Tuesday, May 03, 2016

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Lain

Bagian 2

Labirin Lain

Waktu demi waktu berlalu. Ia berputar dengan lambat. Atau justru sangat cepat sehingga aku merasa waktu bergulir lambat? Tidak lagi paham aku akan waktu.

Aku teringat ketika pertama kali keluar dari labirin kaca. Bukan dunia yang kukenal yang kurindukan. Hanya sebuah pintu, yang diikuti pintu lain di baliknya. Tidak ada yang lain kecuali pintu dengan dinding, lantai, dan atap yang serba putih.

Pelan aku berjalan dan membuka pintu-pintu itu satu persatu. “Harus berapa pintu kah yang akan aku buka?” Tetapi aku mulai menyadari sesuatu. Jarak antarpintu semakin lama semakin jauh, dan putihnya ruangan semakin lama semakin redup. Bahkan udara tidak lagi dapat aku rasakan, dan aku tidak mampu bernafas. Mataku tidak lagi dapat menjangkau keberadaan pintu berikutnya. Sampai akhirnya semua benar-benar gelap dan aku pikir aku telah mati.

Namun, aku terbangunkan dengan suara gelak tawa renyah seorang anak kecil. Kubuka mataku dengan pelan. Awalnya samar. Dan beberapa detik kemudian aku terkejutkan. Bagaimana mungkin anak kecil itu ada di depanku? Apa aku benar-benar telah mati? Atau dia hanya mirip saja?
“Tunggu, hal seperti ini bukannya pernah terjadi sebelumnya? Ya, di labirin itu,” pikirku saat itu.
Aku mengamati sekelilingku. Hijau. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini, sebuah padang rumput yang di kelilingi hutan gelap. Aku berusaha untuk berbicara dengan anak kecil itu, tapi sesuatu seperti mengikat tenggorokanku tiap kali aku berusaha. Bahkan mulutku seperti disulam. Untuk memanggilnya saja aku tidak bisa, bagaimana aku bicara? Bagaimana aku bisa keluar dari dunia gila ini jika aku tidak bertanya? Aku akan semakin tersesat.

Anak kecil itu tiba-tiba menarik-narik tanganku dengan tidak sabarnya. Tidak tahu apa yang ingin dia tunjukkan padaku.

“Kertas? Apa yang akan dia lakukan dengan kertas-kertas itu?” batinku. Aku hanya melihat, dan dia memintaku untuk duduk di sampingnya. Dia begitu ceria, bermain dengan kertas-kertas itu dan melipatnya, membentuknya menjadi macam-macam binatang. Kesukaannya adalah angsa, karena kutemukan banyak bentuk angsa berwarna-warni berserakan dalam berbagai ukuran. Lalu dia memberikan sebagian kertas-kertas miliknya padaku. Kertas… andai saja ada pena atau semacamnya di sini.

Aku pandangi kertas-kertas dalam genggamanku, tapi pikiranku kosong. Anak kecil itu menarik-narik bajuku dan menunjukkan angsa lipatnya. Tebakanku, dia ingin aku membuatnya juga. Tapi bukan angsa yang ingin aku buat. Pesawat kertas. Aku melipat kertas itu, lalu menerbangkannya begitu terbentuk sempurna. Begitu menyenangkan melihatnya terbang, tapi perasaan itu lenyap ketika dia mendarat. Aku buat lagi, dan kuterbangkan kembali. Dan tentu saja dia jatuh lagi. Aku tidak tahu. Rasanya aku ingin pesawat kertas itu terus terbang.

Anak kecil itu pun meniruku membuat bentuk pesawat. Dia senang sekali apalagi melihat pesawat itu mendarat, membuatnya ingin segera melipat yang baru. Anak itu juga membuat pesawat kertas cukup banyak, sehingga dia bisa menerbangkannya terus-menerus. Dia berlari kesana-kemari menerbangkan pesawat kertasnya. Hingga dia lelah, dan tertidur.

Sejak itu, aku terus berada di padang rumput bersama anak kecil itu. Aku sampai lupa berapa waktu yang telah kuhabiskan di sini, hanya bermain dengannya. Bahkan lupa untuk pergi dari tempat ini.

