Kebebasan
hanya fiktif belaka. Bagaimana mungkin ada kebebasan jika satu detik setelah
manusia lahir, sudah ada norma dan aturan sosial yang harus dilekatkan padanya,
pada bayi yang baru saja lahir ke dunia. Ada konstruksi sosial dan gender yang
tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Apa konstruksi tersebut dibuat
oleh manusia? Tentu saja. Berarti bukankah manusia itu sendiri yang
memenjarakan diri? Tidak, lebih tepatnya konstruksi sosial, terutama konstruksi
gender, pada awalnya dibuat untuk menguntungkan pihak laki-laki; itu untuk
meguntungkan ruang gerak mereka dan memenjarakan wanita. Cari dan baca saja
sejarah kehidupan wanita, bagaimana mereka teraniaya; mereka dijadikan budak
baik jiwa maupun raga. Dan sekarang yang katanya emansipasi wanita? Ah percuma.
Pada nyatanya, yang kupercaya, tidak ada kebebasan di dunia.
Kebebasan
adalah hal yang kurenungi setelah membaca novel Pasung Jiwa yang ditulis oleh
Okky Madasari. Sebuah novel kritik sosial yang menceritakan tentang kehidupan
Sasana, seorang laki-laki yang menjadi biduan dangdut, dan Jaka, laki-laki yang
memberi jalan kepada Sasana untuk menjadi Sasa si Biduan. Novel yang cukup
menguras emosi. Meski salah di mataku dan di mata masyarakat pada
umumnya--seorang laki-laki yang berdandan perempuan--,tapi itu lah potret
kehidupan nyata dengan segala pengalaman buruknya. Lagi-lagi kita disindir dan
dibikin mikir, bejat mana, orang yang menjadi waria tapi jujur pada dirinya
atau orang yang seharusnya jadi panutan masyarakat tapi menyodomi mereka? Bejat
mana, orang pekerja seksual yang tak munafik atau orang yang menghancurkan
lokalisasi berkedok agama tapi sambil teriak "Bunuh! Bunuh!" dan
menikmati juga barang-barang jarahannya?
Untukku,
kisah yang disandingkan dalam Pasung Jiwa cukup pelik dan efeknya mungkin jika
aku bertemu dengan seorang wanita-pria di depan mata, aku akan membatin,
"Apa hidupnya serunyam Sasana?". Meski di akhir cerita, si penulis
'memberi' kebebasan pada Sasana dan Jaka, tapi apa mereka telah benar-benar
bebas? Apa kita manusia, memang benar bisa bebas lepas?
Seperti
yang kubilang di awal: fiktif. Sejatinya Tuhan memang tidak sekalipun membuat
sesuatu yang kita sebut sebagai kebebasan, karena manusia memang diciptakan
dengan aturan untuk hidup berdampingan. Tuhan tidak menciptakan kebebasan, tapi
kemudahan dan perlindungan. Sayangnya, manusia sekarang kecanduan untuk
mempersulit keadaan. Tuhan ciptakan pria dan wanita dengan perananannya. Tapi
manusia terlalu congkak, ingin berkuasa dan mengubah kodratnya.
Banyak
juga yang cenderung berpikir, orang yang kuat, dia bisa berkuasa; orang yang
berkuasa, dia bisa bebas suka-suka. Iya, tepat, sesuai realita, tapi ya jelas
hanya di dunia; bebas yang semu, maya, palsu. Bagi sebagian orang lain, yang
tak punya kekuatan-kekuasaan, mati adalah kebebasan. Bahkan dalam Pasung Jiwa
pun disuguhkan. Salah satu karakter yang ditemui Sasana di rumah sakit jiwa
memilih mati demi bisa bebas. Atau tengok novel klasik seperti The Awakening
karya Kate Chopin dimana tokoh utamanya pun memilih bunuh diri sebagai simbol
kebebasannya karena dia terlalu terkekang dengan aturan masyarakat pada saat
itu.
Tapi
pada kenyataannya, lagi-lagi sayangnya, kematian pun ada aturannya. Orang yang
memilih mati demi kebebasan, justru bukan mendapat kebebasan tapi masuk ke kurungan
lain, bisa saja. Setidaknya begitu dalam agama yang kupercaya. Kebebasan yang
lebih besar eksis di surga. Mati memang jalan satu-satunya, tapi mati pula
jalan yang sama ke 'penjara' (red:neraka).
Tambahan,
kenapa kubilang 'kebebasan yang lebih besar' bukan 'kebebasan nyata, mutlak,
sejati, atau sesungguhnya'? Ya aku hanya berpikir ulang, Kalau surga sebebas
itu, apa akan ada manusia di dunia? Kita ada karena Adam dan Hawa yang terusir
dari surga, kan? Karena adanya pelanggaran aturan, meski hanya ada satu aturan/larangan.
Dan yang bisa mengusir mereka cuma Dia. Jadi yang sebenar-benarnya bebas dan memiliki kebebasan hanya
satu: Tuhan, Yang Maha Kuat, Maha Kuasa, Maha Segala.
Ah
sepertinya lanturanku terlalu panjang ya. Ku sekian kan saja daripada bosan.
Intinya, aku menikmati novelmu Mbak Okky, dua jempol.
0 comment:
Post a Comment