Rasa Suka Relung yang
Sedang di Uji
(Sintha’s Story)
Aku nggak menyangka
aku secengeng ini. Yah, terlalu banyak beban tugas dan pikiran, serta kejadian-kejadian
yang membuat emosiku memuncak pada kesedihan. Dan satu-satunya yang ingin aku
lakukan adalah berangkat Relung (teater), dan aku bisa teriak di sana (dengan
olah vokal) atau sekedar menjadi orang lain di sana (sesuai peran yang
diberikan sutradara). Tapi bagaimana aku bisa melakukannya, sedangkan salah
satu masalahku itu pun berhubungan dengan Relung.
Well, tugas yang
banyak dan berturut-turut membuat waktuku tersita, ditambah lagi setiap jam
tujuh malam aku harus jalan ke FIP untuk latihan teater. Sejujurnya, aku nggak
ingin latihan serajin ini awalnya. Tapi semenjak dikasih ceramah dari Mas
Almost Perfect atau bisa dibilang tetua Relung (karena dia sudah semester X),
aku sadar kalau niatku itu nggak benar. Yang aku ingat jelas adalah ketika ada
suatu tawaran bermain, kita harus mempertimbangkan segalanya. Entah itu tempat
latihan yang jauh, adanya jam malam, dilarang orang tua, atau nggak ada
kendaraan. Semua harus dipikirkan dengan matang untuk menerima atau nggak
tawaran main itu. Ketika keputusan kita adalah ‘ya’, maka kita harus menanggung
semua resikonya. Bahkan sebelum kita meng’iya’kan, kita harus tahu dulu
bagaimana untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat menghambat kegiatan kita
itu.
Itulah
hal yang nggak aku lakukan ketika aku menerima tawaran untuk casting (dan
akhirnya terpilih). Memang aku awalnya menolak, tetapi aku kurang tegas menolak
dan malah mengikuti casting. Dari apa yang udah disampaikan dia, aku merubah
niatku. Aku akan berangkat terus dari Minggu sampai Kamis jam 7 sampai jam 9
malam. Lalu hari Jumat dan Sabtu sampai latihan selesai, biasanya jam 11 malam.
Dan di dua hari tersebut aku akan menginap di kosan temanku. *semacam
terdoktrin ya
Yap,
sampai sebelum kemarin malam semua baik-baik saja. Tapi akhirnya aku merasa
tersindir juga oleh salah seorang penghuni kos. Well, aku mulai merasa nggak
enak. Setelah aku masuk kamar malam itu, kebetulan ada temanku yang baru pulang
mengajar. Dan dia diingatkan, atau semacam itulah, oleh ibu kos. Hampir setiap
hari dia memang pulang di atas jam 9 malam karena kerjanya itu. Aku kurang
terlalu dengar percakapan mereka di dekat kamarku itu, tapi intinya besar
kemungkinan dia bisa dapat teguran entah dari masyarakat sekitar atau semua
penghuni kos.
Hatiku semakin
menciut. Aku makin bingung harus bagaimana. Rasanya hal yang percuma juga
seandainya Relungers dan ‘sesepuh’nya turun tangan. Temanku yang jelas-jelas
kerja mengajar saja tetap diperingatkan, bagaimana aku yang hanya sekedar bermain
teater (seenggaknya di mata orang lain). Benar-benar sedih rasanya.
Aku semakin suka
dengan Relung, tapi sepertinya peraturan jam malam akan jadi penghambat
perasaan itu. Mas Almost Perfect dan banyak juga sih teman-teman yang bilang
Relung sekarang kurang ada rasa cinta atau rasa memiliki Relung sehingga membuat
Relung makin turun prestasinya. Aku nggak mau Relung makin turun dan
mengecewakan. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku sendiri kesusahan untuk
latihan.
Adanya jam malam
yang begitu awal juga membuat aku semakin impossible
mendapat peran yang lebih dari pada sebelum-sebelumnya. Bahkan di peranku
sekarang, dialogku sedikit sekali dan hanya ada di satu act saja. Bukan karena skill yang aku punya. Memang skillku belum
bagus, tapi aku yakin dengan adanya latihan, pasti skill bukan lagi masalah.
Hanya saja yang paling berpengaruh adalah jam malam.
Begitu repot
seandainya latihan diadakan dua kali dalam sehari untuk player yang nggak bisa latihan malam, seperti aku. Sedihnya aku
ketika jam 9 kurang harus balik ke kos. Nggak enaknya aku karena satu pemain
yang latihan harus mengantarku pulang. Dan makin sedihlah aku ketika aku
terlambat pulang, mendapati pintu kos yang sudah dikunci dan harus memencet
bel. Mengganggu mereka yang mungkin sudah istirahat.
Bagi orang lain
mungkin ini cuma masalah jam malam. Masalah sepele. Tapi nggak untukku. Aku
nyaman di kos ini, aku nggak mau sampai nggak disukai di sini. Aku takut. Di
sisi lain, aku mulai suka lari-lari 2 atau 3 putaran bareng teman-teman Relung.
Aku suka olah vokal, olah karakter bareng mereka. Aku mulai suka permainan freeze untuk melatih bloking di
panggung. Aku mulai suka curhatan bareng dengan mereka. Aku suka melihat
tingkah mereka yang kocak ketika beract.
Aku kagum melihat beberapa di antara mereka yang begitu mudah menarik perhatian
dan beracting dengan baik.
Perasaan ini ibarat
kita mulai menyukai orang tetapi kita dilarang untuk menyukainya dan yang
melarang kita adalah orang tua kita sendiri sehingga sangat berat untuk
membantah larangan itu. Apa ini semacam ujian? Well, kalau iya, mungkin tahun
ini aku akan gagal. Mungkin play sekarang adalah play terakhir untuk satu tahun
ini, selama aku masih di tempat ini. Tahun depan pun kemungkinan besar masih di
tempat yang sama yang berarti tetap nggak bisa ikut. Jadi? Aku cuma bisa
berharap ada keajaiban. Hah, tapi mana ada keajaiban dalam hal seperti ini.
Sekarang aku hopeless deh. Aku masih
bagian dari Relung. Tapi dengan terpaksa aku nggak bisa membantu banyak. Dengan
sedih, aku nggak bisa banyak mengambil peran di setiap event; Edsa Night,
Makrab, Ospek, atau Laboratory. Dengan menyesal, aku cuma jadi penggembira di sebagian besar event-event itu.
0 comment:
Post a Comment