Bagian 3
Labirin Pohon (III)
Labirin Pohon (III)
“Aku rasa
kita harus berhenti sekarang,” pintaku pada Marv. “Mari berhenti dan
bicarakan.”
“Bicarakan?
Tidak biasanya kamu ingin berbicara. Ada apa?” katanya, berbalik padaku.
Aku
mencoba mengatur nafasku perlahan, dan sejenak menghilangkan kelelahan yang
kurasa karena terlalu lama berjalan. Aku duduk di bebatuan di pinggiran sebuah
tanah lapang. Marv, masih berdiri di hadapanku, menatapku dan menungguku
berbicara. Kubalas tatapannya, dan aku mulai berbicara.
“Bagaimana
mungkin aku berdiam diri membisu dan hanya mengekor kemanapun kau pergi,
sedangkan arah yang kau pilih selalu menuju ke tempat yang sama? Kau pikir
sudah berapa kali kita melewati lorong yang sama dan berujung pada tempat lapang
ini? Kita tersesat, sadarkah kau?” Tak ada respon darinya. Dia masih diam,
seolah masih menungguku untuk berbicara lagi.
“Jangan-jangan
kau sengaja?” tanyaku curiga. Dia mulai bersiap untuk protes. “Mungkin dari
awal kau tidak ingin membantuku, kau hanya ingin mempermainkanku, iya kan?
Kenapa? Bodohnya aku, aku bahkan tak benar-benar mengenalmu, tapi aku percaya
begitu saja. Dari awal harusnya aku sendirian. Aku yakin kau akan menghilang
jika sudah bosan mempermainkanku,” celotehku. “Aku benar-benar tak mengerti,
tempat apa ini sebenarnya? Siapa dirimu? Siapa mereka? Datang dan pergi silih
berganti. Aku merasa begitu dipermainkan, tapi aku tak yakin lagi, apakah kau
atau ada sesuatu yang lain yang sedang mempermainkanku.” Aku menghela nafas dengan rasa dan pikiran yang campur aduk. "Kau... pasti tahu sesuatu, kan?" tanyaku sambil memicingkan mata, curiga.
Marv pun
bertanya, “Kenapa baru kau pikirkan sekarang? Kenapa pula baru kau pertanyakan
semuanya? Aku yakin pertanyaan itu sudah tertimbun lama dalam pikiranmu, kan?” Tepat
sekali. Tak bisa dipungkiri memang, dari awal aku berada dalam kebingungan
karena tak menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Aku kira seiring
berjalannya waktu, aku akan menemukan jawabannya.
“Tidak
semua hal akan terjawab oleh waktu. Tidak semua pertanyaan dan persoalan akan
terselesaikan begitu saja dengan hanya menunggu dalam diam,” ucapnya tiba-tiba,
seolah sedang membaca pikiranku. “Waktu mungkin akan mampu menjawabnya, tapi
tetap saja semua tergantung pada usaha yang kau lakukan.”
Aku
menatapnya lekat, antara ingin mempercayainya tetapi tetap mewaspadainya. "Jadi, kau tahu sesuatu atau tidak?" Dia hanya diam, enggan menjawab. “Sebenarnya
kau… orang baik atau jahat?” Dia masih diam. Lalu beberapa saat kemudian, dengan tersenyum
kecut dia menjawab, “Kedua-duanya.”
Aku
menghela nafas lagi, dan berusaha bersikap tenang.
“Lalu kapan saat kau menjadi orang baik?”
“Lalu kapan saat kau menjadi orang baik?”
“Saat aku
bersamamu, menemani dan menjagamu.”
“Dan
kapan saat kau menjadi jahat?”
“Di waktu
aku harus benar-benar meninggalkanmu.”
Entah
mengapa aku mengerti jawaban dan ekspresinya itu. Dia berkata jujur. Aku tak
ingin tahu apakah dia benar-benar tersesat atau sengaja menahanku dari sesuatu
yang buruk yang akan terjadi jika kita memilih jalan lorong yang lain. Aku tak
terlalu yakin, mungkin dia ingin aku menghindari orang-orang semacam Kris dan Hak.
Tetapi jika aku terus seperti ini, aku tak akan pernah keluar dari labirin
pohon.
Kuputuskan
untuk mempercayainya lagi. Namun, aku tetap memilih perjalananku sendiri. Akan
lebih baik aku yang meninggalkannya ketika dia menjadi orang baik. Akan lebih
baik aku tak melihatnya berubah menjadi orang jahat, orang yang meninggalkanku.
Aku beranjak dari bebatuan tempatku duduk. Kembali melanjutkan perjalanan
labirin ini, sendiri.
0 comment:
Post a Comment