Bagian 2
Labirin Lain
Labirin Lain
Waktu demi waktu berlalu. Ia berputar dengan lambat. Atau justru sangat cepat sehingga aku merasa waktu bergulir lambat? Tidak lagi paham aku akan waktu.
Aku teringat ketika pertama kali keluar dari labirin kaca. Bukan dunia yang kukenal yang kurindukan. Hanya sebuah pintu, yang diikuti pintu lain di baliknya. Tidak ada yang lain kecuali pintu dengan dinding, lantai, dan atap yang serba putih.
Pelan aku
berjalan dan membuka pintu-pintu itu satu persatu. “Harus berapa pintu kah yang
akan aku buka?” Tetapi aku mulai menyadari sesuatu. Jarak antarpintu semakin
lama semakin jauh, dan putihnya ruangan semakin lama semakin redup. Bahkan
udara tidak lagi dapat aku rasakan, dan aku tidak mampu bernafas. Mataku tidak
lagi dapat menjangkau keberadaan pintu berikutnya. Sampai akhirnya semua
benar-benar gelap dan aku pikir aku telah mati.
Namun,
aku terbangunkan dengan suara gelak tawa renyah seorang anak kecil. Kubuka
mataku dengan pelan. Awalnya samar. Dan beberapa detik kemudian aku
terkejutkan. Bagaimana mungkin anak kecil itu ada di depanku? Apa aku
benar-benar telah mati? Atau dia hanya mirip saja?
“Tunggu,
hal seperti ini bukannya pernah terjadi sebelumnya? Ya, di labirin itu,”
pikirku saat itu.
Aku mengamati
sekelilingku. Hijau. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini, sebuah
padang rumput yang di kelilingi hutan gelap. Aku berusaha untuk berbicara
dengan anak kecil itu, tapi sesuatu seperti mengikat tenggorokanku tiap kali
aku berusaha. Bahkan mulutku seperti disulam. Untuk memanggilnya saja aku tidak
bisa, bagaimana aku bicara? Bagaimana aku bisa keluar dari dunia gila ini jika
aku tidak bertanya? Aku akan semakin tersesat.
Anak
kecil itu tiba-tiba menarik-narik tanganku dengan tidak sabarnya. Tidak tahu
apa yang ingin dia tunjukkan padaku.
“Kertas?
Apa yang akan dia lakukan dengan kertas-kertas itu?” batinku. Aku hanya
melihat, dan dia memintaku untuk duduk di sampingnya. Dia begitu ceria, bermain
dengan kertas-kertas itu dan melipatnya, membentuknya menjadi macam-macam
binatang. Kesukaannya adalah angsa, karena kutemukan banyak bentuk angsa
berwarna-warni berserakan dalam berbagai ukuran. Lalu dia memberikan sebagian
kertas-kertas miliknya padaku. Kertas… andai saja ada pena atau semacamnya di
sini.
Aku
pandangi kertas-kertas dalam genggamanku, tapi pikiranku kosong. Anak kecil itu
menarik-narik bajuku dan menunjukkan angsa lipatnya. Tebakanku, dia ingin aku
membuatnya juga. Tapi bukan angsa yang ingin aku buat. Pesawat kertas. Aku
melipat kertas itu, lalu menerbangkannya begitu terbentuk sempurna. Begitu
menyenangkan melihatnya terbang, tapi perasaan itu lenyap ketika dia mendarat.
Aku buat lagi, dan kuterbangkan kembali. Dan tentu saja dia jatuh lagi. Aku
tidak tahu. Rasanya aku ingin pesawat kertas itu terus terbang.
Anak
kecil itu pun meniruku membuat bentuk pesawat. Dia senang sekali apalagi
melihat pesawat itu mendarat, membuatnya ingin segera melipat yang baru. Anak
itu juga membuat pesawat kertas cukup banyak, sehingga dia bisa menerbangkannya
terus-menerus. Dia berlari kesana-kemari menerbangkan pesawat kertasnya. Hingga
dia lelah, dan tertidur.
Sejak
itu, aku terus berada di padang rumput bersama anak kecil itu. Aku sampai lupa
berapa waktu yang telah kuhabiskan di sini, hanya bermain dengannya. Bahkan
lupa untuk pergi dari tempat ini.
