Tuesday, July 19, 2016

Kenangan Terakhir




'Aku hanya bisa melihat namanya, terukir dalam sebuah nisan.'

'Aku sadar, aku mungkin tidak bisa merasakan perasaan-perasaan yang sama lagi ketika aku jatuh cinta padanya dengan orang lain, karena dia hanya ada satu, tidak ada yang bisa disamakan dengannya. Aku pun tak yakin apakah aku bisa jatuh cinta lagi, sebesar aku menyukainya. Tetapi, bagaimana pun dan seperti apa pun hatiku nanti, aku tidak akan membiarkannya tersembunyi lagi.'

Penyesalan selalu datang terlambat, menciptakan rasa sesak yang menyiksa, yang mungkin akan terobati oleh waktu, dan oleh keikhlasan. Tiap orang pasti memiliki penyesalan dalam hidup mereka. Begitu pun aku. Satu penyesalan terbesarku, yang belum terobati hingga sekarang, adalah terlambat dalam bertindak.

Ini tentang cinta, cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya tepat ketika ujian semester tahun 2006/2007 lalu. Sistem rolling membuat kita berada di ruang ujian yang sama, meski kita beda angkatan. Saat itu dia masih kelas satu SMP, dan aku kelas dua SMP. Mungkin sulit dipercaya bahwa masih sekecil itu aku bisa merasakan yang namanya cinta, pada pandangan pertama pula. Ah, kata cinta sepertinya masih terlalu berat untuk umur segitu. Anggap saja aku suka dan tertarik padanya. Terkesan ringan, simpel, sederhana, dan bukan perasaan yang mendalam, kan?

Setelah ujian dan liburan, semester genap pun dimulai. Seperti sudah tersetting, mataku selalu awas dengan kehadirannya. Cara jalannya, rambutnya, tingginya, tasnya, juga sepedanya, aku bisa paham. Dan secara kebetulan, aku menemukan fakta bahwa tempat tinggalnya tidak jauh dari tempatku, hanya tiga menit dengan kendaraan bermotor. Sejak saat itulah aku mulai mengamati di menit ke berapa dia biasa berangkat dan sampai di sekolah. Tentu aku bukan stalker, aku hanya terus mencoba untuk berangkat ke sekolah di menit yang berbeda. Lalu dengan hitungan matematika tanpa rumus, aku berhasil mengetahui kebiasaannya berangkat pagi. Aku sering sampai di sekolah bersamaan dengannya atau di jalan saat aku yang diantar ayahku dengan motor melewatinya. Saat-saat seperti itulah aku mulai sering menyapanya dengan senyuman. Saat pulang sekolah, tempat duduk favoritku di angkot adalah pojok kiri belakang. Kenapa? Karena dari sini aku bisa melihat dengan jelas dirinya yang mengayuh sepeda jika kebetulan si mobil angkot menyalipnya atau disalip olehnya, dan kalau beruntung, kita bisa saling senyum lagi. Ah, aku bukan stalker, aku hanya ingin bertemu atau sekedar melihatnya.

Di kelas tiga semester ganjil, aku bisa sering berangkat dan pulang dengannya karena satu angkot (saat itu, aku dengar kabar sepedanya dijual, jadi dia selalu naik angkot), tapi aku tidak pernah berani berbicara padanya. Aku jadi lebih semangat bangun pagi karena jam 6 harus sudah berangkat, dan di angkot aku selalu berdoa dan berharap dia naik angkot yang kunaiki. Kurang puas dengan pagi hari, di jam istirahat, aku sengaja ke lantai dua dan bertemu dengan teman dekatku (adik kelas perempuan). Padahal tujuannya hanya sekedar ingin melewati kelasnya, dan berharap bisa berpapasan dengannya. Selain itu, pernah juga aku mencari segala cara agar mendapatkan nomor HPnya. Tidak peduli itu ternyata nomor HP orangtuanya, aku sempat nekat juga mengucapkan ulang tahun lewat sms ke nomor itu.

Dan… waktu pun berlalu. Hanya hal-hal kecil dan hal remeh yang terjadi, tapi aku cukup senang. Bahkan tiap halaman dari tiga diaryku penuh, menceritakan tentang bagaimana aku dan dia, apakah aku bertemu dengannya, apakah aku bisa menyapa atau mengobrol sedikit dengannya, obrolan seperti apa ketika bertemu, juga perasaan campur aduk ketika tahu dia tertarik dengan teman sekelasnya atau teman sekelasku, dll. Tapi satu hal yang pasti, tidak ada perkembangan antara aku dan dia. Kita masih saja menjadi sekedar kakak dan adik kelas, bahkan sebagai teman pun belum masuk hitungan. 

Hanya sekedar itu, tetapi rasa bahagia dan debarannya masih bisa kurasakan, bahkan sampai sekarang. Aku masih ingat dengan jelas perasaan-perasaan yang pernah kurasakan dulu saat bertemu, saling menyapa atau saling senyum, bahkan saat hanya bertatapan atau melihatnya. Sebut saja aku gadis gila dan terlalu berlebihan. Tapi begitulah nyatanya. Dulu, meski aku lulus dan lanjut ke SMA, bahkan sempat berpacaran di SMA, aku sama sekali tidak pernah bisa melupakannya. Aku bahkan masih rela pulang sore, lalu jalan kaki sekitar 30 menit ke SMP supaya bisa bertemu dan satu angkot lagi dengan dia, setiap hari. Jadi, masihkah ini termasuk sekedar rasa suka atau ketertarikan semata? Entahlah.

