Potongan Kisah
Pernikahan
Dia
datang. Berjalan pelan nan anggun dari balik tirai. Pita putih cantik merantai
rambut panjang bergelombangnya yang ia sampirkan di sisi kiri. Mata bulat
dengan bulu mata lentik yang menjadikan keelokan pada paras wajahnya. Aku yakin
ada sedikit kecemburuan pada mempelai wanita karena separuh perhatian
orang-orang tercuri oleh gadis itu. Bahkan mempelai lelaki pun tidak dapat
membohongi kekaguman hati untuk si gadis.
Dia
datang. Berjalan pelan nan anggun melewati barisan tempat duduk para tamu
undangan, tersenyum. Sunggingan senyumnya tak tertahankan, begitu mempesona. Ingin
sekali kusentuh dan kurasakan bibir kecil yang manis itu. Tapi tidak.
Melihatnya membuat mataku lupa untuk berkedip, dan membuat jantungku lupa
bagaimana berdegup normal. Tetapi akalku sadar dan terus meraungkan kata
“TIDAK”.
“Sayang,
pernikahan kita besok apa dibantu mahasiswa KKN juga seperti ini?” tanya Renita, calon
istriku. Tentu saja harus. Tapi itu hanya keegoisanku agar aku dapat bertemu gadis
itu. Aku pun hanya menjawab, “Iya, kita akan minta tolong mereka, tapi kalau
jadwal mereka nggak berbenturan dengan kita.” Dalam diam, ada satu pertanyaan
yang mengusik hati dan pikiranku, “Akankah pernikahanku dengan Renita terjadi?”
Malam
itu, aku benar-benar tidak dapat tidur. Hatiku gusar, pikiranku kacau. Semua
persiapan pernikahan telah siap. Undangan telah menyebar. Apa yang akan terjadi
jika aku lebih memilih gadis itu daripada Renita? Tidak, tidak, tidak. Aku
menggelengkan kepalaku dan membubarkan sederet kalimat itu. Aku pun keluar
rumah, mencoba menenangkan diri. Tanpa kusangka, si gadis pun keluar dari posko
KKNnya.
“Lho,
Mbak Misha mau ke mana malam-malam gini?” tanyaku penasaran.
“Mau
beli cemilan, Paduk, buat nemenin bikin laporan,” balasnya sambil tersenyum.
“Lha,
kok nggak sama Mas Iwan, atau Mas Fauzi? Nggak baik lho perempuan keluar
malam-malam sendirian.”
“Mereka
lagi istirahat, Paduk, kecapekan seharian nyinom
tadi.”
“Ya
udah, kita bareng aja beli cemilannya. Sekalian aku juga mau beli rokok.” Misha
terlihat ragu-ragu dan ingin menolak ajakanku. Tetapi melihat suasana jalanan
yang sepi dan agak gelap, mungkin dia berpikir ulang. “Iya boleh deh, Paduk.
Lagian Paduk kan kepala dukuh di sini, jadi lebih aman soalnya orang-orang
segan sama Pak Dukuh,” katanya.
Kita
menyusuri jalan setapak dalam keheningan. Hanya deru angin yang berbisik lewat
dedaunan yang bergesek, teriringi lolongan anjing yang sesekali terdengar dari
kejauhan, serta sebersit cahaya bulan yang sesekali terlihat dari balik
pepohonan yang seolah menari bersama angin. Batinku berseteru dengan otakku, “Inikah
saatnya aku mengutarakan isi hatiku?” Ketika batinku berseru “YA”, saraf otakku
justru membentuk bibirku untuk bersuara, “Bagaimana proker kalian sejauh ini?”
“Alhamdulillah, lancar, Paduk,” jawabnya singkat namun tetap ramah. Pada
akhirnya, kita hanya membicarakan tentang proker-prokernya.
Sesampainya
di rumah, rupanya Ibu telah menungguku dan melihatku bersama Misha. “Habis dari
mana kamu?” tanya ibuku sesaat setelah aku menutup pintu rumah. “Keluar beli
rokok, Bu.”
“Sama
siswi KKN itu?”
“Misha
namanya.”
“Ya,
siapa lah itu,” katanya agak ketus. “Ibu mau ngomong serius sama kamu.” Aku
menghela nafas dan mengikuti Ibu duduk di ruang tamu dengan malas, tahu bahwa
aku akan berdebat lagi dengan Ibu.
“Ibu
kan pernah bilang, Ibu nggak suka kamu terlalu dekat dengan perempuan itu. Kamu
sadarkan kalau dua hari lagi kamu akan menikah? Gimana nanti kalau muncul
fitnah? Kamu itu nggak tahu atau pura-pura nggak tahu sih kalau sudah banyak gosip
nggak benar yang menyebar?”
