Bosan. Jenuh. Aku terlalu termanja oleh kemudahan. Aku
menyesal. Tapi aku tidak bisa menyalahkan mereka, orang yang telah merawatku
sedari kecil. Aku tidak bisa menyalahkan perlakuan mereka padaku dan
pertengkaran rutin mereka. Mengingatnya membuat mataku selalu berair, hatiku
pun terbanjiri rasa benci. Kenapa harus aku? Kenapa harus seperti itu? Kenapa
aku yang mengalaminya?
Tumbuh dengan melihat bagaimana mereka bersikap dan
bertengkar satu sama lain, membuatku muak saja. Aku masih terlalu kecil, dan
hanya bisa menangis. Lama-lama, kebiasaan mereka aku tiru, tanpa sadar. Aku
dimanja mereka, bukan hanya materi tapi juga kasih sayang. Tapi aku pun
dicemburui, dan dibenci seseorang, sampai hampir mati rasanya. Hampir mati
melihat kebenciannya, melihat tatapannya, mendengar nada suaranya. Pada
akhirnya aku selalu bertengkar dengannya, saudaraku sendiri. Sampai dia menjadi
kebanggaan keluargaku, aku tidak pernah bertengkar dengannya, sekaligus jarang
berbicara dengannya. Aku sungguh tidak ada apa-apanya. Aku hanya dapat
menatapnya, atau mendengar derap langkahnya.
Di satu sisi, dia kukagumi karena prestasinya dan
kecerdasannya. Tapi di sisi lain, aku takut, sangat takut, ketika berhadapan
dengannya. Aku merasa tertekan. Aku takut jika aku tidak bisa membuatnya bangga.
Aku takut aku diremehkan jika aku tidak sesukses dia. Aku takut menjalani
kehidupan dewasaku nanti.
Begitu iri aku melihat keluarga bahagia yang harmonis.
Apa lagi melihat saudara yang saling bercerita dan bercanda tawa layaknya
sahabat. Kenapa aku tidak bisa? Terlalu jauh jarak, dan terlalu tebal dinding
pemisah antara kita, jarak dan dinding yang tumbuh mungkin sejak aku lahir.
Andai aku tidak dilahirkan, mungkin cemburu dan benci itu
tidak akan muncul. Andai aku tidak dilahirkan, mungkin dia tidak begitu
menderita mengalami ketidakadilan yang dilakukan mereka. Aku sudah belasan saat
tahu dari mana kebencian itu berasal. Aku paham, dan aku tidak lagi punya
kebencian padanya. Tetapi justru kebencian itu berubah menjadi ketakutan juga
belas kasih, meski aku tahu dia tidak mungkin dan tidak akan membutuhkan belas
kasihan dariku.
Sekarang, rasa benci itu bukan lagi tertuju padanya, tapi
pada nasibku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri, entah kenapa. Aku benci
karena aku tumbuh seperti ini. Aku benci aku tidak berani melakukan apa pun
agar aku menjadi seperti keluarga-keluarga lain yang selalu saling mengasihi
satu sama lain. Aku benci tidak dapat menghancurkan bongkahan batu yang
memisahkan kita. Aku benci kita terlahir seperti ini.
Adakah yang dapat merubahnya?