Part 3
Dia
duduk di sampingku, menemaniku yang sedang terkulai lemah di ruang inap. “Kamu
ke sini sendirian, Do? Nggak sama orang spesial atau undangan special mungkin?”
tanyaku iseng untuk memecah keheningan. Dia paham maksudku, tapi dia hanya
menjawab sambil tersenyum, ”Nggak, Lun.“ Ya, dia memang tersenyum, tapi
tersenyum getir. Tidak lama dia menjenguk dan menemaniku, karena aku harus
istirahat. Namun, dalam pertemuan singkat ini, aku dapat melihat belum ada yang
berubah dari dirinya, perasaan maupun sikapnya untukku. Caranya menatap, nadanya
ketika bercerita dan bercengkrama, dan dalam sentuhan-sentuhan kecilnya aku
masih dapat merasakan apa yang ada dalam isi hatinya. Tapi aku tidak dapat berbuat
apa-apa. Kita tidak boleh bersama, dan aku pun telah mencintai orang lain. Aku
hanya berdoa agar dia mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Bertahun-tahun telah berlalu.Kini aku
yang menginjak umur 26 tahun bekerja sebagai editor sebuah perusahaan
penerbitan di luar kota Jogja. Banyak yang sudah mendesakku untuk segera
menikah, tapi aku masih belum bisa. Awalnya kupikir karena aku trauma, tapi
ternyata karena aku tidak bisa melupakan Mas Yossy. Aku sadar bahwa aku
mencintainya, sayangnya semua sudah terlambat. Namun, aku tidak menyia-nyiakan
hidupku begitu saja. Aku ingat nasihatnya ketika kita pertama kali bertemu. Aku
menyadari kebahagiaan yang paling mudah kita dapat adalah kebahagiaan yang
berasal dari keluarga kita. Aku kini tahu betapa pentingnya kebahagiaan dan
keharmonisan dalam keluarga. Selama ini aku memang salah karena aku terlalu
egois dan menutup mata juga menutup hati untuk melihat apa yang sebenarnya
terjadi dalam keluargaku.
Aku telah diselimuti kebencian yang
membuatku buta akan kebenaran. Masa lalu yang tidak pernah aku ketahui, masa
lalu ibuku yang tanpa perasaan bercerai dengan ayah tiriku dan Kak Lina yang
selama ini kubenci karena merebut seluruh perhatian ibuku setelah
perceraiannya. Kenyataan bahwa ayah tiriku tidak pernah mencintai ibuku,
kenyataan bahwa ayah tiriku ‘sakit’, kenyataan bahwa kakakku hampir diperkosa
ketika masih berumur 10 tahun oleh ayah tiriku itu sehingga membuat ibuku
langsung meminta cerai karena takut aku menjadi korban berikutnya, semua
disembunyikan dariku. Kakakku mengalami trauma, karena itu ibuku sangat
perhatian padanya. Bahkan meskipun Kak Lina sudah menikah dengan Mas Danang,
dia masih takut untuk bermesraan dengan suaminya, sehingga kakakku tetap harus
diterapi. Andai aku tetap tidak mempedulikan mereka, mungkin sekarang aku akan
merasa hidup sendirian, tanpa merasakan kebersamaan sebuah keluarga. Mengingat semua
ini membuatku bersyukur telah dipertemukan dengan Mas Yossy, meskipun aku tidak
pernah tahu di mana dia berada setelah dia menikah.
Hujan gerimis menemani makan siangku di
kafetaria di seberang kantor. Sembari menunggu pesanan, aku menulis singkat dalam
diary coklat-mini milikku, “Seperti
Malam yang merindukan Bulan-Bintang agar mampu membuatnya tampak sempurna, aku
merindukan laki-laki itu yang telah sempat menyempurnakanku”. Belum sempat aku
memberi titik pada tulisanku, seseorang memanggilku entah darimana. Aku tidak
menemukan siapa yang memanggilku, tapi aku merasa sangat mengenal suara itu. Baru
satu detik aku kembali fokus pada diary-ku,
seseorang mendekat dan memanggilku, “Luna.” Aku mendongak dan dia tersenyum
ramah, sungguh manis. Aku masih terdiam membisu dan membatin, “Mimpikah aku?” Laki-laki
yang berdiri di depanku bertanya, “Luna, kan?”
