Akhirnya, hari yang
ditunggu-tunggu Aula, Awan, dan Astri pun tiba. Mereka memulai peran
mereka masing-masing. Pagi hari, Aula membujuk Ian dan berhasil. Awan bersikap
biasa seolah-olah tidak tahu apa-apa. Sedangkan Astri meminta tolong Tyas untuk
datang ke sanggar sepulang sekolah nanti.
Sepulang sekolah, Ian terkejut dengan kehadiran Tyas.
“Lho? Kenapa Tyas ada di sini? Kata Aula, Tyas nggak ada dalam scenario kan?” tanya Ian dalam hati.
Tyas pun terkejut saat melihat Ian ada di dalam sanggar. Namun, Tyas pandai
menyembunyikan perasaannya, sehingga dia bersikap seolah-olah Ian bukan
siapa-siapa dan tidak pernah terjadi apa-apa antara dia dan Ian.
“Tyas?! Kok kamu di sini?” tanya Aula berpura-pura terkejut.
“Kamu mau aku di mana? Di tengah jalan, di kuburan, di gunung, apa di gurun
gersang?”
“Di tengah samudra aja deh sana!”
jawab Awan iseng.
“Oke, aku berangkat,” sahut Tyas lalu balik kanan.
“Eh, Yas!” panggil Aula dan Awan serentak.
“Oh, jangan, jangan pegangi aku,” kata Tyas berlagak seperti di film-film.
“Ih, siapa juga yang pegang kamu? Ge-er,” tukas Awan. Tyas hanya tersenyum.
Ian pun tersenyum kecil melihat tingkah Tyas itu. Tapi Tyas tidak terlalu
mempedulikannya dan bertanya pada Astri apa yang bisa dia bantu.
“Tolong kamu buat proposal tentang
acara kita bulan depan. Kamu cuma tinggal mengetik kok. Sekarang aku mau ke
ruang guru dulu sebentar,” katanya sambil menunjukkan setumpuk kertas di tangannya.
”Nanti aku balik lagi.” Astri pun pergi dari ruangan itu. Kemudian Tyas mulai
menggantikan Astri mengetik, sedangkan Aula, Awan, dan Ian sedang asyik bermain
kartu UNO.
Beberapa saat kemudian, Aula pergi keluar. Mulai tampak kecemasan dan
kebingungan di wajah Ian.
“Giliranku yang keluar. Eh, tapi Tyas gimana? Apa aku ajak dia keluar ya?
Ah, tapi nggak mungkin! Tapi kalau cuma aku yang keluar, yang terkurung malah
mereka berdua. Kalau ada apa-apa, nanti aku, lagi, yang suruh tanggung jawab,”
kata Ian dalam hati.
Tiba-tiba Awan berdiri dan berjalan keluar. Ian pun bertanya, ”Eh, mau ke
mana kamu, Wan?” Awan hanya menunjukkan beberapa bungkus permen. Lalu Ian
mengangguk tanpa menyadari sesuatu.
“Mau ke mana tuh Awan?” tanya Tyas dengan sikap sewajar dan setenang
mungkin.
“Buang sampah di luar,” jawab Ian singkat. Detik demi detik berlalu. Suasana
hening yang tidak mengenakkan. ”Kok Awan lama?” tanya Tyas mencoba mencairkan
suasana.
”Entah. Mungkin buang sampahnya di ujung dunia kali.” Akhirnya Ian tersadar
ada sesuatu yang tidak beres. Dia pun bergegas ke arah pintu dan firasatnya
benar. Pintunya terkunci. Dia pun panik.
“Kenapa sih?!” tanya Tyas melihat tingkah Ian.
“Pintunya dikunci dari luar,” jawab Ian. Lalu dia berteriak, ”Woi, buka
pintunya! Jangan bercanda deh! Nggak lucu tahu!”
Dari arah luar, Awan berteriak,“Eh, udah sadar ya kalau ke kunci? Hahaha...
Ian, Aku tuh udah tahu kamu mau mengurung aku di sanggar ’kan?! Sekarang jadi senjata
makan tuan deh! Duluan ya. Daaaaah.” Awan pun menjauh dari sanggar.
Tyas pun bertanya, “Apa sih maksudnya?”
=+++=
0 comment:
Post a Comment