Lalu lagi-lagi, sosok mengejutkan muncul, meskipun seharusnya aku tidak perlu
terkejut dengan keanehan yang selalu mengikutiku ini. Berbeda dengan si anak
kecil, aku tidak begitu mengenal sosok baru ini. Tiba-tiba ia muncul ketika aku
membuatkan pesawat kertas untuk si anak kecil. Ia seorang wanita separuh baya yang
penuh pancaran kebahagiaan dan ketenangan. Entah bagaimana aku merasa ada
kemiripan di antara kita, juga kemiripan dengan si anak kecil.
Perempuan
itu hanya berdiri dalam diam sembari menatapnya. Dan ketika dia memandangku,
aku dapat melihat dan merasakan rasa iba yang dia tujukan padaku. Lalu dia
memberikan secarik kertas kosong yang agak kuno dan juga pena bulu.
Pena dan
kertas yang lama kuinginkan, yang mungkin dapat menolongku keluar dari tempat
ini. Mengapa sekarang ada keraguan? Mengapa sulit sekali tanganku untuk
menerimanya? Bukankah aku dapat berbicara melalui kertas dan pena itu?
Sayangnya, bukankah sudah jelas? Keraguan muncul karena adanya ketakutan,
ketakutan akan hilangnya kesenangan di sini. Namun, aku pun takut jika terus
berada di tempat ini selamanya. Mungkin ketakutan terakhir ini lah yang
membuatku berani menerima dan menggunakannya.
Lalu aku
mulai menulis dengan sebuah partanyaan yang kutujukan untuk perempuan itu.
Kau siapa?
Sesaat
kemudian, tulisan itu lenyap tak berbekas. Dengan bingung aku menatap perempuan
itu, tapi gerak matanya memintaku untuk terus melihat kertas yang kupegang.
Lalu perlahan, sebuah kalimat muncul dengan sendirinya, kalimat yang menjawab
pertanyaanku sebelumnya.
Aku adalah apa yang kau impikan.
Selesai
membacanya, kertas itu kembali kosong tanpa bekas coretan. Aku pun bertanya
lagi, meski jawaban itu masih membuatku bingung.
Lalu siapa dia?
Dia adalah apa yang kau
jalani.
Aku
makin tidak mengerti dengan jawaban berbelit-belitnya. Kuabaikan, aku
melanjutkan dengan pertanyaan lain.
Aku ada di mana? Tempat apa sebenarnya
ini?
Bukan di mana pun. Tempat ini
hanya tempat di mana orang lain tidak akan pernah
dapat memasukinya, kecuali pemiliknya.
Pemiliknya? Siapa pemilik yang kau
maksud?
Pikirkanlah, siapa saja yang
selalu kau jumpai selama kau tersesat di sini?
“Orang
yang selalu kujumpai di sini?” tanyaku membatin. Aku berpikir, dan memutar
kembali ingatanku. Sampai aku mengamati anak kecil yang sedang tertidur karena
kelelahan seperti biasa, aku pun sadar. Orang yang kujumpai dalam labirin kaca
waktu itu adalah aku, aku yang lain. Di sini, anak kecil itu pun seperti aku,
aku yang lain. Bahkan perempuan di hadapanku ini, mungkin saja aku.
Aku? Tapi bagaimana mungkin? Aku tidak pernah membuat dunia seperti
ini, untuk apa pula aku menciptakan dunia yang membuat diriku sendiri tersesat?
Memang bukan kehendakmu,
tetapi pilihan-pilihanmulah yang menciptakannya. Dunia ini terhubung dengan
hidupmu. Pilihanmu akan menentukan bagaimana dunia ini berjalan.
Aku masih tak mengerti. Bagaimana caranya agar aku dapat keluar dari
sini? Apakah ada pintu keluar jika aku melewati hutan gelap itu?
Tidak akan ada yang tahu jika
tidak mencobanya.
Aku
pernah berpikir untuk mencoba masuk ke dalam hutan itu, tetapi aku tak cukup
berani melakukannya. Aku tidak ingin merasakan sakit dan penderitaan itu lagi.
Aku tidak ingin bertemu dengan putus asa dan kehampaan seperti di labirin kaca.
Meskipun aku tahu, ada kehampaan pula jika aku tetap berada di padang rumput
ini, kehampaan dan keputus asaan yang lain.
Perempuan
itu meraih salah satu pesawat kertas yang berserakan di sekitarku. Lalu kertas
kuno itu ‘berbicara’ lagi.
Berapa
kalipun kau membuatnya, pesawat kertas, itu tidak akan pernah cukup untuk menerbangkanmu
dan membebaskanmu dari sini.
~~~~~