Friday, September 06, 2013

Special for Someone - Surat 'Kecil' Untukmu

Surat ‘Kecil’ Untukmu
“Jika tulisan-tulisan ini sampai padamu, artinya ini sudah beberapa tahun yang telah berlalu semenjak aku sadar aku menyukaimu, 2010 silam; dan itu berarti juga aku belum mampu melupakanmu.
“Perempuan yang setidaknya pernah menjadi kekasih ini merasa bingung. Kenapa terasa sulit untuk tidak mengingatmu? Kenapa terasa berat untuk menghilangkan 100% perasaan sayang ketika kita menjadi sepasang kekasih? Apa usahaku kurang maximal? Atau aku yang memang tidak dapat membuka hati? Begitu banyak laki-laki yang dengan logika dapat dikatakan lebih baik darimu, lebih mapan darimu. Tapi itu hanyalah logika yang bicara, bukan hati. Satu kepergianmu, beberapa kedatangan mereka. Namun, tetap kamu yang tinggal. Aku harus berbuat apa?
“Aku kehabisan akal, menyerah. Aku tidak lagi memaksakan diri untuk mencintai orang lain. Aku berhenti membutakan hati dan membohongi diri. Apa pun yang akan kulakukan ke depan tanpamu, aku merasa, akan percuma jika aku hanya mendiamkan rasa ini. Aku mungkin akan lebih lega jika kuungkapkan semuanya.
“Apa kamu ingat pagi di mana kamu meminta kita berpisah 9 Juni dulu? *pasti tidak. Tepat sehari sebelumnya, hari di mana aku ingin kamu tidak menghubungiku, aku menikmati ‘renunganku’. Setelah cukup lama memikirkan bagaimana sebenarnya perasaanku padamu semenjak keraguan itu muncul menjadi masalah, hari itulah di mana aku kembali mendapatkan keyakinan bahwa apa pun yang kamu lakukan, aku tetap menyukaimu. Apa pun yang mereka katakan, aku mempercayaimu dan akan mempertahankanmu. Aku sadar bahwa aku justru semakin menyukaimu. Perasaan itu tumbuh lebih besar dari saat pertama kita satu kelas di SMP, lebih besar dari saat aku bertemu denganmu di reuni setelah satu tahun tanpa kabar, dan lebih besar ketika hari pertama kita menjadi sepasang kekasih. Masalah yang membuat kita renggang, ternyata semakin menumbuhkan perasaan rindu.
“Di pagi yang sama aku berniat mengatakannya, tapi kalimatmu membuatku terdiam, berpikir ulang. Aku tahu, hubungan tidak akan berhasil tanpa adanya kepercayaan. Ketika aku bertanya bagaimana jika aku menolak untuk berpisah, kamu seperti orang yang bingung. Kubayangkan, akan pedih untukku jika melihatmu yang terpaksa bersamaku dengan wajah murung dan sedih karena ingin bebas dariku. Setelah kamu memberitahuku bahwa sikap dinginmu adalah ujian untukku, aku pun tahu bahwa dengan kamu melakukan tes itu, sama saja dengan kamu yang sudah mulai ragu. Maka kuputuskan untuk tidak mengatakan perasaanku sesungguhnya. Bisa dibilang, aku tidak mau menjadi seperti Shinta yang tersiksa setelah dia selamat dari tangan Rahwana karena Sang Rama-nya tidak mampu percaya padanya, hingga akhirnya Shinta melakukan sumpah yang membuat mereka berpisah selamanya*.
“Menit itu, aku tidak merasakan sebuah kesedihan, tapi suatu perasaan aneh menyelimuti. Aku merasa senang, tapi mataku berkaca-kaca. Aku tidak merasa patah hati, tapi air mataku mengalir. Sejujurnya, aku senang karena kamu kembali; kamu tidak lagi mengacuhkanku, tidak lagi dingin padaku. Tepat di hari hubungan kasih kita berakhir, di hari itu pula kita bercanda bersama. Meski bukan lagi sebagai pasangan, tapi aku cukup bahagia saat itu. Setidaknya kita masih sedekat dulu dan aku tidak merasa kehilangan.
“Hanya saja, aku mulai sedikit kehilangan ketika masing-masing dari kita mulai memasuki kota yang baru, Semarang dan Yogyakarta. Dan rasa kehilangan itu memuncak di bulan Juni atau Juli 2012. Kamu yang dulunya masih sering menghubungiku dengan sms sekedar menghabiskan waktu luang dan selalu sms ketika kamu sedang ada di Jogja, sudah tidak lagi kamu lakukan. Bahkan aku terkadang merasa ada sikap bosan dalam sms-mu itu.
“Tapi aku mengerti. Yang kamu lakukan adalah hal yang wajar. Aku tidak marah maupun kecewa. Mungkin dengan menjauh, membuatmu lebih mudah melupakan masa lalu. Mungkin kamu sudah menemukan orang yang bisa mengisi hari-harimu. Mungkin kamu telah mendapatkan kesibukan dan kesenanganmu sendiri, terbiasa tanpa aku yang mulai membuatmu bosan, sekalipun sebagai teman. Mungkin… mungkin… dan mungkin…. Aku tidak tahu tepatnya, yang pasti aku menerimanya, aku tidak keberatan apapun penyebabnya.
“Begitulah adanya. Jujur, aku tidak memiliki maksud apapun. Aku tidak berniat mengganggu hidupmu dengan datangnya kebenaran yang tertimbun lama di hatiku. Aku pun tidak ingin kamu membenciku dan bukan berarti aku ingin kembali padamu. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan yang mungkin tidak akan sanggup aku utarakan secara langsung. Bahkan aku tidak tahu apa aku masih sanggup bertemu denganmu setelah ini, karena jalan-Nya tidak ada satu manusia pun yang tahu.
“Hei, terima kasih untuk waktu yang kamu beri. Terima kasih untuk tetap menjaga persilaturahiman kita. Terima kasih untuk mencoba tidak berubah menjadi teman curhat dan teman sharingku dulu. Satu kenyataan : dari dulu sampai sekarang aku selalu menunggu curhatan dan kisah cintamu di sana, apapun itu! :D Tapi sepertinya kamu tidak tertarik untuk menceritakannya.
“Aku harap beberapa hal kecil yang kuutarakan ini, tidak merubah apa yang telah kamu putuskan dan kamu yakini. Meskipun masih ada hal kecil lain, tapi setidaknya ini dapat mewakili bahwa aku selalu menyukaimu, dalam tawa riang kegembiraan. Aku menyukaimu, dalam tangis kerinduan. Aku tetap menyukaimu, dalam kenyataan aku yang terlupakan,..dari hatimu.” :)

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management