Bagian 3
Labirin Pohon (II)
Labirin Pohon (II)
Perlahan
kubuka pagar kecil labirin pohon itu. Memasuki labirin pohon, aku hanya
mengikuti Kris. ‘Kris’, nama panggilan yang tiba-tiba saja terucap secara
spontan dari mulutku. Tetapi semakin aku mengikutinya, semakin aku merasa
sesak. Sesuatu yang menyakitkan yang entah darimana mulai menghampiriku. Hanya
dengan melihatnya, aku merasa sakit. Aku harus segera meninggalkannya, dan itu
kulakukan. Aku berpisah darinya di dalam labirin itu. Tetapi tetap saja sesuatu
mengganjal perasaanku. “Benarkah aku meninggalkannya? Bukan sebaliknya?”
Berpisah
darinya, tidak benar-benar menghapus rasa sesakku. Parahnya, aku lebih sering
menemukan jalan buntu, dan entah bagaimana aku kembali di tempat aku pertama
kali memulai. Kuputuskan mengambil jalan yang berbeda. Kali ini aku mengambil
jalan ke kanan dari pagar labirin.
Jalanan
labirin yang kulewati terlihat rapuh dan mudah longsor. Sangat rapuh hingga aku
hampir jatuh terperosok. Saat itulah aku bertemu Marv, yang menahanku dan
memegang tanganku erat agar tak terjatuh. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku
hanya mengangguk, tanpa berkedip. Aku tak terpesona padanya, hanya saja aku
merasa aman dengan kedatangannya. Aku merasa bisa mempercayainya kali ini. “Di
lorong ini, kau harus ekstra hati-hati, atau kau akan terjerumus ke dalam
kegelapan di bawah sana,” katanya menasehatiku sembari melirik ke dasar lubang.
Mengikuti arah bola matanya, aku melihat kepekatan tanpa dasar di dalam lubang
itu. Aku tak dapat membayangkan jika aku benar-benar jatuh ke sana. “Ayo
kutemani kau melewati lorong ini,” katanya lagi sambil menarik tanganku.
“Terimakasih,” kataku lirih, dan dia membalasnya dengan senyuman. Aku tak
mengerti, yang ia genggam apakah tanganku, atau hatiku?
Tanah
yang kita lalui sudah berganti menjadi bebatuan kecil. Aku kembali curiga,
apakah sebentar lagi aku akan berpisah dengan Marv? Bersamanya, aku tak banyak
bicara dan tak banyak bertanya, sama seperti biasanya. Rasa takut dan khawatir
memang ada, tetapi aku tak pernah membiarkan emosi itu terlihat. Aku terbiasa
menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, terbiasa menyimpan semuanya sendiri,
terbiasa berpura-pura.
“Tunggu,
sepertinya aku mendengar sesuatu,” ucapku tiba-tiba seraya mencari tahu suara
apa dan berasal dari arah mana. Marv pun berhenti dan ikut mengamati
sekeliling. Pantulan bola? Mungkinkah ada seseorang yang sedang bermain bola di
dalam labirin? Aku dan Marv saling tatap, dan sepakat untuk mendekat ke arah
suara, memastikan sesuatu. Ya, benar. Ada seseorang sedang memainkan bola
basket. Dia menatapku lurus, lalu melemparkan bola cepat kepadaku. Spontan aku
menangkapnya tepat di depan wajahku. Kekuatan lemparannya tidak
tanggung-tanggung, membuat kaki kananku mundur selangkah untuk menahannya, dan
tentu saja tanganku terasa sakit.
Ada apa
dengan laki-laki itu? Dia terus saja menatapku dengan dingin dan tajam, lalu beranjak
pergi begitu saja. Terheran-heran, aku bersiap untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba Marv
meminta bola itu dan memantulkannya ke bawah berkali-kali. “Ayo main!” ajaknya,
membuatku spontan kebingungan, “Hah??”
Dia mulai
berlari kecil sambil mendribel bola itu, lalu melemparkan kembali padaku.
“Tidak, sebaiknya kita menyusul pemilik bola ini,” kataku ketika kutangkap bola
lemparannya. Agaknya dia sedikit kecewa dengan kemauanku, tapi aku biarkan.
Kita
mencoba mencari si pemilik bola. Sesekali aku melihat sosoknya berbelok atau
melewati jalan-jalan labirin di sekitarku. Namun, ketika kucoba menyusulnya,
dia menghilang. Sampai akhirnya aku berhasil menemukannya, berdiri menghadap ke
jalan buntu dan membelakangiku.
“Hei, aku
kembalikan…” kataku berbicara padanya. Mendekatlah.
Tiba-tiba ada suara perempuan asing yang berbisik yang membuatku berhenti
melanjutkan kata-kataku. Aku celingukan, tetapi tak ada siapapun kecuali aku
dan Hak, sebutan untuk sosok di hadapanku ini. Kemudian Hak perlahan membalikkan
badannya. Sorotan tajamnya seolah akan menghancurkanku, dan sorotan dinginnya mampu
membuatku membeku, ketakutan. Beberapa saat kemudian, Marv datang. “Di sini kau
rupanya,” katanya. Aku spontan menoleh pada Marv, dan Hak lenyap begitu saja
ketika kukembalikan pandanganku ke arahnya. Lalu tanpa basa-basi Marv menarik
tanganku, mengajakku segera pergi dari tempatku berdiri. Keberadaan Hak dan
bola yang sedaritadi kupegang menghilang tepat di depan mata. Tetapi mengapa
Marv sama sekali tak menanyakannya?
~~~
0 comment:
Post a Comment