“Mas…Y..yos…sy?” tanyaku balik untuk
memastikan. Tidak salah lagi, orang yang berbicara denganku adalah Mas Yossy. Pedih
memang mengingat dia telah memiliki keluarga kecilnya sendiri. Tapi aku sudah
tidak apa-apa dan aku kuat. Kita hanya sempat berbasa-basi di jam makan siang,
tapi dia mengajakku bertemu lagi sepulang kerja karena kebetulan dia bekerja
sebagai manager pemasaran di kantor
yang letaknya dua blok dari kafetaria.Tentu saja aku senang dengan ajakan
tersebut, namun aku juga takut. Aku takut aku makin tidak dapat lepas darinya
yang sudah menjadi suami orang lain. Sayangnya aku tidak dapat menahan rasa
ingin bertemu dengannya, maka kuiyakan ajakannya.
Kita bertemu dan sekaligus makan malam di
warung makan pinggir jalan di dekat kantor. Layaknya sepasang sahabat yang lama
tidak berjumpa, sama sekali tidak ada rasa canggung di antara kita. Justru banyak
kisah yang kita obrolkan. Aku terkejut ketika tahu bahwa kita sebenarnya
bekerja di kantor yang saling berdekatan selama hampir satu tahun, tapi baru
sekarang kita dipertemukan. Sesekali dia juga memujiku karena potongan rambutku
yang pendek sebahu dan seragam kantor hitam yang rapi sehingga membuatku
terlihat lebih ceria tapi dewasa katanya. Ah, wanita mana yang tidak senang
dipuji oleh orang terkasih, meskipun dia sudah beristri .Aku sadar dia telah
beristri, namun melihat senyumannya yang hangat yang tidak pernah berubah dari
waktu ke waktu, membuatku tidak ingin melupakannya.
“Eh, kamu udah izin belum sama suami
kamu?” tanya Mas Yossy tiba-tiba. Tentu tidak mengherankan pertanyaan itu terlontar
darinya karena dia belum tahu apa yang terjadi. Masa lalu yang pahit, tapi aku
akhirnya menceritakan kejadian pada hari itu.Aku tahu kebaikan hati Mas Yossy
yang mudah khawatir, karena itu aku menunjukkan bahwa aku baik-baik saja dan memang
aku sudah baik-baik saja. Lalu kualihkan topik tentangku menjadi topik
tentangnya. Aku pun bertanya balik tentang istrinya, dan keterkejutanku tidak berbeda
jauh dengan Mas Yossy ketika mendengar cerita batalnya pernikahanku.
“Kapan?! Kok bisa-bisanya sih kalian
cerai, Mas?” tanyaku penasaran. Dengan tenang dia menjawab, “Satu setengah
tahun yang lalu. Ya kamu kan tahu sendiri, seorang istri itu butuh diberi
nafkah lahir maupun batin. Tapi, aku baru bisa kasih dia nafkah lahir. Akhirnya
dia malah cari nafkah batin di tempat lain.”Aku masih berpikir bagaimana
mungkin seorang Mas Yossy yang kutahu begitu penyayang dalam hal keluarga tidak
bisa memberikan nafkah batin pada istrinya sendiri. “Kenapa Mas nggak kasih
nafkah batin? Jangan bilang Mas belum pernah nyentuh dia sama sekali?” Dia diam
sejenak, lalu menjawab, ”Bagaimana bisa aku sentuh dia sedangkan dia belum bisa
sentuh hatiku.”
