Friday, March 29, 2013

Jantung Hati 3

JANTUNG HATI

26 Februari
Aku sempat tertegun melihat Dimas mengobrol dengan seorang perempuan ketika aku keluar dari ruangan Dokter Yulian. Perempuan yang lebih muda dariku itu memang cantik, tapi badannya kurus dan mukanya agak pucat. Dia terlihat lemah. Ketika aku mendekat, Dimas mengenalkanku padanya. Dialah Aya, perempuan yang beberapa minggu ini membuat Dimas ribut membicarakannya.

"Jadi, bagaimana bisa dia akhirnya mau berkenalan denganmu?" tanyaku saat keluar dari rumah sakit dan mulailah dia bercerita dengan bahagianya sambil berjalan ke parkiran motor.

"Seperti biasa, aku pasang muka tembok dulu. Aku sama sekali nggak berharap dia mau ngobrol, yang penting aku bisa ketemu. Tapi nggak disangka, meskipun awalnya dia cuma angguk-geleng, akhirnya dia mau ngobrol. Herannya, kok dia kayaknya lebih tertarik dengan kamu ya. Tanya-tanya tentang kamu mulu. Padahal kamu kan nggak ada menarik-menariknyaナ" 

"Heh, penting ya dimention? Lanjut!" kataku galak. Dia hanya tersenyum jahil, lalu kembali meneruskan.

"Awalnya dia tanya siapa kamu karena katanya dia beberapa kali melihat kamu di rumah sakit. Dia juga tanya kamu sakit apa, berapa lama kamu mengidapnya, gimana dengan orang tua atau keluargamu, dan lain-lain. Pokoknya, dia jadi kayak wartawan deh." Oke, aku mencoba untuk tidak curiga. Tapi entah bagaimana, aku tetap merasa ada yang aneh dan disembunyikan dari perempuan itu.

"Oya, sebelum aku ngenalin dia ke kamu, sebenarnya aku belum tahu namanya loh."

"Hah? Payah ah. Berarti kamu wajib mentraktirku sebagai tanda terimakasih nih," responku dengan bercanda. 

"Hahaha... Kamu tuh doyan makan tapi kok badan segitu-gitu aja," balasnya entah mengejek atau memuji badanku yang hanya 155 cm dan 45 kg. Karena pada dasarnya sore itu kita sama-sama lapar, kita pun mencari tempat makan terdekat dan makan di tempat. Sayangnya, bayar sendiri-sendiri.
++===++
1 Maret

Aku duduk di sofa sambil menonton FTV siang. Telepon di samping sofa berdering, dan aku pun mengangkatnya. 

"Risyaaaaaa!!!" teriak seseorang di seberang telepon sana yang membuatku terkejut. Dari suaranya aku tahu orang yang meneleponku adalah Dimas.

"Heh, santai lho. Lupa ya aku punya penyakit apa?" sindirku dalam telepon.

"Ups, maaf. Kamu baik-baik aja kan?"

"Nggak, sampai kamu langsung cerita ada apa."

"Hehe, jangan ngambek dong. Eh, tahu nggak? Aku akhirnya bisa ngajak dia jalan lho!"

Lupa dengan kekesalanku barusan, aku langsung merespon, "Serius? kok perkembangannya cepat? Aku kira bakal lebih lama dari biasanya, ups."

"Wah, ngledek nih, sial. Tapi ada syaratnya sih." Aku hanya menunggu kalimat berikutnya. 

"Emm, kamu mau kan?"

"Mau maksudnya?"

"Jawab dulu mau atau nggak?"

"Nggak deh kalau gitu."

"Yaaaah, mau aja laahh.." katanya memohon.

"Lha, mau apa dulu?"

"Mau nemenin aku jalan sama Aya."

"Oohh, gituuu.. Ya berarti jawabannya... Nggak! Gila aja, mana mau aku nanti jadi nyamuk dalam tanda kutip!"

"Duh, soalnya dia maunya kalau ada kamu."

"Ya kenapa juga harus aku? Yang kencan kan kalian."

"Please, kapan lagi coba aku bisa ngajak dia. Sekali ini aja, ya ya ya? Ayolah, bantu sahabat tersayangmu ini." Aku diam sejenak, berpikir, lalu menghela nafas.

"Kapan?"

"Lusa, jam empat sore, di alun-alun. Gimana?"

"Emm, oke deh. Tapi aku nggak mau lama-lama ya!" Kalimatku yang terakhir sepertinya tidak dia dengar. Dia terlalu senang ketika kata 'oke deh' keluar dari mulutku dan berterimakasih dengan girangnya, mirip seperti anak kecil yang senang karena mendapat banyak permen. Sebelum dia menutup teleponnya, entah dia mengerti isi pikiranku atau dia hanya menebak, dia berkata, "Jangan coba-coba kabur di hari H yah?! Hehehe..."

"Ampun deh, ini orang, main tutup segala. Mbok ya salam dulu kek," gumamku sendiri sambil meletakkan gagang telepon di tempatnya. Aku membiarkan kepala dan badanku menyandar di punggung sofa. Pikiranku kosong dan aku merasa lelah.

0 comment:

Post a Comment

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management