Part 1
Jodoh,
salah satu misteri yang tidak pernah mampu dipecahkan oleh banyak orang.
Mungkin sebagian orang merasa mudah dalam menemukan jodoh mereka, dan sebagian
orang yang lain perlu merasakan getirnya kehidupan demi bertemu jodoh yang
tepat. Tapi untukku, jodoh itu penuh kejutan. Aku tidak akan tahu pasti siapa
jodohku sampai akhirnya aku menghembuskan nafas terakhir di sisinya.Aku pun kini
sudah mulai menua, terbaring lemah di rumah sakit ditemani suami tercinta dan
kedua putri kembarku yang sudah mulai beranjak dewasa.
***_***
Dalam heningnya malam, aku menangis
tersedu. Antara benci dan takut menjadi satu. “Ibu bilang Ibu nggak setuju dan
nggak akan pernah setuju, Luna!” ucap ibuku dengan tegas.“ Contohlah kakakmu
Lina, punya suami yang seiman dan bisa jadi imam yang baik untuk keluarganya.” Mendengar
namanya, emosiku makin menjadi-jadi. Spontan aku berteriak, “Lina lagi, Lina
lagi! Puji aja terus, Bu. Ibu memang cuma sayang sama Lina. Nggak pernah
sedikit pun Ibu coba untuk ngerti perasaan Luna. Kalau emang Ibu perhatian sama
Luna, kenapa Ibu nggak dari awal bilang kalau Ibu nggak suka sama Mas Farel?! Kenapa
Ibu diam lihat kedekatan Luna dan Mas Farel? Itu karena Ibu nggak pernah peduli
sama Luna, kan? Ibu pilih kasih! Ibu cuma anggap Lina sebagai anak Ibu dan…” “Cukup
Luna!” bentak ibuku. “Ibu nggak suka kamu jadi kurang ajar seperti itu. Pokoknya
kamu harus tolak lamaran Farel!” Ibuku pun masuk ke kamarnya. Aku kalut.
Hari berikutnya, aku harus kembali ke
rumah warisan yangada di Jogja. Karena aku diterima di salah satu universitas
di sana, jadi aku pun memilih tinggal di rumah itu. Hatiku benar-benar tidak
tenang. Ketidakakuran dengan ibuku dan kegalauanku akan lamaran Mas Farel benar-benar
menyita pikiran, energi, dan suasana hatiku, sehingga kuputuskan untuk membeli
banyak coklat di mini market dekat rumah. Selesai membeli, aku kembali ke
parkiran samping mini market yang lebih sepi dari pada parkiran di depan mini
market. Entah karena lemas atau malas, aku malah terdiam di motor dan melamun.
“Mbak, mbak,” panggil seseorang dari
belakangku. “Eh i..iya Mas, kenapa?” “Misi Mbak, saya mau pulang,” jawabnya
ramah. Lalu aku pun mempersilahkannya, “Oh iya, silahkan, Mas.” “Iya, tapi saya
nggak bisa pulang kalau Mbaknya tetep di motor saya.”
“Hah? Motornya Mas?” Aku dengan
polosnya melihat lebih jeli ke motor yang aku duduki. Ternyata motorku ada di
sebelah motornya, karena mirip aku pun salah mengira. Aku turun dari motornya
sambil meminta maaf. Laki-laki itu pun tertawa kecil, lalu berkata dengan
halusnya, “Iya nggak apa-apa.Makanya jangan ngelamun malam-malam, Mbak.” Aku
hanya mengangguk kecil. Tapi, seolah masuk telinga kanan lalu keluar telinga
kiri, aku lagi-lagi malah melamun di atas motorku. Aku mendengar dia menyalakan
mesin motornya, tapi kemudian dia mematikan mesinnya, lalu berkata kepadaku, “Yah,
Mbak, kok ngelamun lagi? Mbak lagi ada masalah ya? Murung gitu mukanya.” Tanpa
menoleh padanya, aku tersenyum kecut lalu mengangguk. “Kalau mau, cerita aja
sama saya, Mbak. Nggak baik mendam masalah sendiri, nanti jadi penyakit lho.” Awalnya
aku tidak ingin bercerita padanya. Dia siapa? Aku bahkan tidak tahu namanya. Tapi
rupanya bibirku sudah tidak bisa dikunci lagi.A ku memang membutuhkan seseorang
yang bisa mendengarkanku saat ini.
“Pasti ada alasan kenapa ibunya Mbak
Luna itu lebih kasih perhatian ke saudaranya Mbak Luna. Seorang ibu pasti sayang
sama semua anak-anaknya tanpa terkecuali kok, Mbak. Buktinya ibunya Mbak Luna
menolak untuk menyetujui lamaran calonnya Mbak Luna demi masa depan Mbak Luna,
kan? Sekalipun membandingkan dengan suami saudaranya Mbak Luna yang alim dan
satu keyakinan itu,” kata laki-laki itu mengeluarkan pendapatnya setelah
mendengar masalahku. “Terus saya harus gimana ya menurut Mas?”
