Bagian 3
Labirin Pohon (I)
Labirin Pohon (I)
Aku
terengah-engah. Aku merasa nafasku hampir habis. Aku berhenti dan bersandar
menyamping pada pohon tinggi di sebelahku. Sunyi. Hanya suara berat nafasku
yang kudengar. Aku mencoba mengatur nafasku, sembari menatap kaki telanjangku. Penuh
goresan luka, tapi aku biarkan.
Aku tidak
memahami apapun. Hanya ketakutan lagi yang kurasa. Tersesat. Lagi-lagi aku
tersesat. Aku ingin segera keluar dari tempat ini. Tapi bagaimana? Kakiku mulai
kelelahan, bahkan untuk berjalan.
Satu
persatu wajah mereka kembali membayangi. Mereka seakan enggan untuk enyah dari pikiranku, sekalipun aku berlari dan berteriak, sekalipun aku menghindari atau
mengusir mereka. Sakit. Aku meringkuk kesakitan. Bukan karena goresan kakiku.
Sakit yang bahkan aku sendiri tak dapat melihat dan mengobatinya.
Mataku
perlahan memejam. Lelah dan sakit ini, apakah aku akan berakhir di sini?
Ataukah ada lagi yang akan muncul menolongku? Seperti yang dilakukan Rez sesaat
setelah aku memasuki hutan ini.
***
Ialah Rez,
sosok laki-laki yang menolongku ketika aku tenggelam ke dasar sungai beberapa
saat setelah aku keluar dari Padang Rumput Kebahagiaan. Aku pikir aku beruntung
karena ada seseorang bersamaku. Tetapi tidak. Rez pergi menghilang begitu saja.
Selama waktu yang singkat bersamanya, kita tidak pernah benar-benar saling
berbicara. Aku hanya mengingatnya, satu paket dengan gitar yang tidak pernah
dia mainkan. Tanpa Rez, aku kembali meyusuri hutan gelap sendiri.
Waktu
telah berlalu sejak Rez menghilang. Sebanyak apa, dan sejauh mana telah
kulewati waktu di hutan ini, aku tidak tahu pasti. Tak jarang pula aku ingin
kembali ke padang rumput hijau itu dan menghabiskan waktu membuat pesawat
kertas. Samar-samar aku mendengar suara aneh mendekat dari balik punggungku.
Seperti gesekan antara roda dengan daun-daun kering dan tanah. Aku menoleh ke
belakang. Seorang anak laki-laki tiba-tiba berhenti tepat di belakangku dengan
sepedanya. Aku tersontak, tapi dia justru tersenyum. Senyuman kemenangan karena
dia berhasil mengejutkanku.
Wajahnya begitu
familiar. Aku merasa sudah lama
mengenalnya, dan merindukannya. Sangat. Tanpa sadar, dan tanpa ragu-ragu, aku
membalas senyumnya itu. Dia turun dari sepedanya, menarik tanganku, mengajakku
pergi dari tempat itu. Sembari mengikutinya, aku melihat ke belakang, ke arah
sepeda yang ia tinggalkan. Sepeda itu lenyap menjadi debu, dan menghilang
seperti diterbangkan angin. Aku berhenti, mengerutkan kening. Lalu anak
laki-laki itu menarik-narik lagi tanganku. Wajah polos dan senyuman manisnya
seolah mencekik leherku. Sakit. “Akankah anak ini menghilang seperti sepeda
itu?” batinku.
Sekelilingku
tampak sama. Hanya pepohonan besar nan kokoh yang ujungnya bahkan tak dapat
kulihat. Aku tidak tahu kemana anak itu akan membawaku. Dalam diam, aku
memperhatikannya. Lagi - lagi ada yang aneh. Entah bagaimana aku merasa dia
berubah, tumbuh menjadi dewasa perlahan secara fisik. Anak manis tadi telah
berubah menjadi sosok laki-laki yang cukup tampan. Namun, aku tetap diam. Tak
ada pertanyaan apapun, dan tak ada penjelasan apapun. Bagaimana itu mungkin,
aku saja tak dapat berbicara. Tapi aku tidak peduli, asalkan dia terus
bersamaku.
Hutan
semakin gelap. Dia menghentikan langkahnya, dan melepaskan genggamannya dariku. Aku dimintanya untuk beristirahat, sedangkan dia mengumpulkan ranting-ranting kayu
untuk dibakar. Rasa kantuk mulai menyerangku, tapi aku takkan membiarkan mataku
terpejam. Aku tak ingin terbangun dan mendapati diriku sendirian lagi. Tetapi
aku gagal mengalahkan kantukku. Saat itu, sangat nyaman dan hangat, aku
terlelap.
Aku
membuka mata perlahan. Hutan lebat ini, meski siang pun akan tetap gelap,
meskipun akan lebih gelap ketika malam. Aku melihat sekelilingku. Aku sadar
akan sesuatu. Tidak ada. Dia tidak ada! “Gat!!” sontak aku meneriakkan nama
itu. Aku terkejut sendiri. Bukan karena nama yang ku teriakkan, tapi pada
kenyataan bahwa aku bisa bicara. Apa karena aku telah keluar dari padang rumput
itu? Entahlah. Tanpa pikir panjang, aku bangun dan mulai mencari lelaki yang kusebut
Gat. Tak hentinya aku menggumamkan nama itu. Aku tak yakin, tapi nama itu
menjadi panggilanku untuknya, dan ya, itu nama yang cukup aneh.
Aku terus
mencarinya, tapi nihil. Bukan dia yang kutemukan, tetapi sebuah gerbang kayu
yang cukup besar dan terlihat kokoh. Meski pintu gerbang itu terbuka sedikit,
tubuhku masih cukup untuk memasukinya. Aku melihat seseorang di balik pintu
besar itu. Aku pun berjalan mendekat. “Gat, kau kah itu?” batinku, berharap.
Ternyata bukan. Laki-laki itu berdiri memandang lurus ke arahku, sembari
menyandarkan dirinya pada pohon dibelakangnya. Perlahan, dia bersiap untuk
beranjak dari sana. Lalu dia mengulurkan tangannya, memintaku untuk masuk ke
dalam.
Aku
meragu. Aku yakin Gat masih di luar. Haruskah aku masuk seorang diri? Atau
kembali mecari Gat, dan datang ke tempat aneh itu bersamanya? Berkelut dengan
pikiranku sendiri, laki-laki itu mulai berjalan menjauh, berjalan masuk ke
dalam. Gerbang pun seolah tak memberikan banyak waktu karena ia perlahan
menutup. Pada detik-detik terakhir, aku memutuskan untuk masuk.
Di balik
gerbang kayu besar rupanya terdapat lorong. Bukan lorong bangunan, melainkan
lorong yang terbentuk dari dahan-dahan pohon yang saling melilit satu sama
lain. Sesaat aku tahu, lorong ini telah membentuk labirin, labirin dari pohon-pohon
besar dan pohon-pohon merambat.
Sebelum aku
berbelok ke kiri untuk meneruskan masuk ke dalam labirin dan sebelum pintu gerbang
benar-benar tertutup, aku memandangi hutan gelap di luar gerbang.
“Apakah
aku meninggalkan Gat? Atau dari awal aku yang sudah ia tinggalkan?”
Apapun
itu, aku berharap dapat bertemu dengannya lagi.
~~~
0 comment:
Post a Comment