Suatu hari, saat sedang berkumpul
di sanggar pramuka, rahasia bahwa Tyas menyukai Ian hampir terbongkar. Karena Tyas tidak ingin
menjadi bahan gossip, dia pun
mengelak dengan berkata, “ Nggak lah! Mana mungkin aku suka sama Ian. Bukan
tipeku banget! Aku malah sebel tahu!” Tyas mengatakannya dengan sangat jelas
dan betapa terkejutnya dia saat Ian yang ternyata ada di belakangnya berkata
dengan sinis, “Oh, maaf deh kalau aku bukan tipemu! Tapi, asal tahu aja, kamu
juga bukan tipeku kok.” Lalu Ian menoleh ke Aula dan bertanya, ”Eh, La, Awan di
mana sih? Aku kira dia di sini.”
”Nggak, paling dia di lapangan basket,” jawab Aula.
”Thanks.” Ian langsung pergi sedangkan Tyas masih berdiri mematung. Hancur
sudah hati Tyas. Ingin menangis rasanya. Padahal pertama kalinya Tyas berbicara
dengan Ian, tapi mungkin itu yang terakhir pula.
Tyas pun dirundung rasa sedih dan rasa bersalah. Ingin sekali Tyas meminta
maaf, tapi dia terlalu takut. Takut Ian tidak mau memaafkannya dan makin
membencinya. Malamnya, Kiki menelpon Tyas. Hal yang tidak pernah
disangka-sangka Tyas sebelumnya. Tyas pun menjawab telpon itu dengan suara yang
lemas dan hal itu membuat Kiki bertanya-tanya.
”Kenapa kamu? Kok kayaknya nggak semangat? Apa karena aku menelpon?” tanya
Kiki.
”Nggak kok, nggak. Aku cuma lagi bingung, ada konflik kecil.”
”Konflik kecil kok bikin nggak semangat gitu? Kalau mau, cerita aja ke
aku,” respon Kiki. Tyas diam sejenak. Berpikir.
”Sebenarnya hari ini aku nggak sengaja menyakiti perasaan orang lain, dan hal
itu menyakiti perasaanku juga. Aku mengatakan sesuatu yang nggak seharusnya aku
katakan dan aku benar-benar menyesal.”
”Oalah, ya kamu tinggal minta maaf aja ke dia.”
”Aku takut. Aku nggak terlalu mengenalnya, tapi kesan pertama yang aku
berikan malah buruk gini. Jangan-jangan malah dia nggak mau terima maafku.
Jangankan menerima, melihat atau berbicara denganku aja mungkin dia nggak mau.”
”Jangan pesimis gitu lah. Sebenarnya itu hak dia sih mau merespon maafmu
dengan positif lalu memaafkan kamu, atau dengan negatif dan nggak mau berteman
sama kamu. Tapi setidaknya kamu berusaha meminta maaf.” Suasana hening sejenak.
Tyas kembali berpikir.
”Tia, kamu masih hidupkah?” ledek Kiki.
”Nggak, lagi pingsan nih,” sahut Tyas.
”Pingsan kok bisa ngomong, haha... Hei, sudahlah, nggak perlu terlalu kamu
pikirkan. Cuma tekadkan niat untuk minta maaf dan minta maaflah ketika kamu
ketemu dia. Oke?”
”Ya, oke,” jawab Tyas dengan sedikit ragu.
”Tenang aja, ada aku kok yang siap menghibur kamu kalau-kalau kamu sedih
karena dia nggak mau memaafkan kamu, haha...,” canda Kiki.
Berkat Kiki, akhirnya Tyas membulatkan tekad untuk meminta maaf. “Tapi
gimana caranya minta maaf ya? Kayaknya aku harus tunggu waktu yang tepat buat
minta maaf,” ucap Tyas dalam hati.
Malam yang sama, tempat berbeda. Awan dan Aula duduk di teras rumah Aula.
Mereka mengkhawatirkan Tyas. Lalu Aula mendapat sebuah ide dan dia berkata pada
Awan, “Wan, besok kamu ultah kan? Kita manfaatkan moment itu aja!”
“Maksudnya?” tanya Awan bingung.
“Begini, besok pagi aku minta tolong sama Ian supaya kamu bisa dikurung di
sanggar alasaannya aku mau kasih kejutan karena kamu ultah. Kita juga minta
bantuan Astri buat manggil Tyas ke sanggar. Terus kita kurung deh mereka
berdua. Oh iya, aku juga bilang ke Ian kalau Tyas nggak ikutan. Jadi, ini seolah-olah
nggak disengaja. Gimana?”
“Em, boleh juga tuh,” jawab Awan setuju.
=+++=
0 comment:
Post a Comment