Bagian 1
Labirin Kaca
Labirin Kaca
Aku
seperti dalam ruang yang cukup gelap dan penuh cermin setinggi lima meter. Ke
mana pun aku pergi, hanya ada cermin. Sepanjang jalan yang berliku yang aku
susuri, hanya ada aku dan pantulan-pantulan diriku, diriku yang lain. Mereka
bukan aku, tapi kita sama.
Aku
terus berjalan mencari jalan keluar. Semakin lama semakin menyesakkan. Kupercepat
jalanku lalu aku mulai berlari kecil. Seluas apakah labirin ini? Sejauh mana
aku harus menjelajahinya? Dan selama apa aku dapat bertahan? Bingung
menghampiri, dan cemas pun merajai. Aku merasa ketakutan sendiri melihat
sosok-sosok yang berlari dengan kecepatan yang sama namun tubuh yang berbeda.
Mereka bukan aku dan kita tidak lagi sama.
Siapa
mereka? Mereka tampak mengerikan. Aku berlari makin cepat, berusaha menjauh
dari mereka. Tapi mereka tetap mengejarku. Begitu ketakutan, aku tak bisa
menggunakan akalku dengan benar. Aku berlari tanpa tahu arah. Berbelok,
berbelok, dan berbelok. Berlari dan terus berlari. Aku tidak menemukan jalan
keluar, tapi jalan buntu. Aku terjatuh, terpojok dan aku terengah-engah. Aku
berbalik ke belakang, sosok-sosok mengerikan itu menghilang. Aku duduk memeluk
kedua lututku, dan kutundukkan kepalaku bersandar pada lututku. Aku merasa haus
dan lapar, tapi tak ada apa pun di sini. Aku menangis, tapi itu hanya membuatku
semakin haus dan lapar. Kuusap air mataku dan dengan lemas, aku mencoba
berdiri. Aku berpegang pada dinding di sisiku. Dan lagi, aku melihat sosok
dalam cermin. Terkaget, aku melangkah mundur hingga menabrak sisi dinding yang
lain, dinding cermin. Menyedihkan. Mereka menyedihkan dan mengerikan. Tidak
terlihat kebahagiaan, namun hanya kesepian dan ketakutan. Langit dan lantai pun
berubah menjadi cermin. Mereka semua muncul dari segala sudut, mereka yang terlihat
jahat dan penuh kesedihan.
Tempat
apa ini sebenarnya? Di mana aku? Dan siapakah mereka? Aku terdiam, pikiranku
kosong sesaat. Kenapa aku harus bertanya siapa mereka? Bukankah jelas mereka
adalah aku.
Ya.
Mereka adalah aku. Lalu siapa aku sebenarnya? Siapa? Aku adalah mereka semua,
mereka yang menunjukkan betapa buruknya aku: penuh kecurigaan, ketakutan dan
kepedihan yang akhirnya menimbulkan kebencian pada kehidupan. Kecurigaan akan
tingkah laku tiap orang. Ketakutan akan kehilangan dan ketakutan akan dibenci
dan dilupakan. Kepedihan karena telah merasakan banyak kehilangan dan kebencian
serta terlupakan. Aku menganggap mereka tidak pernah ada. Yang kulakukan hanya
berlari menjauh. Pergi menjauh karena aku tidak ingin menganggap mereka adalah
bagian dari diriku.
Kuberanikan
diri mendekat pada salah satu sosok menyedihkan dalam cermin. Kuamati sosok
tersebut. Perlahan semua sosok-sosok dalam cermin menyamai sosok itu. Tidak
kuasa aku menahan tangis dan terucap kata maaf dari bibirku. Begitu rapuhnya
kah aku serapuh sosok yang sedang kuamati itu? Salahku telah membiarkan dia
sendiri. Salahku telah memisahkan diriku dan menganggap dia tidak ada. Salahku
hanya berlari menjauh dari sosok itu, bukan membawanya bersamaku mencari jalan
keluar dan meraih kegembiraan.
“Aku
adalah kamu. Kamu adalah aku.”
Aku
menerimanya sebagai bagian dari diriku. Aku menerimanya sebagai aku yang penuh
kecurigaan, ketakutan, kesepian, kepedihan, dan kebencian. Aku tidak akan lagi
berlari menjauh, tetapi berbalik menghadapi dan menerima. Akan aku terima
semua, aku hadapi semua perasaan dan keadaan, lalu kuubah perlahan menjadi
sesuatu yang lebih menyenangkan.
Labirin
ini menunjukkan diriku yang lain, diriku yang sebenarnya. Namun, labirin ini
masih membuatku tersesat. Aku masih harus mencari jalan keluar. Dan
perjalananku sepertinya masih panjang.