Surat
‘Kecil’ Untukmu
“Jika
tulisan-tulisan ini sampai padamu, artinya ini sudah beberapa tahun yang telah berlalu
semenjak aku sadar aku menyukaimu, 2010 silam; dan itu berarti juga aku belum
mampu melupakanmu.
“Perempuan
yang setidaknya pernah menjadi kekasih ini merasa bingung. Kenapa terasa sulit
untuk tidak mengingatmu? Kenapa terasa berat untuk menghilangkan 100% perasaan sayang
ketika kita menjadi sepasang kekasih? Apa usahaku kurang maximal? Atau aku yang memang tidak dapat membuka hati? Begitu banyak
laki-laki yang dengan logika dapat dikatakan lebih baik darimu, lebih mapan
darimu. Tapi itu hanyalah logika yang bicara, bukan hati. Satu kepergianmu,
beberapa kedatangan mereka. Namun, tetap kamu yang tinggal. Aku harus berbuat
apa?
“Aku
kehabisan akal, menyerah. Aku tidak lagi memaksakan diri untuk mencintai orang
lain. Aku berhenti membutakan hati dan membohongi diri. Apa pun yang akan
kulakukan ke depan tanpamu, aku merasa, akan percuma jika aku hanya mendiamkan
rasa ini. Aku mungkin akan lebih lega jika kuungkapkan semuanya.
“Apa
kamu ingat pagi di mana kamu meminta kita berpisah 9 Juni dulu? *pasti tidak. Tepat
sehari sebelumnya, hari di mana aku ingin kamu tidak menghubungiku, aku
menikmati ‘renunganku’. Setelah cukup lama memikirkan bagaimana sebenarnya
perasaanku padamu semenjak keraguan itu muncul menjadi masalah, hari itulah di
mana aku kembali mendapatkan keyakinan bahwa apa pun yang kamu lakukan, aku
tetap menyukaimu. Apa pun yang mereka katakan, aku mempercayaimu dan akan mempertahankanmu.
Aku sadar bahwa aku justru semakin menyukaimu. Perasaan itu tumbuh lebih besar
dari saat pertama kita satu kelas di SMP, lebih besar dari saat aku bertemu
denganmu di reuni setelah satu tahun tanpa kabar, dan lebih besar ketika hari
pertama kita menjadi sepasang kekasih. Masalah yang membuat kita renggang, ternyata
semakin menumbuhkan perasaan rindu.
“Di
pagi yang sama aku berniat mengatakannya, tapi kalimatmu membuatku terdiam,
berpikir ulang. Aku tahu, hubungan tidak akan berhasil tanpa adanya
kepercayaan. Ketika aku bertanya bagaimana jika aku menolak untuk berpisah,
kamu seperti orang yang bingung. Kubayangkan, akan pedih untukku jika melihatmu
yang terpaksa bersamaku dengan wajah murung dan sedih karena ingin bebas dariku.
Setelah kamu memberitahuku bahwa sikap dinginmu adalah ujian untukku, aku pun
tahu bahwa dengan kamu melakukan tes itu, sama saja dengan kamu yang sudah
mulai ragu. Maka kuputuskan untuk tidak mengatakan perasaanku sesungguhnya. Bisa
dibilang, aku tidak mau menjadi seperti Shinta yang tersiksa setelah dia
selamat dari tangan Rahwana karena Sang Rama-nya tidak mampu percaya padanya,
hingga akhirnya Shinta melakukan sumpah yang membuat mereka berpisah selamanya*.
“Menit
itu, aku tidak merasakan sebuah kesedihan, tapi suatu perasaan aneh menyelimuti.
Aku merasa senang, tapi mataku berkaca-kaca. Aku tidak merasa patah hati, tapi
air mataku mengalir. Sejujurnya, aku senang karena kamu kembali; kamu tidak
lagi mengacuhkanku, tidak lagi dingin padaku. Tepat di hari hubungan kasih kita
berakhir, di hari itu pula kita bercanda bersama. Meski bukan lagi sebagai
pasangan, tapi aku cukup bahagia saat itu. Setidaknya kita masih sedekat dulu
dan aku tidak merasa kehilangan.
“Hanya
saja, aku mulai sedikit kehilangan ketika masing-masing dari kita mulai memasuki
kota yang baru, Semarang dan Yogyakarta. Dan rasa kehilangan itu memuncak di
bulan Juni atau Juli 2012. Kamu yang dulunya masih sering menghubungiku dengan
sms sekedar menghabiskan waktu luang dan selalu sms ketika kamu sedang ada di
Jogja, sudah tidak lagi kamu lakukan. Bahkan aku terkadang merasa ada sikap
bosan dalam sms-mu itu.
“Tapi
aku mengerti. Yang kamu lakukan adalah hal yang wajar. Aku tidak marah maupun
kecewa. Mungkin dengan menjauh, membuatmu lebih mudah melupakan masa lalu.
Mungkin kamu sudah menemukan orang yang bisa mengisi hari-harimu. Mungkin kamu
telah mendapatkan kesibukan dan kesenanganmu sendiri, terbiasa tanpa aku yang
mulai membuatmu bosan, sekalipun sebagai teman. Mungkin… mungkin… dan mungkin….
Aku tidak tahu tepatnya, yang pasti aku menerimanya, aku tidak keberatan apapun
penyebabnya.
“Begitulah
adanya. Jujur, aku tidak memiliki maksud apapun. Aku tidak berniat mengganggu
hidupmu dengan datangnya kebenaran yang tertimbun lama di hatiku. Aku pun tidak
ingin kamu membenciku dan bukan berarti aku ingin kembali padamu. Aku hanya
ingin mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan yang mungkin tidak akan sanggup
aku utarakan secara langsung. Bahkan aku tidak tahu apa aku masih sanggup
bertemu denganmu setelah ini, karena jalan-Nya tidak ada satu manusia pun yang
tahu.
“Hei,
terima kasih untuk waktu yang kamu beri. Terima kasih untuk tetap menjaga
persilaturahiman kita. Terima kasih untuk mencoba tidak berubah menjadi teman
curhat dan teman sharingku dulu. Satu kenyataan : dari dulu sampai
sekarang aku selalu menunggu curhatan dan kisah cintamu di sana, apapun itu! :D
Tapi sepertinya kamu tidak tertarik untuk menceritakannya.
“Aku
harap beberapa hal kecil yang kuutarakan ini, tidak merubah apa yang telah kamu
putuskan dan kamu yakini. Meskipun masih ada hal kecil lain, tapi setidaknya
ini dapat mewakili bahwa aku selalu menyukaimu, dalam tawa riang kegembiraan.
Aku menyukaimu, dalam tangis kerinduan. Aku tetap menyukaimu, dalam kenyataan
aku yang terlupakan,..dari hatimu.” :)