“Hah?! Jadi Mas Yossy nggak cinta sama
dia? Terus kenapa nikah kalau nggak cinta?” Lagi-lagi hening sejenak, dibarengi
dengan helaan nafasnya. “Beberapa faktor memaksaku untuk menikahi Ratri, tapi
aku rasa faktor utamanyaadalah karena pernikahan perempuan yang sangat aku
cinta dengan orang lain. Karena itu kuputuskan untuk menerima perjodohan
keluargaku, jika memang Ratri mau menerimaku sebagai suaminya, yang masih
mencintai perempuan lain.” Rumit, tapi aku tahu persis bagaimana perasaan Mas
Yossy. “Dan sekarang Mas masih mencintai perempuan itu?” tanyaku pelan, dan
entah bagaimana aku merasakan sedikit harapan. Tapi harapan itu memudar kembali
setelah mendengar jawabannya, “Iya, masih.” Lalu dia meneruskan kalimatnya,
“Tapi aku bahagia, karena ketika aku dan diadipertemukan kembali, aku
mengetahui bahwa ternyata dia masih sendiri.” Aku mengernyitkan dahi, berpikir.
“Dulu aku terlalu pengecut untuk
menunjukkan perasaanku. Aku pikir emang mungkin lebih baik kalau aku mengalah
dengan membiarkan dia bahagia sama orang lain. Aku juga sadar cepat atau lambat
mereka berdua akan naik ke pelaminan. Dan setelah tahu dia akan menikah, rupanya
aku nggak sanggup menerimanya. Aku memutuskan untuk ambil cuti kerja. Aku pun mempertimbangkan
dan membicarakan lagi perjodohanku dengan Ratri. Akhirnya setelah aku menikah,
aku nggak cuma cuti kerja tapi mengundurkan diri dan mencari kerja di sekitar
sini.”Aku masih mencerna penjelasan dari ceritanya. Aku merasa tidak asing
dengan kejadian itu. “Aku tahu kok ada pertanyaan ‘siapa’ di kepalamu,” katanya
setelah melihat ekspresiku. Tanpa basa-basi lebih jauh, dia berkata, “Itu kamu.”Antara
terkejut dan bahagia, aku masih terdiam tidak percaya. Lebih tidak percaya lagi
ketika dia bertanya, “Luna, will you marry me?” Betapa tidak romantisnya.
***_***
Andai
dulu aku sadar lebih cepat siapa yang aku cintai dan andai saat itu dia berani
menunjukkan perasaannya, mungkin cinta kita takkan terlambat untuk disatukan.
Namun, bukankah setiap hal selalu lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali? Dan itu berlaku pula untuk cinta.
Kini,
suamiku senantiasa menjagaku selama aku terbaring lemah di rumah sakit. Pernah
suatu waktu, aku tidak tahu mengapa dia membawa satu album foto.“Eh, Mah, aku
mau kasih tahu sesuatu yang mengejutkan,” katanya antusias.“Papah gimana
sih?Kata dokter, kan aku nggak boleh sampai terkejut,” kataku. “Hahaha, tenang,
ini bukan suatu kejutan ekstrim yang berakibat buruk sama kesehatan Mamah kok…
Coba Mamah lihat ini.”Dia menunjukkan sebuah foto. Di sana ada aku, Kak Lina,
dan Mas Danang. Lalu kucermati foto seseorang di samping Mas Danang.“Papah! Kok
Papah bisa ada di foto pernikahan kakakku” tanyaku heran. “Iya, Papah kan kenal
sama Mas Danang. Dia itu senior waktu Papah masih kuliah. Tapi Papah sama
sekali nggak lihat Mamah selama acara itu. Malahan Papah juga baru sadar ada
Mamah di foto ini.”
Sering
memang manusia tidak menyadari bahwa jodoh mereka sangat dekat dengan mereka.
Tapi akankah Mas Yossy-ku ini benar-benar akan menjadi jodohku sampai aku tiada
nanti?Tidak ada yang tahu pasti, namun aku kini hanya mampu meyakini bahwa
dialah jodohku.
TamaT
(Putri Sintha)