Friday, April 27, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Mimpi

Bagian 4
Labirin Mimpi (I)

Sunyi. Sepi. Hanya suara langkah kakiku yang terdengar. Sesekali aku merasakan desiran angin lembut menerpaku. Rasanya begitu kesepian. Aku terus saja teringat pada kata-kata terakhir Marv yang ia sampaikan padaku ketika kita berpisah, Jika kau melanjutkan perjalanan ini, mungkin kau akan lebih menderita lagi.”
Memang derita apa lagi yang akan aku alami? Kepalaku mulai pusing. Sepertinya aku mulai kelelahan dan kehilangan tenaga. “Kau perlu bantuan?” ucap seseorang yang tanpa kusadari sudah ada tepat di belakangku, mencoba menopangku. Aku menoleh padanya, mengamati wajahnya yang mulai samar-samar tak terlihat, dan seketika gelap. Entah aku pingsan atau terlelap.
Aku membuka mata kemudian, secara perlahan. Terkejut, kudapati diri berdiri di tengah lorong sebuah gedung asing. Dinding-dindingnya tampak kokoh, dan semua terlihat lebih terang. Banyak pintu di sisi kanan maupun kiri. Banyak orang pula berlalu lalang; sebagian mengenakan pakaian sama dengan celana dan baju lengan panjang bermotif polkadot warna biru, sebagian lain mengenakan jubah atau jas serba putih membawa sesuatu yang dikalungkan di leher atau kertas-kertas dengan penuh catatan dan coretan. Ada juga beberapa lainnya yang mengenakan pakaian biasa, menemani atau bercengkrama dengan orang yang berbaju polkadot. Sepintas kulihat seseorang yang berjalan melaluiku, di lengannya nampak sedikit tulisan ‘Rumah Sakit’. Aku tak lagi memperhatikan kata berikutnya karena ternyata ada seseorang berjalan di belakangku. Lagi-lagi, dia seperti aku. Tidak, dia memang benar-benar aku. Perlahan dia berjalan ke arahku, tetapi tidak mengenaliku, bahkan dia tak melihatku. Dia berhenti tepat di sebelahku, menatap lurus seorang laki-laki yang sedang kesulitan berjalan karena kakinya sedang cedera dan seorang perempuan cantik dengan longdress biru navy yang membantunya, dengan perhatian penuh di sisinya. Kutebak mereka adalah sepasang kekasih, nampak dari kemesraan dan tatapan mereka satu sama lain.
Lalu, laki-laki itu melihat ke arahku, tepatnya perempuan di sebelahku. Tatapannya sungguh tak dapat kutebak. Sepintas mengejek, sepintas cuek. Sepintas terlihat dia merasa menang, sepintas nampak dia tak merasa tenang. Sepintas dia memberi tatapan galak, seolah perempuan di sisiku ingin dia elak. Tetapi mengapa rasanya semua tatapan itu tertuju pula padaku, bukan hanya pada perempuan ini? Dan, ada amarah yang mulai memenuhi nadi, serta kecewa yang menggerogoti hati. Lalu, aku pun mendengar perempuan itu berbicara, meski mulutnya rapat terkunci, “Beginikah rasa terabaikan, terbuang, tertipu? Atau aku yang terlampau bodoh percaya pada semua ujaranmu?” Batinannya sungguh tegas masuk ke saraf otakku. Perasaannya sungguh jelas memenuhi jiwaku, tercabik hingga lebur, terasa begitu sakit hingga ingin kupilih selamanya tertidur. “Rasanya ingin mati.” Kali ini dia berbisik. Tetapi bisikannya serasa maut bagiku. Kepalaku mulai merasakan sakit yang luar biasa. Tubuhku mulai limbung. Aku memejamkan mata tapi yang kulihat bukan gelap gulita. Entah itu potongan mimpi, atau ingatan, yang pasti semua berebut muncul di dalam kepala. Sedangkan kata ‘mati’ terus saja menjejal telinga. Karena sakitnya tak tertahankan, kulampiaskan dengan teriakan.
Teriakan itu membuatku terbangun di tempat berbeda, bukan di lorong gedung ataupun di labirin. Aku terbangun di sebuah tempat tidur di dalam gubuk kecil. Di sebrang tempat tidur, ada satu meja kecil dengan beberapa roti dan minuman. Aku belum tahu siapa pemilik tempat ini, tapi rasa lapar membuatku tak ingin memikirkan apa pun untuk sementara. Tanpa pikir panjang, aku lahap habis makanan dan minumannya.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara pintu terbuka. Melihat siapa yang memasuki gubuk, aku sontak berdiri, berjalan menjauh. Sekujur tubuhku mulai merasa ngilu melihat sosok laki-laki di depanku. Kecemasan mulai merajaiku mengingat laki-laki itulah yang ada di mimpiku. Pertanda burukkah itu?
Kuamati dia dengan waspada. Tingginya sekitar 4-5 cm di atasku dengan perawakan yang terbilang kecil sebagai seorang laki-laki, tetapi tetap terlihat kuat. Matanya agak sipit dan senyumnya, yah, cukup manis. Air mukanya begitu ramah dan menyenangkan. “Syukurlah, sepertinya kau baik-baik saja. Aku agak cemas karena kau terbaring cukup lama.” katanya tiba-tiba. “Kau tak ingat padaku?” tanyanya, mungkin karena aku hanya berdiri, diam, dan terlihat kebingungan. Sepintas aku bertanya-tanya maksudnya. Apakah dia pernah ada di masa laluku? Gedung asing itu mungkin. “Aku yang menemukanmu hampir pingsan, sampai akhirnya kau benar-benar pingsan.” Oh, ternyata itu maksudnya. “Yah, mungkin lebih tepatnya tidur daripada pingsan. Apa kau tidak pernah tidur?” Aku bahkan seperti membuang kata tidur dalam kamus hidupku ketika menelusuri labirin pohon. “Kenapa kau diam saja? Kau, baik-baik saja, kan?” “Y…ya, tentu,” jawabku pelan, dan dia tersenyum. “Duduklah, akan kubuatkan sesuatu yang lebih membuatmu kenyang daripada sepotong roti,” ucapnya sembari sibuk di dapur kecilnya.

0 comment:

Post a Comment

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management