Lalu lagi-lagi, sosok mengejutkan muncul, meskipun seharusnya aku tidak perlu terkejut dengan keanehan yang selalu mengikutiku ini. Berbeda dengan si anak kecil, aku tidak begitu mengenal sosok baru ini. Tiba-tiba ia muncul ketika aku membuatkan pesawat kertas untuk si anak kecil. Ia seorang wanita separuh baya yang penuh pancaran kebahagiaan dan ketenangan. Entah bagaimana aku merasa ada kemiripan di antara kita, juga kemiripan dengan si anak kecil.
Perempuan itu hanya berdiri dalam diam sembari menatapnya. Dan ketika dia memandangku, aku dapat melihat dan merasakan rasa iba yang dia tujukan padaku. Lalu dia memberikan secarik kertas kosong yang agak kuno dan juga pena bulu.

Pena dan kertas yang lama kuinginkan, yang mungkin dapat menolongku keluar dari tempat ini. Mengapa sekarang ada keraguan? Mengapa sulit sekali tanganku untuk menerimanya? Bukankah aku dapat berbicara melalui kertas dan pena itu? Sayangnya, bukankah sudah jelas? Keraguan muncul karena adanya ketakutan, ketakutan akan hilangnya kesenangan di sini. Namun, aku pun takut jika terus berada di tempat ini selamanya. Mungkin ketakutan terakhir ini lah yang membuatku berani menerima dan menggunakannya.

Lalu aku mulai menulis dengan sebuah partanyaan yang kutujukan untuk perempuan itu.
Kau siapa?
Sesaat kemudian, tulisan itu lenyap tak berbekas. Dengan bingung aku menatap perempuan itu, tapi gerak matanya memintaku untuk terus melihat kertas yang kupegang. Lalu perlahan, sebuah kalimat muncul dengan sendirinya, kalimat yang menjawab pertanyaanku sebelumnya.
Aku adalah apa yang kau impikan.
Selesai membacanya, kertas itu kembali kosong tanpa bekas coretan. Aku pun bertanya lagi, meski jawaban itu masih membuatku bingung.
Lalu siapa dia?
Dia adalah apa yang kau jalani.
Aku makin tidak mengerti dengan jawaban berbelit-belitnya. Kuabaikan, aku melanjutkan dengan pertanyaan lain.
Aku ada di mana? Tempat apa sebenarnya ini?
Bukan di mana pun. Tempat ini hanya tempat di mana orang lain tidak akan pernah dapat memasukinya, kecuali pemiliknya.
Pemiliknya? Siapa pemilik yang kau maksud?
Pikirkanlah, siapa saja yang selalu kau jumpai selama kau tersesat di sini?
“Orang yang selalu kujumpai di sini?” tanyaku membatin. Aku berpikir, dan memutar kembali ingatanku. Sampai aku mengamati anak kecil yang sedang tertidur karena kelelahan seperti biasa, aku pun sadar. Orang yang kujumpai dalam labirin kaca waktu itu adalah aku, aku yang lain. Di sini, anak kecil itu pun seperti aku, aku yang lain. Bahkan perempuan di hadapanku ini, mungkin saja aku.
Aku? Tapi bagaimana mungkin? Aku tidak pernah membuat dunia seperti ini, untuk apa pula aku menciptakan dunia yang membuat diriku sendiri tersesat?
Memang bukan kehendakmu, tetapi pilihan-pilihanmulah yang menciptakannya. Dunia ini terhubung dengan hidupmu. Pilihanmu akan menentukan bagaimana dunia ini berjalan.
Aku masih tak mengerti. Bagaimana caranya agar aku dapat keluar dari sini? Apakah ada pintu keluar jika aku melewati hutan gelap itu?
Tidak akan ada yang tahu jika tidak mencobanya.

Aku pernah berpikir untuk mencoba masuk ke dalam hutan itu, tetapi aku tak cukup berani melakukannya. Aku tidak ingin merasakan sakit dan penderitaan itu lagi. Aku tidak ingin bertemu dengan putus asa dan kehampaan seperti di labirin kaca. Meskipun aku tahu, ada kehampaan pula jika aku tetap berada di padang rumput ini, kehampaan dan keputus asaan yang lain.

Perempuan itu meraih salah satu pesawat kertas yang berserakan di sekitarku. Lalu kertas kuno itu ‘berbicara’ lagi.

Berapa kalipun kau membuatnya, pesawat kertas, itu tidak akan pernah cukup untuk menerbangkanmu dan membebaskanmu dari sini.
~~~~~
Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management