SENYUM KALA
SENJA
“Bayu!, ini pasti kerjaan kamu, kan?!”
teriakku sambil terengah-engah. Tidak ada jawaban, tetapi aku masih mendengar
ada beberapa orang menahan tawa sembari melangkah pergi. Lalu suasana menjadi
hening. Aku tetap berteriak meminta tolong. Tenggorokkanku mulai terasa serak,
sampai-sampai sulit untuk berbicara. Lalu aku alihkan tenaga untuk melepas
ikatan. Satu jam berlalu. Gelap, dan itu membuatku panik. Ikatan di tanganku
mulai mengendur, tapi tetap tidak bisa lepas. Aku pun pasrah.
Lalu seseorang melepas plastik hitam di kepalaku, tapi tidak ada orang di hadapanku. Aku yakin mereka bersembunyi di balik pilar besar tempat mereka mengikatku. Beberapa detik kemudian, nyanyian itu pun terdengar. “Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday Neta...” Kesal tapi bercampur senang melihat sahabatku, Bayu, yang membawa kue ulang tahun dengan lilin angka 17 di atasnya, dan teman-teman dari Merpati Putih dengan cerianya memberi kejutan, ucapan selamat, juga doa-doa untukku.
Lalu seseorang melepas plastik hitam di kepalaku, tapi tidak ada orang di hadapanku. Aku yakin mereka bersembunyi di balik pilar besar tempat mereka mengikatku. Beberapa detik kemudian, nyanyian itu pun terdengar. “Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday Neta...” Kesal tapi bercampur senang melihat sahabatku, Bayu, yang membawa kue ulang tahun dengan lilin angka 17 di atasnya, dan teman-teman dari Merpati Putih dengan cerianya memberi kejutan, ucapan selamat, juga doa-doa untukku.
Hal-hal
seperti itu sudah seperti menjadi ritual di Ekstrakulikuler Merpati Putih. Tapi
itulah yang membuat kita menjadi semakin akrab. Dalam keanggotaan Merpati
Putih, kita semua satu dan kita adalah keluarga. Tetapi Bayu berbeda. Bukan
Merpati Putih yang membuat kita menjadi seperti keluarga, karena dari kecil
kita memang sudah seperti keluarga. Ayahku dan Tante Windi, ibunya Bayu, adalah
sahabat baik. Kelurga kita sering kali saling berkunjung ke rumah dan merayakan
hari-hari spesial bersama. Aku pun mengenal betul bagaimana keluarga Bayu.
Bayu,
anak laki-laki 15 tahun yang baru saja memasuki masa SMA, dan selisih dua tahun
di bawahku. Aku sering sekali mengejeknya ‘Anak Mamih’ karena dia sangat
dimanjakan oleh ibunya. Bagaimana tidak? Dari dulu ibunya sangat menginginkan
anak laki-laki, tetapi Allah SWT selalu memberinya anak perempuan, Mbak Bulan
dan Mbak Bintang. Begitu Bayu lahir, Tante Windi pun menjadi orang yang paling
bahagia dan membuat Bayu menjadi anak kesayangannya.
Selisih
umur dua perempuan kakak-beradik itu hanya satu tahun, tetapi selisih umur
kakak kedua dengan Bayu cukup jauh, enam tahun. Hal ini juga yang membuat
mereka berdua suka sekali usil dan membuat Bayu menangis ketika Bayu masih
anak-anak. Setiap kali aku ke rumahnya dan melihat dia diusili kakak-kakanya
sampai menangis, aku pun sering menenangkan dan mengajaknya main keluar rumah
agar tangisnya berhenti. Ketika Bayu masuk SMA, mereka juga masih suka usil,
hanya saja Bayu tidak lagi cengeng seperti dulu dan aku pun tidak
perlu menenangkannya.
Pernah
suatu kali ketika Bayu masih kelas enam SD, aku main ke rumahnya di waktu yang
kurang tepat. Aku ke sana ketika, lagi-lagi, Bayu menangis, dan Tante Windi
marah-marah dengan Mbak Bintang. “Kamu kok nakal banget sih sama adekmu. Adekmu
ini kan nggak ngapa-ngapain kamu,” kata Tante Windi. “Lha, Ibu tuh terlalu
memanjakan Adek. Dia dari tadi nge-game mulu, kayak nggak ada kerjaan
lain aja. Main keluar kek, belajar kek, main bola kek.
Anak cowok masa’ di rumah terus. Kuper nanti, Bu, kurang pergaulan,” protes
Mbak Bintang dan mulailah perdebatan antara Tante Windi dan Mbak Bintang. Aku
bingung dan hanya berdiri di depan pintu rumah bagian samping.
Lalu
Mbak Bintang sadar akan kehadiranku yang sedaritadi mematung dan dia berkata,
“Nah, kebetulan ada Neta. Net, ajak main Bayu tuh, biar dia nggak di rumah
terus.” Aku belum mengiyakannya, justru aku melihat respon Tante Windi terlebih
dahulu. Tanpa perlawanan. “Malah bengong nih bocah satu,” ucap Mbak Bintang.
