A Trip to the Past (
K )
Sebelum
memasuki masa-masa SMA, tepatnya ketika aku masih kelas Sembilan, aku menjalin
hubungan yang akrab dengan dua anak laki-laki. Sebut saja mereka K dan L. Aku
akui, aku memang tertarik dengan mereka. Namun, aku tidak menyangka mereka akan
menjadi hal yang sangat berarti di masa-masa SMA.
Setelah K
mengakhiri hubungan dengan Q karena terlalu sering dikhianati, aku pun makin
dekat dengan K. Dia memang sering cerita tentang hubungan mereka. Terkadang
jika mereka ada masalah, K meminta pendapatku. Aku tidak pernah membujuknya
untuk mengakhiri hubungannya, tapi entah bagaimana ketika mereka putus, aku
yang disalahkan oleh Q. Seolah-olah aku penyebab mereka putus. Aku tidak tahu
apa yang K dan Q pikir, tapi yang pasti aku hanya ingin yang terbaik untuk K
karena aku menyayanginya saat itu.
Pada akhirnya,
tahun 2009 pertengahan semester ganjil, aku dan K pun menjalin hubungan yang
lebih serius. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, hanya tiga bulan. Penyebabnya?
Simple. Aku tidak bisa membuat K
merasa nyaman lagi senyaman ketika aku berteman dengan dia dan dia bertemu
orang lain saat itu terjadi. Aku tidak menyalahkan dia atau perempuan itu. Hak
mereka untuk mencintai dan memilih seseorang. Justru karena aku tahu aku lah
yang salah karena tidak bisa mempertahankan perasaan K untukku, aku pun
menyerah dan melepasnya. Jangan tanya tentang perasaanku. Tiap orang pasti
sangat sakit dan sedih ketika mereka harus berpisah dengan orang yang sangat
berarti bagi mereka. Dan hatiku makin sedih karena persahabatan yang dulu
sempat terbina, menjadi retak setelah hubungan kita berakhir. Aku pernah
berharap, bahkan berusaha, jauh setelah dia putus dengan perempuan itu, untuk
mengembalikan kedekatan kita layaknya teman dekat, namun gagal. Dia tidak lagi
sama. Tapi setidaknya aku pernah mencobanya.
Hal yang
sangat ingin ku perbaiki adalah sikapku selama menjadi kekasihnya. Tanpa aku
sadari, aku telah berubah menjadi orang yang berbeda ketika aku berhadapan
dengannya. Aku sangat malu untuk bertemu dengannya. Sangat sulit untuk
bercerita banyak padanya secara langsung. Aku sangat bingung dengan apa yang
akan dan ingin kulakukan serta kubicarakan padanya. Padahal, aku menjadi orang
yang apa adanya ketika aku berinteraksi lewat handphone. Ya kita memang sangat dekat dari SMP, tapi kita jarang
berhadapan secara langsung. Itulah kesalahanku yang pertama, terlalu
mengandalkan komunikasi lewat media handphone.
Karena takut
melakukan hal-hal yang konyol di depannya, aku pun menjadi jarang menemuinya.
Terlalu jaim atau ‘jaga image’ adalah kesalahanku yang kedua.
Aku pun terlalu malu untuk memulai. Harusnya, aku tidak perlu malu untuk
menemuinya di kelas sepulang sekolah atau mengajaknya ke kantin bersama. Tidak
peduli aku perempuan dan tidak peduli kelasnya ada jauh di ujung sana, mungkin harusnya
aku melakukannya. Bukannya menunggu dia untuk melakukannya. Tidak peduli
teman-teman sekelasnya akan ramai menggoda kita dan dia merasa malu, yang
penting aku bisa menunjukkan bahwa aku serius menyukainya, aku benar-benar
menganggapnya sebagai kekasihku, dan aku selalu ingin dekat dengannya.
Bodoh. Aku
tidak pernah menunjukkan sisi ceria dan kekanak-kanankanku padanya, sisi
cerewetku, dan sisi cerobohku saat itu. Yang
kuperlihatkan hanya sisi tenang dan dinginku. Yang kutunjukkan hanya sisi
cuekku. Aku tidak pernah dengan jelas menunjukkan bahwa aku sangat menyayangi
dia. Mungkin selama itu dia berpikir bahwa aku hanya main-main karena aku tidak
memberinya perhatian secara langsung. Tapi itupun karena aku masih tidak tahu
bagaimana cara untuk menunjukkan bahwa aku menjalani hubungan kita dengan
serius, bahwa dia benar-benar orang yang berarti untukku. Dan semua sudah
terlambat ketika aku menyadarinya. Perempuan itu datang dan membuatnya
berpaling. Aku hanya dapat menangis dibalik topeng senyuman dan topeng
ketidakpedulian.
To
be continued…
0 comment:
Post a Comment