Air Mata di Tengah Malam
Well, ini
namanya (baca juga : judulnya) menangis semalam. Jam sepuluh malam tadi, aku
lagi ngerjain tugas kewarganegaraan. Aku sih lagi ngerjain tugas buat makalah
individu, eh tiba-tiba aku malah keinget tentang makalah kelompok. Dan aku
inget kejadian kemarin siang di kantin.
Aku
tiba-tiba nangis, dan nggak berhenti-berhenti. Sial, kenapa lagi ini air mata
nggak mau berhenti keluar, malah semakin menjadi. Apa? Karena omongan 2 temenku
kah? Atau karena yang lain?
Aku
sendiri nggak paham, nggak tahu pasti. Masa iya cuma karena masalah ‘nyuruh dan
minta tolong’? Emang sih sakit hati, berasa kayak semua efforts yang udah aku lakuin kurang dihargai. Aku kerja itu sampe
nglembur 2 hari 2 malem, revisi juga bikin power point. Tahu sih nggak ada yang
nyuruh aku buat nglakuin itu. Paham aku. Tapi emang salah ya kalau aku pengin
makalah dan presentasinya jadi bagus? Toh aku mau minta tolong juga gimana?
Kumpul pun pada nggak sempat. Mau kumpul Selasa juga terlalu mepet sama hari-H.
Kalau aku nunggu pada kumpul terus baru ngerjain, apa nggak bakal kelabakan?
Pengalaman mengajariku kok gimana nggak enaknya kelabakan ngerjain tugas
gara-gara deadline-nya sebentar lagi.
KALAU,
MUNGKIN, JIKA yang terjadi cuma itu, aku masih bisa nahan diri untuk nggak
nangis tapi nyatanya aku nangis. Kenapa? Segitu besarkah efek obrolan mereka?
Sampai-sampai aku mikir juga, selama ini aku nggak dianggap temen ya? Ya oke,
dalam permintaanku emang nggak ada kata-kata ‘tolong’ dan aku sedikit maksa kemarin siang. Tapi maksudku kan juga demi kelompok, supaya kalau ada yang perlu
diedit jadi langsung aku edit. Salahku juga sih. Dia emang
kelihatan nggak mood, malah aku
maksa. Makin nggak mood deh dia.
Tapi
karena udah terlanjur dijudge nyuruh,
dan faktanya nggak ada kata-kata tolong dari mulutku, aku pun diem aja. Aku
terima pandangan itu, tentu dengan goresan kecil, yang makin membersar setelah
obrolan berikutnya.
‘Nyuruh?
Emang siapanya?’ makin ma’jleb tuh kalimat. Tahu kok aku, itu cuma ceplosan
bercanda. Aku tahu itu emang kebiasaan mereka ngobrol. Well, tapi tetep itu bikin sakit hati. Dan untuk orang yang pemikir
kayak aku?? ditambah lagi respon yang satunya itu setuju sama statement itu dengan muka nggak mood dan
lemesnya plus serius; coba deh bayangin sendiri gimana itu membekas di otak dan
menggores di hati.
Di
sisi lain aku emang ngrasa bersalah. Tapi mungkin aku sendiri juga udah capek
dengan masalah-masalah lain dan beban lainnya. Pada dasarnya aku emang orang
yang pemikir dan agak cengeng. Perpaduan yang gampang membuat kantung mataku
membengkak.
Setiap
hal kecil yang bikin beban atau yang nyakitin hati, aku nggak terlalu
memikirkan, awalnya. Tapi giliran hal itu numpuk, maka perasaanku juga nggak bisa
dipendam, air mata juga nggak bisa dibedung lagi. Ini salah satu ekspresiku
meluapkan semua emosi yang aku rasa. Entah itu sakit hati, marah, kecewa, bingung,
stres, ngrasa sendiri, ngrasa nggak ada tempat yang cocok buat aku, bahkan aku
ngrasa aku emang mesti sendiri dalam keadaan ini. Aku ya cuma bisa nangis.
Cerita pun mau cerita sama siapa? Cerita pun mereka belum tentu nanggepin
serius. Kasih tahu pun mereka belum tentu kasih solusi.
Aku
nggak ngerti kenapa banyak dari mereka susah ngerti aku, yang bener-bener aku.
Aku merasa nggak ada satu pun yang bisa dekat sama aku jiwa-raga luar-dalem
lahir-batin. Bahkan orang tua pun juga. Aku nggak pernah sekalipun cerita
tentang masalahku atau perasaanku atau pengalamanku atau kisah-kisahku ke orang
tua. Satu kalipun nggak pernah. Sama mereka pun aku nggak merasa nyaman untuk cerita segala hal, gimana sama temen dan orang lain?
Perasaan-perasaan
ini cuma bisa aku simpen sendiri lah. Aku alay ya? Lebay? super duper aneh? Whatever. I don't care. This is my feeling.
And they won’t understand it. Maybe never.
Dan
ketika bangun pagi ini, mataku bengkak dan suaraku sedikit hilang. Hasil yang
bagus sekali. -___- tapi aku lega udah nangis.