“Sebenarnya aku sama Aula tuh mau ngerjain Awan dengan cara mengurung dia soalnya
dia ulang tahun hari ini. Nanti pas
dia keluar, kita nyiram dia pakai air, lempar pakai terigu, dan lain-lain. Eh,
malah jadi kayak gini.” jawab Ian lalu menghela nafas.
“Oh,” respon Tyas singkat sambil terus mengetik. ”Sial banget sih nasibmu.”
Dalam hati, Ian cukup terkejut dengan sikap Tyas yang cuek dan tenang itu. “Lho, bukannya malah kamu ya yang kena sial?”
“Aku? Sial karena ke kurung?
Biasa aja tuh.”
“Ke kurung mungkin emang biasa aja, tapi kan ke kurungnya sama
aku, orang yang kamu sebel selangit! Gimana nggak sial tuh kamu?” kata Ian
sambil melirik ke arah Tyas. Deg! Tyas
berhenti mengetik tiba-tiba dan terdiam beberapa detik.
“Oh, sori deh buat yang waktu itu. Bukan maksudku kok.”
“Waktu itu yang mana?”
“Lupa apa ngelupa nih?”
“Kayaknya sih ngelupa.” sahut Ian. “Eh, uda ingat kok. Terus?”
”Ya aku minta maaf.”
“Terus?”
“Hah?? Emm, nggak seharusnya aku ngejek kamu, padahal kita kan nggak saling
kenal. Ya, kan?”
“Terus?”
“Belok kanan, belok kiri pas pertigaan, belok kiri lagi di gang ke tiga,
rumah pertama itu rumahnya Aula.”
“Hah? Emang aku tanya alamat rumah Aula?”
“Habisnya, dari tadi ngomongnya terus-terus mulu sih kamu!”
“Hahaha… iya terus aku mesti gimana?”
“Terjun aja sana!”
“Lho, kan nggak ada hubungannya?”
”Ya emang nggak ada!”
”Terus maksudnya apa?”
”Nggak ada maksud apa-apa.”
“Hah? Dasar aneh!”
“Siapa?”
“Kamu!”
“Emang!” celetuk Tyas sambil tetap mengetik. “Nggak beda jauh, kan?”
“Sama?”
“Kamu.”
“Sial!hahaha...” kata Ian tertawa. Kemudian terdengar bunyi ’klek’ dan pintu terbuka.
”Cielah, Restia Ningtyas sama Alfian Rizki lagi berduaan,” ledek Aula. Awan
yang ada di belakangnya pun terkekeh meskipun seluruh tubuhnya basah dan
dipenuhi terigu oleh Aula, Astri, dan teman-teman mereka.
”Hahaha... Wan, sumpah Wan! Ganteng banget kamu kayak gitu! Cocok banget
yakin!” ejek Tyas lalu tertawa. Begitu juga dengan yang lainnya. Awalnya Awan
kesal tapi akhirnya dia ikut tertawa juga.
Beberapa saat setelah itu, Tyas mengirim pesan ke Kiki. Dia mengatakan
bahwa dia merasa lega karena sudah meminta maaf. Kiki pun membalas dan
mengatakan bahwa dia ikut merasa senang.
Di gerbang sekolah, Tyas sedang menunggu angkutan umum bersama Aula dan
Awan.
”Tadi berjalan lancarkan?” tanya Aula tiba-tiba. Kebingungan terekspresikan
dari wajah Tyas, tapi beberapa detik setelahnya, ekspresi itu berubah menjadi
kaget.
”Ah! Jangan bilang kalau kamu yang ada dibalik semua ini?” Aula hanya
mengangguk dan berkata, ”Maaf, Yas. Tapi aku lihat semua berjalan baik kok.”
”Iya sih. Tapi itu juga berkat Kiki. Mungkin kalau nggak ada dia, aku nggak
berani minta maaf ke Ian.”
”Kiki? Siapa dia?” tanya Awan. Tyas pun menceritakan kepada mereka berdua
perkenalan anehnya dengan Kiki.
”Ah, itu jemputanku sudah datang. Duluan ya,” kata Tyas sambil masuk ke
mobil angkutan umum.
”Ya, hati-hati,” kata Aula. Suasana hening sesaat.
”La! Dahimu berkerut tuh,” ucap Awan mengagetkan Aula. ”Kamu lagi mikir apa
sih?”
”Kira-kira apa jadinya ya kalau Tyas tahu kenyataannya?” tanya Aula.
”Kenyataan apa? Hubungan antara Ian dan Kiki?” Aula hanya mengangguk. ”Ya,
aku juga penasaran. Untuk sekarang kita lihat dulu aja lah perkembangannya,
La.”
Begitulah awal kisah Tyas. Hubungan dengan Kiki dekat, sedangkan dengan Ian
mulai tampak ada kemajuan. Padahal Kiki dan Ian adalah satu orang yang sama.
The End…?
0 comment:
Post a Comment