Thursday, March 01, 2018

Maze Traveler (Penjelajah Labirin) - Labirin Pohon II

Bagian 3
Labirin Pohon (II)



Perlahan kubuka pagar kecil labirin pohon itu. Memasuki labirin pohon, aku hanya mengikuti Kris. ‘Kris’, nama panggilan yang tiba-tiba saja terucap secara spontan dari mulutku. Tetapi semakin aku mengikutinya, semakin aku merasa sesak. Sesuatu yang menyakitkan yang entah darimana mulai menghampiriku. Hanya dengan melihatnya, aku merasa sakit. Aku harus segera meninggalkannya, dan itu kulakukan. Aku berpisah darinya di dalam labirin itu. Tetapi tetap saja sesuatu mengganjal perasaanku. “Benarkah aku meninggalkannya? Bukan sebaliknya?”

Berpisah darinya, tidak benar-benar menghapus rasa sesakku. Parahnya, aku lebih sering menemukan jalan buntu, dan entah bagaimana aku kembali di tempat aku pertama kali memulai. Kuputuskan mengambil jalan yang berbeda. Kali ini aku mengambil jalan ke kanan dari pagar labirin.

Jalanan labirin yang kulewati terlihat rapuh dan mudah longsor. Sangat rapuh hingga aku hampir jatuh terperosok. Saat itulah aku bertemu Marv, yang menahanku dan memegang tanganku erat agar tak terjatuh. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku hanya mengangguk, tanpa berkedip. Aku tak terpesona padanya, hanya saja aku merasa aman dengan kedatangannya. Aku merasa bisa mempercayainya kali ini. “Di lorong ini, kau harus ekstra hati-hati, atau kau akan terjerumus ke dalam kegelapan di bawah sana,” katanya menasehatiku sembari melirik ke dasar lubang. Mengikuti arah bola matanya, aku melihat kepekatan tanpa dasar di dalam lubang itu. Aku tak dapat membayangkan jika aku benar-benar jatuh ke sana. “Ayo kutemani kau melewati lorong ini,” katanya lagi sambil menarik tanganku. “Terimakasih,” kataku lirih, dan dia membalasnya dengan senyuman. Aku tak mengerti, yang ia genggam apakah tanganku, atau hatiku?

Tanah yang kita lalui sudah berganti menjadi bebatuan kecil. Aku kembali curiga, apakah sebentar lagi aku akan berpisah dengan Marv? Bersamanya, aku tak banyak bicara dan tak banyak bertanya, sama seperti biasanya. Rasa takut dan khawatir memang ada, tetapi aku tak pernah membiarkan emosi itu terlihat. Aku terbiasa menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, terbiasa menyimpan semuanya sendiri, terbiasa berpura-pura.

“Tunggu, sepertinya aku mendengar sesuatu,” ucapku tiba-tiba seraya mencari tahu suara apa dan berasal dari arah mana. Marv pun berhenti dan ikut mengamati sekeliling. Pantulan bola? Mungkinkah ada seseorang yang sedang bermain bola di dalam labirin? Aku dan Marv saling tatap, dan sepakat untuk mendekat ke arah suara, memastikan sesuatu. Ya, benar. Ada seseorang sedang memainkan bola basket. Dia menatapku lurus, lalu melemparkan bola cepat kepadaku. Spontan aku menangkapnya tepat di depan wajahku. Kekuatan lemparannya tidak tanggung-tanggung, membuat kaki kananku mundur selangkah untuk menahannya, dan tentu saja tanganku terasa sakit.

Ada apa dengan laki-laki itu? Dia terus saja menatapku dengan dingin dan tajam, lalu beranjak pergi begitu saja. Terheran-heran, aku bersiap untuk menyusulnya, tapi tiba-tiba Marv meminta bola itu dan memantulkannya ke bawah berkali-kali. “Ayo main!” ajaknya, membuatku spontan kebingungan, “Hah??”

Dia mulai berlari kecil sambil mendribel bola itu, lalu melemparkan kembali padaku. “Tidak, sebaiknya kita menyusul pemilik bola ini,” kataku ketika kutangkap bola lemparannya. Agaknya dia sedikit kecewa dengan kemauanku, tapi aku biarkan.

Kita mencoba mencari si pemilik bola. Sesekali aku melihat sosoknya berbelok atau melewati jalan-jalan labirin di sekitarku. Namun, ketika kucoba menyusulnya, dia menghilang. Sampai akhirnya aku berhasil menemukannya, berdiri menghadap ke jalan buntu dan membelakangiku.
“Hei, aku kembalikan…” kataku berbicara padanya. Mendekatlah. Tiba-tiba ada suara perempuan asing yang berbisik yang membuatku berhenti melanjutkan kata-kataku. Aku celingukan, tetapi tak ada siapapun kecuali aku dan Hak, sebutan untuk sosok di hadapanku ini. Kemudian Hak perlahan membalikkan badannya. Sorotan tajamnya seolah akan menghancurkanku, dan sorotan dinginnya mampu membuatku membeku, ketakutan. Beberapa saat kemudian, Marv datang. “Di sini kau rupanya,” katanya. Aku spontan menoleh pada Marv, dan Hak lenyap begitu saja ketika kukembalikan pandanganku ke arahnya. Lalu tanpa basa-basi Marv menarik tanganku, mengajakku segera pergi dari tempatku berdiri. Keberadaan Hak dan bola yang sedaritadi kupegang menghilang tepat di depan mata. Tetapi mengapa Marv sama sekali tak menanyakannya?
 ~~~

0 comment:

Post a Comment

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management