Sayangnya, semua yang kulakukan hanya berujung pada penyesalan. Penyesalan karena sebenarnya begitu banyak kesempatan, hampir setiap hari, yang Tuhan beri agar aku bisa lebih dekat dengannya, aku justru menyia-nyiakannya. Saat itu aku merasa ‘sudahlah, melihatnya dengan senyum itu saja sudah membuatku bahagia’, lalu aku membiarkan perasaanku sembunyi darinya. Meski dulu sempat berencana untuk mengungkapkan perasaanku ketika kelulusan SMP, semua kuurungkan. Aku terlalu takut, dan malu. Wajar, karena aku masih kecil saat itu (dan jangan disamakan dengan masa kecil anak zaman sekarang, pasti beda). Tapi aku merasa aku terlalu bodoh. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika Tuhan membiarkan dia melanjutkan kuliah di kota yang sama denganku, aku tak pernah berusaha untuk mencari dan menemuinya. 

Jarak kita begitu dekat, tapi aku tak pernah bertindak. Desa kita, tempat tinggal kita, sekolah kita, tempat kuliah kita, dan tempat rantauan kita, selalu berdekatan. Tapi aku tak pernah berbuat apa-apa, bahkan aku yakin dia sudah melupakanku. Tentu saja dia melupakanku, karena aku tidak pernah benar-benar mendatangi kehidupannya. Aku tak pernah menunjukkan bagaimana perasaanku selama ini padanya. Tak pernah kutunjukkan bagaimana aku selalu diam-diam memikirkannya, penasaran dengan kegiatannya, sering mencari tahu tentang dia hanya dari sosial media, dll. Aku hanya berdoa dan berharap agar ada kebetulan yang terjadi sehingga aku bisa bertemu dengannya, entah mungkin itu satu mobil travel, bis, atau kereta saat mudik, atau ada kegiatan/acara mahasiswa, atau kebetulan apa pun itu. Hanya berharap, tanpa benar-benar berusaha.

Dan sekarang, dia mungkin dekat, bahkan aku bisa menemuinya. Sayangnya aku tak akan pernah bisa menggapainya. Aku bisa pulang ke kampung halaman untuk menemuinya kapan saja, tapi semua harapanku hancur. Aku tidak akan pernah lagi berharap ada kebetulan-kebetulan aneh, lucu, atau romantis, yang selama ini sering aku impikan. Aku tidak bisa lagi bertemu dan saling menyapa dengan senyuman seperti dulu. Aku hanya bisa menemuinya, tapi tidak benar-benar bertemu dengannya dan melihat senyumnya. Aku hanya bisa melihat namanya, terukir dalam sebuah nisan.

Perandaianku semakin menjadi-jadi setelah dia pergi setahun yang lalu. Andai dulu, andai saat itu, andai di depan kelasku waktu itu, andai di pinggir jalan waktu menunggu angkot dulu, andai di gerbang sekolah dulu, andai di dalam angkot ketika itu, andai aku mencarinya, andai aku menemuinya, andai aku menghubunginya lagi entah lewat sosial media atau apa pun itu, dan andai-andai yang lain masih sering bermunculan. Ah, ANDAI AKU LEBIH BERANI BERTINDAK.

Aku lebih memilih melihat dia benar-benar bahagia hidup dengan atau dekat dengan perempuan lain. Entah mengapa akan lebih mudah melupakannya jika keadaannya seperti itu. Aku sama sekali tidak paham kenapa sekarang justru aku semakin berat untuk benar-benar melupakan dan meninggalkannya. Setiap keping memori yang sedikit itu terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja. Aku merasa justru ini saatnya, ini kesempatan terakhirku (belum tentu umurku panjang dan belum tentu aku akan bertemu dengannya setelah aku meninggal). Aku semakin ingin lebih mencurahkan perasaanku yang terpendam selama ini dengan sering mengunjunginya dan mendoakannya. Hanya ini caranya. Memang sangat terlambat, tapi untuknya sekarang, tak banyak yang bisa kuperbuat.

Kini aku sadar, aku bukan perempuan yang mudah untuk benar-benar mencintai seseorang, meski aku mudah tertarik dengan laki-laki. Aku sadar, aku mungkin tidak bisa merasakan perasaan-perasaan yang sama lagi ketika aku jatuh cinta padanya dengan orang lain, karena dia hanya ada satu, tidak ada yang bisa disamakan dengannya. Aku pun tak yakin apakah aku bisa jatuh cinta lagi, sebesar aku menyukainya. Tetapi, bagaimana pun dan seperti apa pun hatiku nanti, aku tidak akan membiarkannya tersembunyi lagi. Meski sekarang dirinya masih tersimpan dengan baik di hati dan pikiranku, aku tetap yakin suatu saat aku bisa membuka hati untuk orang lain. 

Apakah aku akan bertemu dengan seseorang yang mampu membuatku bahagia hanya dengan melihat senyumnya dan selalu ingin melihat senyum itu? Apakah aku akan bertemu seseorang yang membuatku selalu merindukannya, yang membuatku rela menempuh berbagai cara agar lebih dekat dengannya, juga rela menghabiskan waktu dengannya, yang membuatku mau berkorban banyak untuknya? Sampai kini, aku masih belum menemukan sosok itu, selain dirinya. Setertarik apapun aku dengan seseorang, tidak pernah sekalipun aku merasakan hal-hal kecil itu (seperti saat aku dengannya). Namun, saat nanti aku benar-benar bertemu seseorang itu, aku tidak akan membiarkan rasa penyesalan ini terjadi untuk kedua kalinya.
by elis.ta

0 comment:

Post a Comment

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management