A Trip to the Past (
T )
Beberapa bulan
setelah kejadian itu, aku jarang bertemu dengan Mas R karena dia sudah sibuk
dengan Ujian Nasional. Sedangkan aku? Seperti menganggap angin lalu kejadian
itu, aku justru malah fokus dengan T. Bukan fokus, lebih tepatnya makin
tertarik dengan T.
Aku
mengenalnya pertama kali di tahun 2006 ketika ujian semester berlangsung. Saat
itu dia masih kelas tujuh dan aku kelas delapan. Tiap ujian semester, ada suatu
sistem di mana kelas tujuh atau kelas satu SMP absen awal hingga tengah akan
dicampur dengan kakak kelas, baik kelas dua (kelas delapan) atau pun kelas tiga
(kelas sembilan). Jadi, dalam satu
kelas, ada dua angkatan, angkatan adik kelas dan kakak kelas. Tidak hanya itu,
bahkan sistem duduknya pun diatur dengan zig-zag terkadang. Sistem yang cukup
memusingkan, tapi justru berkat hal ini lah aku dapat bertemu dengan T.
Selama aku
mengenalnya dan mengingatnya hingga sekarang, aku jarang sekali berbicara
dengannya. Aku masih ingat betul, setiap pagi aku stand by di depan kelas, melihat ke parkiran sepeda di bawah, hanya
untuk melihatnya. Setelah dia hilang dari pandangan dan pergi ke kelasnya di
lantai tiga, aku pun kembali ke kelas. Dia sama sekali tidak sadar bahwa aku
selalu memperhatikan dia. Bahkan karena seringnya aku memperhatikan dia, aku
pun tahu di menit-menit berapa dia tiba di sekolah dengan sepedanya. Dan demi
untuk sampai di sekolah bersamaan atau setidaknya bertemu di jalan ketika aku
di antar ayahku berangkat sekolah, aku memperkirakan kapan dia keluar dari gang
rumahnya. Senangnya aku, perkiraanku benar sehingga kita sering bertemu di
jalan atau sampai bersamaan di sekolah dan kita pun saling senyum atau menyapa.
Hanya itu.
Heran kenapa
aku bisa tahu rumahnya, padahal berbicara saja belum pernah? Aku sebenarnya
tidak tahu letak rumahnya di mana, tapi aku tahu gang mana di desa mana dia
tinggal. Suatu kali, dia pernah naik jalur angkutan umum yang sama denganku
yaitu G1. Terkejutnya aku setelah tahu bahwa dia turun di gang Riswan di desa
sebelah. Semenjak itu, aku selalu menunggunya sepulang sekolah jika dia tidak
memakai sepedanya, tentu saja aku tidak terang-terangan menyatakan bahwa aku
menunggunya.
Kelas Sembilan
semester awal, aku mengetahui bahwa dia telah menjual sepedanya sehingga dia
selalu naik G1. Aku pun mulai sering berangkat dan pulang sekolah naik angkutan
umum karena motor ayahku mulai dipakai kakakku ke sekolahnya. Kita menjadi
lebih sering bertemu, tapi tidak ada perubahan yang signifikan. Hanya ada sapaan
senyum di antara kita.
Meski hanya itu
yang terjadi, aku bahagia. Tapi jika bisa aku memutar kembali waktu, aku ingin
pergi ke masa-masa ujian semester ganjil akhir tahun 2007. Untuk kedua kalinya
kelasku dan kelasnya dicampur. Sayangnya, aku tetap tidak bisa satu ruangan
dengannya karena kita sama-sama siswa yang harus pindah ruangan. Dia pindah ke
ruang kelaskku dan aku pindah ke ruang kelasnya.
SALAH SATU hal
atau kejadian yang masih teringat jelas adalah ketika aku selesai ujian, aku
pergi ke ruang kelasku. Aku hanya berniat untuk menemui temanku karena biasanya
aku pulang dengannya. Berbeda dengan ruang-ruang kelas 7 dan 8 di lantai tiga
dan lantai dua, untuk deretan ruang kelas 9 di lantai dasar dua sisi dinding
berbentuk kaca atau jendela sehingga orang di luar kelas dapat melihat ke dalam
kelas dan juga sebaliknya. Aku berdiri di depan kaca jendela tengah, melihat ke
dalam kelas yang sudah cukup berisik karena banyak murid yang mulai
mengumpulkan ujian mereka.
Teman-temanku
pun satu persatu mulai keluar kelas dan seperti biasa, mereka mendiskusikan
ujian yang baru saja mereka lalui. Tanpa sadar aku mendekat ke arah jendela dan
melihat T yang masih serius. Dia, yang masih membaca soal yang diangkatnya
tepat satu jengkal dari mukanya, pun menoleh ke kiri dan melihatku di luar
kelas. Spontan, tanpa berpikir, aku bertanya, “Udah selesai?”. “Bentar, Mba.