“Ya
ampun, Bu, itu kan cuma gosip. Jangan terlalu ditanggapi. Toh, pernikahanku tetap akan berjalan sesuai rencana. Nggak usah
khawatir.”
“Kamu
serius, kan? Kamu nggak ada rencana untuk membatalkan pernikahanmu sendiri,
kan?” tanya ibuku penuh curiga. Aku sempat tidak menyangka mendengarnya.
Bagaimana bisa Ibu tahu apa yang pernah terlintas di otakku itu. “Ibu ini
ngomong apa sih? Ngapain juga aku membatalkan pernikahanku sendiri?”
“Edo,
kamu nggak usah pura-pura sama Ibu. Ibu sadar kok kalau kamu itu mulai tertarik
dengan siswi KKN itu sejak kamu pertama kenal dia, kan? Dan Ibu tahu kamu itu
orangnya sering nekat. Makanya Ibu khawatir terus.”
Aku
tidak bisa menyangkalnya lagi. Aku hanya berusaha membuat Ibu percaya bahwa aku
tidak akan melakukan hal-hal aneh dan nekat. “Ya sudah. Sekarang kamu lebih
baik tinggal di rumah Pakdhe Wahyu sampai hari pernikahan tiba. Ibu nggak mau
kamu ketemu sama Misha!” kata Ibu tegas. Aku yang sudah malas berdebat pun
menuruti maunya.
Cukup
lama aku memandangi kamar Misha dari teras rumahku sebelum akhirnya aku
menyalakan mesin motor dan berlalu pergi. Jalanan sepi di tengah-tengah
hamparan sawah yang luas dan gelap, terasa menggalaukan ketika kulewati dan
kulihat banyak kunang-kunang yang menyebar di sepanjang persawahan. Lagi-lagi,
pikiranku kembali pada Misha yang sangat menyukai kunang-kunang. Misha
benar-benar telah memenuhi pikiranku. Bibirnya, matanya, wajahnya, senyumnya,
tawanya, suaranya, semua terekam jelas di otakku. Aku ingin sekali memilikinya.
Apa perlu aku kabur dari pernikahanku sendiri dan menculiknya untuk kunikahi
alias kawin lari? Ampun!
“Apa
kamu nggak malu kalau pernikahanmu batal cuma karena mahasiswi KKN yang belum
jelas latar belakang keluarganya seperti apa, dan pergaulannya bagaimana?! Kamu
itu orang berpendidikan, jenjang S2, dan sudah jadi Kepala Dukuh. Kamu ini
orang terpandang dan terhormat di sini. Mbok
yo dijaga nama baikmu dan keluargamu ini!” Memikirkan akan batalnya
pernikahan saja Ibu sudah marah-marah seperti itu, apalagi kalau aku kabur dan
kawin lari, bisa geger di mana-mana
nanti. Aku hanya dapat memasrahan diri, memohon yang terbaik untukku pada Sang
Khaliq.
Hari
pernikahan pun tiba dan aku terkejut. Bukan karena Misha, tetapi calon istriku,
Renita. Dia begitu cantik dan terlihat sangat bahagia. Aku merasa begitu lama tidak
melihatnya. Selain karena dia dipingit, Renita juga sebenarnya wanita karir
yang cukup sibuk. Aku merasakan adanya kerinduan akan hari-hari yang kulewati
dengan wanita ini. Hatiku bergemuruh. Melihat matanya, aku pun tersadar bahwa
dialah yang sebenar-benarnya wanita yang kuinginkan tanpa sekalipun ingin
kusakiti. Dialah wanita yang ingin kubahagiakan. Tidak akan tega aku melihat
setetes air matanya jatuh. Tidak ingin. Dan akhirnya kumantapkan hati, kuucapkan
basmalah, dan kalimat sakral nan suci di depan penghulu dan para saksi. Tidak
akan ada Misha atau misha-misha yang lain yang akan mengacaukan hati dan
pikiranku. Aku telah berjanji.
…Epilog…
Saat
resepsi pernikahan, aku melihat Misha dan teman-temannya. Kami semua berfoto
bersama sebagai kenang-kenangan. Misha, gadis itu tetap saja cantik. Aku masih
mengagumi kecantikannya, tetapi hanya itu. Sudah tidak ada lagi keinginan atau
harapan untuk memiliki seutuhnya. Dan sebuah kelegaan terasa di hatiku setelah
aku melihat sebuah cincin emas melingkar di jari manis Misha. Ya Tuhan,
ternyata dia telah menikah. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya? Aku
sungguh bodoh saat itu. Terlalu dibutakan oleh kecantikan dan nafsu. Untunglah
aku tidak segera mengikuti hawa nafsuku dan terjerumus karenanya. Kini, aku
sangat bersyukur, mendapatkan senyum bahagia Renita, juga senyuman semua orang.
Putri Sintha