Part 2
Aku
membuka mata mendengar pintu yang berdecit pelan dan seseorang datang
menjengukku, seseorang yang lama kurindukan. Dia tersenyum dan berjalan
mendekat membawa satu paket buah untukku.“Pagi, bagaimana kabarnya, Bu Luna?”
tanyanya. Aku tertawa kecil lalu menjawab,”Nggak perlu kaku begitu, aneh tahu. Begini-begini
aku juga masih gaul kok.”
Awal semester tiga aku awali dengan
bangun kesiangan, padahal dosen pagi itu sungguh killer, kegarangannya seolah-olah mampu membunuhku seketika di
tempat. Namun ketika di kelas, tak kusangka, ada yang lebih garang daripada Pak
Dosen. Dia seniorku yang super cuek dan super jutek. Sekalipun pakaiannya
termasuk sopan, tetap saja keberandalannya masih terlihat. Aku masih ingat
betul, saat itu Pak Dosen tidak dapat
hadir sehingga beliau memberi tugas yang langsung dikumpulkan ketika jam kelas berakhir. Di saat semua sibuk
dengan tugas, senior itu justru sibuk dengan urusannya sendiri. Aku penasaran dengan
apa yang sedang dia lakukan, sehingga tanpa sadar aku memperhatikannya cukup
lama. Dan aku ketahuan!
“Kenapa lihat-lihat? Suka?” tanyanya
jutek. Antara kaget, malu, takut, tapi juga penasaran aku merespon, “Eng..nggak
kok, Mas. Cuma heran aja, kok tugasnya nggak dikerjakan?” Masih dengan nada
yang sama dia menjawab, “Suka-suka aku lah.” Sedikit sebal, aku kembali
mengerjakan tugasku. Ketika aku berdiri dari kursi ingin mengumpulkan tugas,
senior jutek itu berteriak, “Awas! Jangan diinjak!” Terkejut, aku melihat ke
bawah. Ada satu foto yang hampir aku injak. Aku pun mengambilnya dan kucermati
foto itu. “Baluran!” kataku tercengang. Rupanya laki-laki itu pun kaget. “Kamu
tahu Baluran?”
“Iyalah, dari kecil aku pengin banget
ke sana, tapi belum kesampaian. Mas pernah ke sana?” tanyaku sambil
mengembalikan fotonya. “Pernah dong, ini kan juga hasil jepretanku,” katanya
dengan bangga. Aku melihat beberapa foto berserakan di hadapannya, dan beberapa
foto yang lain sudah ditempel di sebuah buku miliknya. “Sebenarnya Mas lagi
ngapain sih?” tanyaku seolah lupa kejutekkannya. “Lagi nempel-nempel foto aja,”
jawabnya datar. Tanpa izin, aku melihat foto yang berserakan dan takjub dengan
foto-foto itu. Dari pemandangan pantai, gunung, sungai, hutan, gua, candi, dan
air terjun, semuanya ada. “Kamu mau lihat yang ini?” tawarnya sambil
menunjukkan bukunya. Dengan senang, aku pun melihat-lihat isinya. Banyak
tempelan foto-foto perjalanannya beserta sedikit keterangan di bukunya itu. Dan
yang pasti, dia terlihat berbeda di foto-fotonya. Terlihat begitu ceria,
bahagia, dan menikmati alam sekitarnya. Sungguh berbeda dari dia yang galak dan
jutek. Aku sering bertanya seputar foto-foto itu, dan aku tidak menyangka dia
justru dengan senangnya menceritakan pengalaman-pengalamannya. Aku kira dia
akan membentak atau menjawab seadanya dan sedatarnya.Perubahan yang drastis.
“Muka dan penampilannya garang sih,
tapi ternyata orangnya asyik juga kalau diajak ngobrol,” kataku bercerita
dengan semangat, tapi lawan bicaraku hanya tersenyum, sungguh manis. “Kok malah
senyum-senyum? Kenapa? Ada yang aneh sama ceritaku?” tanyaku kebingungan. “Nggak
sama sekali.” “Terus?” “Ya aku senyum karena aku lega dan senang sekarang kamu
nggak sedih terus gara-gara mantanmu. ”Lalu laki-laki yang baru saja aku
bicarakan itu datang menjemputku. “Wah, ternyata Edo udah di depan. Aku duluan
ya, Mas Yoss. Maaf jadi nyita waktu kerjanya, hehe…”
“Santai aja, kebetulan juga lagi nggak
banyak pembeli,” jawab Mas Yossy, lalu aku pun beranjak pergi. Perkataannya
benar. Aku berhasil melupakan kesedihanku tentang Mas Farel. Bahkan aku tidak
pernah bertemu dengannya lagi. Mungkin itu karena aku sepenuhnya tinggal di
kota ini, bersama dengan ibuku, sehingga aku tidak perlu kembali ke kampung
halaman. Sayangnya, aku masih jarang berkomunikasi dengan ibuku meskipun kita
sudah satu rumah kembali dan aku merasa tidak betah jika ada kakakku yang
sesekali menginap.