“Saya pribadi sih lebih mementingkan
hubungan Mbak Luna sama ibunya Mbak Luna. Coba juga untuk lebih terbuka dan
lebih dekat sama saudaranya Mbak Luna. Keakraban dan keharmonisan keluarga itu
penting lho, Mbak. Kebahagiaan yang paling mudah kita peroleh adalah dari
keluarga kita sendiri, karena kita tinggal lebih sering dengan mereka, kan? Eh,
tapi ini bukan bermaksud menggurui lho, Mbak. Keputusan semua tetap terserah
sama Mbak Luna.” Dengan seksama aku mendengarkan, dan dia masih melanjutkan, “Terus,
kalau masalah calonnya Mbak Luna, saya sendiri kurang tahu harus gimana. Jodoh
itu kan di tangan Allah SWT. Jodoh saya sendiri aja saya nggak tahu, masak saya
ngutak-atik jodoh orang lain. Kalau Mbak Luna siap menghadapi semua resiko
dalam memilih calonnya Mbak Luna yang beda agama itu, ya silahkan pilih jalan
itu. Tapi kalau Mbak Luna ragu-ragu, lebih baik nggak usah sekalian, Mbak.” Aku
menyetujui kata-katanya, tapi tetap saja berat untuk mengambil keputusan.“ Dipikir
matang-matang dulu aja, Mbak.Jangan lupa shalat istikharah, Insya Allah bisa
menolong.”
“Iya, Mas. Makasih banyak ya Mas udah
sukarela jadi tempat curhat. Dan maaf, malah jadi ganggu, harusnya Mas udah
bisa pulang dari tadikan,” kataku dengan tulus. Dia hanya tersenyum dan
mengangguk. Dia benar-benar baik, bahkan dia menawarkan diri untuk mengantarku
pulang ke rumah karena sudah malam. Ketika dia pulang, aku baru sadar betapa
bodohnya aku karena lupa menanyakan namanya dan betapa lambannya aku karena
baru sadar kalau dia mengetahui namaku padahal aku tidak menyebutkan namaku.***
“Luna, apa iya kita harus berpisah?” Dengan
sedih aku mengangguk. “Apa nggak bisa kita meyakinkan ibumu agar merestui
kita?” Aku menunduk lalu menggeleng pelan. “Kita kan belum usaha, Lun.”
“Percuma, Mas. Ibuku itu keras kepala,” balasku. “Jadi aku benar-benar nggak
punya kesempatan?” “Maaf, Mas,” jawabku pelan. “Mas, sebaiknya pulang aja.Aku
mau istirahat.” “Tunggu, Luna,” ucapnya ketika aku mau masuk ke rumah. “Apa
kamu nggak mencintaiku lagi? Apakah aku benar-benar harus melupakanmu sebagai
orang yang aku sayang?” Aku terdiam sambil tetap bediri membelakanginya, lalu
kujawab, “Aku nggak cukup berani untuk menyebrangi batas yang ada. Aku nggak
cukup kuat untuk menghancurkan tembok yang sangat kokoh di antara kita. Jalan
terbaik kita memang harus berpisah. Aku harap Mas Farel mau mengerti.” Tanpa
melihatnya, aku masuk ke rumah. Aku tidak menginginkan perpisahan seperti ini,
tapi hanya ini yang bisa kulakukan agar dia mengerti. Ya, seperti itulah
perpisahanku dengan Mas Farel. Menyakitkan.
Aku paling tidak bisa diam jika
perasaanku sedang kacau. Aku pasti memilih keluar rumah dan pergi ke mana pun
langkah kaki membawaku. Dan ketika aku melewati mini market, aku pun teringat
seseorang. Kuputuskan untuk masuk ke dalam mini market, yang sebenarnya tidak mini karena ruangannya digabung dengan café di sebelahnya. Aku mencari-cari
sosok laki-laki yang samar-samar masih terekam di otakku. Aku pun berjalan
menuju beberapa rak di dekat kasir dan kudapati laki-laki yang kucari sedang mengisi
rak dengan bungkusan mie instan. “Mas,” panggilku setengah berbisik. “Iya,
Mbak. Ada yang bisa dibantu?” Mendengar responnya yang formal, aku pun meragu. “Jangan-jangan
aku salah orang,” pikirku. “Ada apa, Mbak Luna?” tanyanya sekali lagi dengan
ramah. “Lho, kok kamu tahu namaku, Mas?” Sambil tersenyum, dia menjawab, “Mbak
lupa? Mbak Luna kan punya member card yang
Mbak pakai kalau belanja. Mbak juga sering belanja di sini, makanya saya cukup
hafal Mbak Luna.” Aku pun ber-oh mendengar penjelasannya sambil mengangguk
tanda mengerti. “Wah, nggak adil dong Mas kalau cuma Mas yang tahu namaku.” Laki-laki
berwajah oval itu tertawa kecil karena mengerti maksudku. “Yossy,” katanya
sambil melanjutkan pekerjaannya. “Ooh, Yossy. Eh, Mas Yossy selesai jam berapa
shiftnya hari ini?” “Habis ini ganti shift kok, Mbak,” ucapnya sambil menunjuk
ke kardus isi bungkusan mie yang siap diletakkan dalam rak. “Kenapa memang?”
“Emm, sebagai ucapan terima kasih, aku
mau mentraktir Mas Yossy, itu juga kalau Mas Yossy nggak sibuk.” Kata dia hal
itu tidak perlu aku lakukan, tapi aku tetap saja memaksanya karena dia juga
sedang tidak terburu-buru. “Eh Mas Yoss, jangan berharap banyak dulu ya, aku
nggak bisa mentraktir yang mahal-mahal.Maklum, dompet mahasiswa,” kataku dengan
polosnya dan dia lagi-lagi tertawa kecil sambil mengangguk-angguk.
***_***
(pernah dikirim dengan judul Cinta Datang Terlambat)