Sebentar lagi,” balasnya. Aku pun hanya tersenyum dan dengan pura-pura kembali
bergabung dengan teman-temanku.
Terdengar
biasa, tapi bagiku saat itu tentu saja keajaiban. Sejak aku pertama mengenal
dia, aku tidak pernah berbicara padanya layaknya seorang teman. Setiap kita
bertemu, hanya ada senyuman. Karena itulah aku sendiri terkejut dengan apa yang
aku lakukan. Lebih terkejut lagi ketika dia merespon.
Aku sama
sekali tidak peduli dengan ujian yang baru kita lalui, sehingga aku pun tidak
terlalu mengikuti pembicaraan teman-temanku. Aku selalu menoleh ke pintu kelas,
melihat apakah dia sudah keluar kelas atau belum.
Ketika dia
keluar kelas, aku melihatnya. Dia terus berjalan ke arah gerbang, dan aku masih
melihatnya. Kita pun berpandangan, tanpa suatu kata atau senyum. SAAT ITU,
dalam diam itu, SEHARUSNYA aku menghiraukan temanku dan menyusulnya ketika dia terus berjalan dan berlalu. Mungkin aku
akan beralasan ada urusan mendadak atau apa pun agar aku tidak tertahan dengan
teman-temanku itu. Ini adalah hal bodoh yang tidak pernah kulakukan dan aku
sangat menyesal. Kesempatan yang datang satu kali, kesempatan di mana dia tidak
dengan teman-temannya, dan kesempatan yang mungkin dapat membuatku lebih dekat
denganya tidak hanya sebagai kenalan dan hubungan adik-kakak kelas, hilang
dalam sekejap.
Setelah itu, aku
tidak pernah mendapatkan kesempatan emas lagi. Aku tersibukkan oleh ujian
nasional dan kita pun tidak bisa ‘pulang bersama’ karena aku selalu ada
tambahan pelajaran sampai sore demi mempersiapkan ujian nasional. Sekalipun ada
kesempatan bertemu, dia selalu dengan teman-temannya dan aku hanya menjadi
sosok perempuan yang mengaguminya dari kejauhan. Setelah aku lulus, dan satu
tahun setelah kelulusanku pun, dapat terhitung berapa kali aku mendapat
kesempatan untuk mengobrol dengan T. Dan setelah dia memasuki masa SMA, aku
tidak pernah bertemu dengannya lagi, bahkan dia sudah melupakanku.
Meskipun
berakhir seperti itu, tapi aku tidak menyesalinya. Aku tidak pernah merasa
disakiti atau tersakiti. Banyak hal yang masih aku ingat tentang dia dan selalu
membuatku tersenyum-senyum sendiri ketika bernostalgia atau ketika aku membaca
buku diary-ku. Terlalu banyak
kekonyolan saat aku menyukainya. Dan aku sadari bahwa I loved him so much, much, much. My lecturer once said that when we
love someone, we have to accept the good side and the bad or the dark side of
him or her. Simpelnya, Ketika
kita mencintai seseorang, kita harus siap untuk menerima sisi terburuknya. So, if we just accept one of the sides, then
we should question our heart whether we really love him/her or not.
That’s what I did back then. Aku melihat perkembangan dia dari dia kelas
satu SMP. Dia yang masih polos, lugu, dan lucu. Berubah menjadi anak yang
sedikit bandel. Dan puncaknya ketika dia menginjak SMA kelas dua atau kelas
sebelas di mana dia suka merokok, ‘main cewek’, dan suka ‘minum’. Meskipun dia
seperti itu dan meskipun saat itu aku sendiri sudah memiliki kekasih, aku masih
saja memikirkannya dan mencari tahu tentangnya lewat sahabatku yang sekolah di
SMA yang sama dengan T. Aku sungguh payah, tidak dapat berbuat apa-apa.
Terlebih lagi karena dia tidak mengingatku lagi. Bahkan sekarang, 2014, ketika
aku sudah memilih Jogja sebagai tempat tinggalku yang kedua tiga tahun lalu,
dia pun ada di sini dua tahun lalu, melanjutkan sekolah di UGM tepatnya. Tidak
ada yang bisa kulakukan. Aku pun masih tidak pernah bertemu dengannya. Tidak
akan ada yang berubah dan tidak akan ada yang terjadi. Semua hanya masa lalu,
masa lalu yang manis untukku.
To
be continued…
0 comment:
Post a Comment