***
Beberapa tahun berlalu. Aku dan Edo menjadi
sangat akrab, tapi dia tidak pernah memberikan ketegasan tentang hubungan kita.
Aku merasa kita memiliki perasaan yang sama, tapi aku meragu karena dia selalu
menghindari pembicaraan yang menyinggung tentang itu dan lebih menganggapku
sebagai sahabatnya. Sampai suatu hari, ketika aku berada di taman dengan Edo,
ibuku menelpon. Ibuku ingin berbicara
dengan Edo begitu tahu aku sedang bersamanya. “Dia bilang apa aja ke kamu?”
tanyaku ingin tahu. Raut wajah yang bingung dan sedih terlihat dari dirinya. “Ibumu
kangen sama aku, katanya aku udah jarang main ke rumah.”
“Walah, iyalah, kita kan lagi
sibuk-sibuknya skripsi. Terus kenapa kamu kelihatan bingung, Do?” Dengan ragu dia mengatakan, ”Ibumu tanya
kapan aku melamar dan nikahin kamu.” Aku terdiam sesaat. Ada perasaan senang
karena itu artinya ibuku menyetujui jika aku memilihnya sebagai pendamping
hidup. Sayangnya, orang yang aku inginkan itu entah benar-benar menginginkanku
atau tidak. “Halah, udahlah nggak usah dianggap serius. Itu cuma ledekkan ibuku
aja kok,” kataku berusaha terlihat santai. Responku tadi rupanya tidak
mempengaruhinya. Akhir-akhir ini Edo memang terlihat berbeda. Dia biasanya tetap
ceria, semangat, dan santai menghadapi masalah-masalah yang dia alami. Apa dia
mulai sadar betapa pentingnya masalah skripsi sehingga dia menyesal karena seharusnya
dia lulus tahun lalu? Atau apakah dia mulai memikirkan perjalanan hubunganku
dan dia? Aku terdiam lagi dalam lamunan. Suasana semakin canggung, aku pun
memutuskan untuk pulang terlebih dulu. “Jangan pergi,” ucap Edo dengan suara
pelan. Aku pun kembali duduk di sampingnya. Aku tahu apa yang sedang dia
pikirkan sehingga aku hanya menunggunya berbicara. Dia pun memulai narasinya,
narasi yang berbeda dari narasi-narasi dia sebelumnya. Narasi yang dia
ceritakan kali ini bukan tentang adventure-nya,
tapi tentang alasan mengapa dia sampai sekarang tidak ingin memiliki hubungan
yang serius dengan wanita mana pun.
“Aku tahu kamu benci kekangan, but it doesn’t mean you can generalizeother
people. Kamu nggak bisa menganggap semua orang itu sama. Nggak semua perempuan
over posesif seperti mantanmu atau mantan temanmu. Mungkin kalian memang belum
beruntung dan belum menemukan orang yang tepat untuk kalian,” kataku
berpendapat. “Ya wajar sih untuk orang yang suka berpetualang seperti kamu
pasti nggak ingin punya pasangan yang suka mengatur dan mengekang. Lagian mana
ada orang yang mau jadi tahanan seumur hidup. Tapi kalau kamu, para laki-laki
pengelana, bisa kasih pengertian dan kepercayaan ke para perempuan yang
ditinggal berkelana, mereka bisa berubah dan mengerti kok. Dan aku yakin kamu
atau teman kamu itu akan menemukan pasangan yang pengertian yang nggak suka
mengekang kebebasanmu. Syukur-syukur dapat perempuan yang punya hobi sama.”
“Seperti kamu ya, Lun?” celetuk Edo. Dengan
salah tingkahnya aku menjawab,”Y..ya nggak cuma aku. Pasti banyak perempuan
lain yang satu hobi lah.” “Sehobi tapi belum tentu sebaik dan sepengertian kamu.”Aku
makin salah tingkah, dan kurasakan wajahku mulai memanas dan pasti memerah. Syukurlah,
Edo sepertinya lebih lega setelah menceritakan ketakutannya itu.
Singkat cerita, hari kelulusan pun
datang. Akhirnya aku dan senior kesayanganku itu lulus bersamaan. Kebahagiaanku
bertambah akan kejutan yang dia siapkan untukku. Lamaran! Ya, Edo melamarku di
hadapan ibu, kakak, dan kakak iparku, dan disaksikan banyak orang, termasuk
beberapa teman-temanku. Dengan senang hati aku menerimanya dan dia melebarkan
tangannya, memintaku untuk memeluknya dalam kebahagiaan.Seketika itu,
orang-orang di sekitar kita bersorak dan teman-temanku memberi selamat. Aku
jujur bahwa aku sangat bahagia, tapi entah mengapa masih ada sesuatu yang
mengganjal perasaanku. Dan saat itu aku seperti melihat sosok Mas Yossy jauh di
depanku. Begitu aku mencoba mendekat, dia menghilang dalam keramaian. Malamnya,
aku berniat menemui Mas Yossy di mini market, tetapi ternyata dia tidak ada.
