Thursday, February 21, 2013

Jantung Hati 2

JANTUNG HATI

Sama seperti sebelumnya, jantung ini tidak membiarkanku untuk bergerak bebas dan beraktivitas banyak. Aku merasa semakin lama kondisiku semakin lemah. Terkadang aku berpikir, apakah waktuku makin dekat. Memikirkannya memang membuatku sedih, tapi kesedihan ini tidak lepas dari rasa syukurku. Tuhan memberikan waktu yang lebih, Tuhan memberikanku kesempatan untuk menjalani hidup lebih lama. Patutkah aku bersedih dan mengeluh atas apa yang telah Dia berikan hingga kini? Sahabat, keluarga, dan orang-orang terdekat yang terus ada di sampingku untuk memberiku semangat dalam menjalani hidup bersama penyakit ini.
Baru beberapa hari aku keluar dari rumah sakit dan kembali ke rutinitasku di kampus, aku kembali tidak sadarkan diri. Tante Via memintaku untuk setidaknya cuti kuliah, sampai aku benar-benar kuat untuk kembali beraktivitas. Aku belum bisa memutuskannya. Memang aku menginginkannya juga, cuti kuliah sampai benar-benar sembuh. Tapi aku pun tahu aku tidak akan pernah sembuh. Itulah realitanya.
Ah iya, Tante Via adalah adik almarhum ibuku. Semenjak kedua orang tuaku meninggal, aku tinggal dengannya. Dia juga yang membiayai perawatanku. Tante Via sangat baik. Aku pun sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
==++++==     
Aku duduk di bangku teras, menunggu Dimas mejemputku. Akhir-akhir ini dia sering terlambat ketika akan menjemputku. Mungkin dia mulai sibuk dengan perkuliahannya, meskipun setahuku dia orang yang cuek dengan kuliahnya.
5 menit, 10 menit, mataku terasa lelah dan aku terlelap. Ketika aku membuka mata, aku sudah berada dalam mobil Om Andy, suami Tante Via. Pantas saja, aku merasa ada yang menggendongku ketika aku terlelap tadi.
“Di mana Dimas? Kenapa Om yang menjemputku?” tanyaku bingung.
“Tadi dia menelpon, katanya dia ada urusan penting, jadi dia tidak bisa menjemputmu. Tapi setelah selesai, dia akan segera ke rumah sakit kok.”
Aku hanya mengangguk ‘ooh’. Sesuatu seperti mengganjal hatiku, perasaan aneh yang belum pernah kurasakan. Tapi aku merasa terlalu letih untuk berpikir, tubuhku terasa lelah.
            “Dimas itu baik banget ya?” kata Om Andy tiba-tiba membuka percakapan. Aku hanya menoleh ke arahnya dengan tanda tanya. “Kamu beruntung punya sahabat seperti dia yang baik dan selalu siap untukmu.” Dalam diam, aku tersenyum. “Kalau dipikir, kalian seperti pasangan.” Aku tertegun sejenak. Aku paham maksudnya, tapi aku hanya merespon dengan candaan, “Iya, sepasang sahabat.” Om Andy hanya tertawa. Aku pun teringat sesuatu. Dulu Om Andy juga pernah berkata bahwa dia ingin aku dan Dimas punya hubungan yang lebih serius dari sekedar sahabat. Apalagi Om Andy sudah menganggap kita berdua seperti anaknya, jadi akan membahagiakan jika harapan itu terkabul.  
Tapi tentu saja itu hal mustahil. Kita dari dulu sudah bersahabat. Perasaan yang kita miliki pun hanya sebatas sahabat. Kita saling membantu untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, termasuk urusan cinta, meskipun sebenarnya aku tidak pernah memikirkan urusan yang satu itu. Aku yang selalu membantu, menyemangati, dan menghiburnya. Sekali lagi, ini bukan karena aku punya perasaan lebih dari sekedar sahabat, tetapi karena aku memang tidak mau berurusan dengan cinta semacam itu (pacaran). Aku tidak pernah mengharap orang lain mencintaiku karena aku tidak mau berakhir pada kepedihan yang kubuat nantinya.

Setelah selesai menemui dokter Yulian untuk check up, Om Andy pun mengantarku pulang lalu dia pergi lagi. Dia memintaku untuk beristirahat. Aku berusaha, tapi tidak bisa. Aku pun beranjak keluar dari kamar dan pergi ke halaman depan, hanya duduk-duduk di ayunan sambil iseng membaca komik.
Tiba-tiba seseorang di belakangku mengulurkan tangannya dengan memegang satu bungkus coklat Silverqueen. Aku pun menoleh ke belakang dengan dugaan pasti bahwa dia adalah Dimas.
“Sorry, aku nggak jadi antar kamu ke rumah sakit tadi,” kata Dimas sambil duduk di sampingku. Aku tahu dia berakting dengan menunjukkan rasa bersalahnya. Aku pun berakting menunjukkan rasa sebalku dengan diam dan mengacuhkannya. Aku melanjutkan membaca komik, tapi rupanya Dimas juga tidak peduli. Dia malah mengganti topik dari permintaan maaf ke curhat.
“Eh, tahu nggak? Aku tadi sebenarnya ke rumah sakit, kali aja kamu masih di sana. Tapi bukannya ketemu kamu, malah ketemu dia, cewek yang pernah aku ceritain sebelumnya, yang ketemu di gerbang rumah sakit beberapa minggu lalu. Ingat?” Aku menutup komikku, menoleh padanya dengan ekspresi heran.
“Kamu tuh yah, padahal aku udah pasang muka be-te, tapi kok ya kamu gampang banget ganti obrolan. Malah nyerocos curhat,” ungkapku, tapi Dimas justru tertawa.
“Oh, kamu be-te toh? Coba sini lihat,” ledeknya sambil mengamati wajahku. Aku yang pada dasarnya memang tidak sedang marah pun tersenyum sambil memukul lirih lengannya dengan komikku.
“Terus gimana si cewek? Udah tahu namanya belum?” tanyaku dan Dimas hanya geleng kepala. “Lha gimana sih? Jangan bilang kamu cuma mandang dia dari jauh?”
“Enggak kok, aku deketin juga. Tapi susah banget diajak kenalan. Dia cuma ngangguk atau geleng sambil senyum, nggak ngomong apa-apa. Aku pikir dia bisu, tapi ternyata dia bilang ‘permisi’ juga waktu jemputannya datang.”
“Wah, berarti kejadian langka nih, seorang Dimas dikacangin cewek, hahaha…”
“Yee, sialan. Lihat aja, Ris, dia pasti bisa kudapatkan, nggak ada cewek yang nggak bisa aku dapetin,” katanya dengan gaya semangat membara sekalipun dengan bercanda.
“Awas, nanti kualat lho sering gonta-ganti pacar,” celetukku tanpa maksud. Dimas yang hanya merespon dengan alis kanannya terangkat, akhirnya malah mengajakku keluar.
“Jalan-jalan yuk Ris. Mumpung aku lagi semangat 45, aku traktir kamu makan sekalian deh, haha…”


0 comment:

Post a Comment

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management