Bagian 4
Labirin
Mimpi (I)
Sunyi. Sepi. Hanya suara langkah kakiku yang terdengar.
Sesekali aku merasakan desiran angin lembut menerpaku. Rasanya begitu kesepian.
Aku terus saja teringat pada kata-kata terakhir Marv yang ia sampaikan padaku
ketika kita berpisah, “Jika kau
melanjutkan perjalanan ini, mungkin kau akan lebih menderita lagi.”
Memang derita apa lagi yang akan aku alami? Kepalaku
mulai pusing. Sepertinya aku mulai kelelahan dan kehilangan tenaga. “Kau perlu
bantuan?” ucap seseorang yang tanpa kusadari sudah ada tepat di belakangku,
mencoba menopangku. Aku menoleh padanya, mengamati wajahnya yang mulai
samar-samar tak terlihat, dan seketika gelap. Entah aku pingsan atau terlelap.
Aku membuka mata kemudian, secara perlahan. Terkejut, kudapati
diri berdiri di tengah lorong sebuah gedung asing. Dinding-dindingnya
tampak kokoh, dan semua terlihat lebih terang. Banyak pintu di sisi kanan
maupun kiri. Banyak orang pula berlalu lalang; sebagian mengenakan pakaian sama
dengan celana dan baju lengan panjang bermotif polkadot warna biru, sebagian
lain mengenakan jubah atau jas serba putih membawa sesuatu yang dikalungkan di
leher atau kertas-kertas dengan penuh catatan dan coretan. Ada juga beberapa
lainnya yang mengenakan pakaian biasa, menemani atau bercengkrama dengan orang
yang berbaju polkadot. Sepintas kulihat seseorang yang berjalan melaluiku, di
lengannya nampak sedikit tulisan ‘Rumah Sakit’. Aku tak lagi memperhatikan kata
berikutnya karena ternyata ada seseorang berjalan di belakangku. Lagi-lagi, dia
seperti aku. Tidak, dia memang benar-benar aku. Perlahan dia berjalan ke
arahku, tetapi tidak mengenaliku, bahkan dia tak melihatku. Dia berhenti tepat
di sebelahku, menatap lurus seorang laki-laki yang sedang kesulitan berjalan
karena kakinya sedang cedera dan seorang perempuan cantik dengan longdress biru navy yang membantunya, dengan perhatian penuh di sisinya. Kutebak
mereka adalah sepasang kekasih, nampak dari kemesraan dan tatapan mereka satu
sama lain.
Lalu,
laki-laki itu melihat ke arahku, tepatnya perempuan di sebelahku. Tatapannya
sungguh tak dapat kutebak. Sepintas mengejek, sepintas cuek. Sepintas terlihat
dia merasa menang, sepintas nampak dia tak merasa tenang. Sepintas dia memberi
tatapan galak, seolah perempuan di sisiku ingin dia elak. Tetapi mengapa
rasanya semua tatapan itu tertuju pula padaku, bukan hanya pada perempuan ini?
Dan, ada amarah yang mulai memenuhi nadi, serta kecewa yang menggerogoti hati.
Lalu, aku pun mendengar perempuan itu berbicara, meski mulutnya rapat terkunci,
“Beginikah rasa terabaikan, terbuang, tertipu? Atau aku yang terlampau bodoh
percaya pada semua ujaranmu?” Batinannya sungguh tegas masuk ke saraf otakku.
Perasaannya sungguh jelas memenuhi jiwaku, tercabik hingga lebur, terasa begitu
sakit hingga ingin kupilih selamanya tertidur. “Rasanya ingin mati.” Kali ini
dia berbisik. Tetapi bisikannya serasa maut bagiku. Kepalaku mulai merasakan
sakit yang luar biasa. Tubuhku mulai limbung. Aku memejamkan mata tapi yang
kulihat bukan gelap gulita. Entah itu potongan mimpi, atau ingatan, yang pasti
semua berebut muncul di dalam kepala. Sedangkan kata ‘mati’ terus saja menjejal
telinga. Karena sakitnya tak tertahankan, kulampiaskan dengan teriakan.
Teriakan itu membuatku terbangun di tempat berbeda, bukan
di
lorong gedung ataupun di labirin. Aku
terbangun di sebuah tempat tidur di dalam gubuk kecil. Di sebrang tempat tidur,
ada satu meja kecil dengan beberapa roti dan minuman. Aku belum tahu siapa
pemilik tempat ini, tapi rasa lapar membuatku tak ingin memikirkan apa pun
untuk sementara. Tanpa pikir panjang, aku lahap habis makanan dan
minumannya.
Beberapa
saat kemudian, aku mendengar suara pintu terbuka. Melihat siapa yang memasuki
gubuk, aku sontak berdiri, berjalan menjauh. Sekujur tubuhku mulai merasa ngilu
melihat sosok laki-laki di depanku. Kecemasan mulai merajaiku mengingat
laki-laki itulah yang ada di mimpiku. Pertanda burukkah itu?
Kuamati
dia dengan waspada. Tingginya sekitar 4-5 cm di atasku dengan perawakan yang
terbilang kecil sebagai seorang laki-laki, tetapi tetap terlihat kuat. Matanya
agak sipit dan senyumnya, yah, cukup manis. Air mukanya begitu ramah dan
menyenangkan. “Syukurlah, sepertinya kau baik-baik saja. Aku agak cemas karena
kau terbaring cukup lama.” katanya tiba-tiba. “Kau tak ingat padaku?” tanyanya,
mungkin karena aku hanya berdiri, diam, dan terlihat kebingungan. Sepintas aku
bertanya-tanya maksudnya. Apakah dia pernah ada di masa laluku? Gedung asing
itu mungkin. “Aku yang menemukanmu hampir pingsan, sampai akhirnya kau
benar-benar pingsan.” Oh, ternyata itu maksudnya. “Yah, mungkin lebih tepatnya
tidur daripada pingsan. Apa kau tidak pernah tidur?” Aku bahkan seperti
membuang kata tidur dalam kamus hidupku ketika menelusuri labirin pohon. “Kenapa
kau diam saja? Kau, baik-baik saja, kan?” “Y…ya, tentu,” jawabku pelan, dan dia
tersenyum. “Duduklah, akan kubuatkan sesuatu yang lebih membuatmu kenyang
daripada sepotong roti,” ucapnya sembari sibuk di dapur kecilnya.