Aku pun segera mengajak Bayu yang agak ogah-ogahan beranjak dari
kamarnya. “Neta, jagain Bayu ya? Mainnya jangan jauh-jauh. Terus hati-hati
kalau nyebrang sungai. Jangan main dekat jalan raya juga, banyak motor suka
ngebut. Terus jangan beli jajanan di jalan atau warung. Di rumah banyak makanan
kok. Kalau capek langsung pulang aja, makan di rumah. Oh iya, Bayu pakai
topinya. Panas banget di luar, pusing nanti,” kata Tante Windi menasehati. Mbak
Bintang dengan muka kesal hanya menggelengkan kepala dan masuk ke kamarnya. Dengan
tenang aku menjawab, “Iya, Tante, tenang aja. Aku bakal jaga Bayu, kan Bayu
udah kayak adikku sendiri.”
Tidak
satu atau dua kali hal seperti itu terjadi dan tidak satu atau dua kali pula
Tante Windi mengingatkanku ketika aku dan Bayu akan bermain di luar. Tante
sangat menyayangi Bayu, anak laki-laki satu-satunya. Aku jarang sekali melihat
Tante Windi memarahi Bayu. Kadang aku merasa Tante Windi terlalu berlebihan,
tapi entahlah. Mungkin ketika aku menjadi seorang ibu, aku akan seperti itu.
Awalnya
aku pikir Bayu bahagia dengan semua kasih sayang dan perhatian ibunya. Apalagi
banyak tetangga dan teman-teman kerja Tante Windi yang memuji-muji Bayu karena
selain dia tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan, dia juga sopan dan
pintar. Ibunya merasa begitu bangga dengan Bayu, dan makin sayanglah dia kepada
Bayu. Tapi ternyata Bayu tidak sebahagia kelihatannya. Bayu lama-lama merasa
terkekang oleh ibunya sendiri. Tidak bisa ini, tidak bisa itu. Tidak boleh itu,
tidak boleh ini. Bahkan untuk masuk Merpati Putih pun harus aku yang membujuk
Tante Windi agar membolehkan Bayu. Itu pun diperbolehkan karena aku sering
berkecimpung di Merpati Putih, sehingga Tante Windi benar-benar memberi
tanggung jawab padaku untuk menjaga Bayu.
Hari
mulai gelap. Setelah acara ‘surprise’ yang teman-temanku berikan saat itu, aku
dan Bayu berencana untuk main ke alun-alun kota dan shalat Isya’ di Masjid
Agung. “Argh, sebel! Capek aku kalau diawasin terus sama Ibu. Dikit-dikit izin,
bentar-bentar lapor. Sms nggak dibalas, telepon nggak diangkat, langsung deh
marah-marah. Berlebihan banget khawatirnya. Coba aku nggak dilahirin di
keluargaku yang sekarang ya,” keluh Bayu setelah melihat ke layar handphone-nya.
Kaget aku dengar kalimatnya yang terakhir. “Ya ampun, eling Bay, kamu
tuh harusnya bersyukur. Itu juga kan karena Ibu sayang sama kamu. Toh demi
kebaikanmu juga. Kenapa sih emang? Disuruh pulang sekarang ya?” Bayu tidak
segera menjawab, hanya mengangguk sebal. “Ya udah, kita pulang aja. Main kan
bisa besok-besok,” kataku sambil mengacak-acak rambut Bayu.
Sayangnya,
tidak ada ‘besok-besok’ untuk kita berdua. Tidak ada lagi paket ‘YUTA’,
Bayu-Neta. Tidak ada lagi. Bayu pergi meninggalkanku, juga keluarganya. Bayu
meninggalkan kita semua. Dia mendahului kita meninggalkan dunia ini. Sakit
rasanya. Tetapi lebih sakit lagi melihat Tante Windi, orang yang paling
terpukul dengan kematian Bayu karena kecelakaan yang menimpanya.
Empat
tahun telah berlalu. Aku berdiri, menatap ukiran nama ‘Bayu Hermawan’ dalam
batu nisan. Teringatlah aku pada senyuman yang Bayu berikan ketika ulang
tahunku ke-17. Senja itu, Bayu kuberitahu doaku agar dapat terus bersamanya,
menjadi sahabatnya, menghabiskan waktu suka-duka bersama, selamanya. Tak
kusangka, senyuman kala itu adalah senyum termanis terakhir yang ia hadiahkan
untukku. Aku tidak dapat memahami mengapa Allah SWT dengan cepat dan teganya
mengambil Bayu dari kami. Tetapi kini, aku sadar. Sekalipun tidak ada seorang
pun yang dapat menyaingi perasaan sayang dan cinta Tante Windi terhadap
putranya, rupanya ada yang lebih mencintai dan menyayanginya. Ialah dzat yang
lebih berkuasa atas segala hal di dunia ini, termasuk kematian yang tidak bisa
dikendalikan oleh seorang pun. Mungkin kami, termasuk aku dan terutama Tante
Windi, terlalu congkak dan bangga, juga terlalu mencintai Bayu. Aku terlalu
bangga memiliki sahabat yang sekaligus kuanggap seperti adik kandungku. Begitu
juga Tante Windi yang sangat bangga terhadap Bayu yang selalu dipuji orang
lain. Kini bukan rasa bangga lagi yang kumiliki ketika aku menemukan sahabat
baru atau bahkan pasangan hidup, karena aku tidak dapat mengendalikan kematian.
Bukan rasa bangga, melainkan ketakutan akan kehilangan mereka, lagi. Aku tidak
ingin hatiku diperbudak oleh kesombongan sehingga melupakan siapa yang memegang
kendali atas hidup kita, kita yang hanya manusia biasa.
(dikirim untuk persyaratan masuk FLPYogyakarta)