku
sadar, aku bukan perempuan yang mudah untuk benar-benar mencintai seseorang,
meski aku mudah tertarik dengan laki-laki. Aku sadar, aku mungkin tidak bisa
merasakan perasaan-perasaan yang sama lagi ketika aku jatuh cinta padanya
dengan orang lain, karena dia hanya ada satu, tidak ada yang bisa disamakan
dengannya. Aku pun tak yakin apakah aku bisa jatuh cinta lagi, sebesar aku
menyukainya. Tetapi, bagaimana pun dan seperti apa pun hatiku nanti, aku tidak
akan membiarkannya tersembunyi lagi. Meski sekarang dirinya masih tersimpan
dengan baik di hati dan pikiranku, aku tetap yakin suatu saat aku bisa membuka
hati untuk orang lain.
Apakah
aku akan bertemu dengan seseorang yang mampu membuatku bahagia hanya dengan
melihat senyumnya dan selalu ingin melihat senyum itu? Apakah aku akan bertemu
seseorang yang membuatku selalu merindukannya, yang membuatku rela menempuh
berbagai cara agar lebih dekat dengannya, juga rela menghabiskan waktu
dengannya, yang membuatku mau berkorban banyak untuknya? Sampai kini, aku masih
belum menemukan sosok itu, selain dirinya. Setertarik apapun aku dengan
seseorang, tidak pernah sekalipun aku merasakan hal-hal kecil itu (seperti saat
aku dengannya). Namun, saat nanti aku benar-benar bertemu seseorang itu, aku
tidak akan membiarkan rasa penyesalan ini terjadi untuk kedua kalinya.
by elis.ta
0 comment:
Post a Comment