Maka kuputuskan untuk bertanya pada salah satu pegawai di sana. Rupanya Mas
Yossy mengambil cuti satu hari untuk hadir dalam wisuda kenalannya. Aku
berpikir ulang, “Jangan-jangan yang tadi aku lihat itu benar Mas Yossy.”
Banyak yang ingin kuceritakan padanya,
tapi aku terlalu sibuk mempersiapkan pernikahanku dengan Edo, mempersiapkan
fisik maupun mental. Satu minggu sebelum hari akad nikah, akhirnya aku bisa menemui
Mas Yossy. Hari kamis, jadwalnya hanya sampai siang hari, karena itu aku datang
ke sana sekitar jam dua siang. Aku sangat senang ketika melihatnya ada di bagian
kasir. Aku melambaikan tangan dari jauh ketika dia melihatku, lalu bertanya
tanpa suara, “Masih sibuk?” “Nggak kok,” jawabnya tanpa bersuara sambil
menggelengkan kepala. Lalu aku pun menunggunya di café sebelah mini market. Kuperhatikan dia yang masih melayani
beberapa pembeli lagi. Dia tetap ramah seperti biasa. Semakin aku melihatnya,
semakin aku merasa seperti ada rasa rindu yang terobati, apalagi ketika
melihatnya tersenyum padaku. Tapi senyum itu memudar seketika begitu aku
memberitahunya aku akan menikah. Aku tidak tahu mengapa dia bersikap aneh
setelah menerima undangan pernikahan dariku. Dia tidak berbakat dalam seni
peran, sehingga aku tahu senyumnya bukan senyum yang sesungguhnya. Matanya
tidak dapat membohongiku bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. “Kenapa ada
kesedihan dalam ucapan selamatmu?” tanyaku dalam hati.
Hari pernikahanku pun tiba. Sebelum
acara dimulai, aku masih duduk di ruang rias, menatapi foto keluarga Edo ketika
Edo masih kecil. Aku sangat bahagia, tapi seandainya ayah kandungku dan ibu
kandung Edo masih hidup, pasti aku akan lebih bahagia lagi. Tiba-tiba ibuku
masuk dan melihat foto yang kupegang. Ibuku terlihat sangat terkejut melihat
foto itu. Dari nada suaranya, ibuku mulai ketakutan. “A..Ayu..?” gumamnya pelan
sambil tetap melihat foto itu. “Lho ibu kenal almarhumah ibunya Edo?” “Ibu kandung?!” kata ibuku makin
kaget dan mulai gemetaran tidak percaya. Aku meminta ibuku duduk dan
menenangkan diri sejenak. Setelah itu ibuku mulai berbicara. “Pernikahan kalian
harus dibatalkan.” “Apa, Bu? Batal?! Ke..kenapa?” Ibuku mulai menangis dan
memelukku, lalu dengan sedih ibuku bergumam, “Ya Allah, kenapa ini harus
terjadi?” Aku sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kalian nggak boleh menikah, Luna. Itu
karena… karena… kamu dan Edo…”
“Kenapa dengan aku dan Edo, Bu?”
desakku. Masih menangis, ibuku menjawab, “Kalian saudara sepersusuan.” Syok
yang tidak mungkin terelakkan. Kali ini aku yang harus menenangkan diri. Aku
benar-benar tidak percaya apa yang dikatakan ibuku. Tapi ibuku menjelaskan
semuanya padaku. Ketika aku lahir, ibuku tidak dalam kondisi yang memungkinkan
untuk menyusuiku sehingga aku mendapat asi dari ibunya Edo yang saat itu
menjadi tetangga ibuku. Beberapa tahun kemudian, keluarga mereka pindah dan
ibuku kehilangan kontak dengannya.Sungguh malang. Sekarang, batal sudah
pernikahanku. Aku merasa sangat depresi. Kenapa aku selalu gagal?! Pertama adalah
Mas Farel karena kita berbeda agama, sekarang Edo karena kita saudara
sepersusuan. Apa yang salah denganku? Apa aku sudah dikutuk untuk tidak
menikah? Aku tidak percaya dengan semua ini. Aku berharap, sangat berharap ini
hanya mimpi buruk.
Satu hal yang ingin kulakukan, bertemu
dan bercerita dengan Mas Yossy. Tapi bukannya membaik, perasaanku justru makin
hancur begitu tahu Mas Yossy cuti kerja karena akan menikah! Sungguh perasaanku
hancur, lebih hancur ketika berpisah dengan Mas Farel, dan lebih hancur ketika
pernikahanku batal. Ini sangat menyakitkan dan aku tidak dapat berhenti untuk
menangis, meskipun dalam pelukan ibuku. Pelukan ibuku yang lama kurindukan. Aku
tidak ingat kapan terakhir kali ibuku memelukku dengan hangatnya. Ibuku tidak
menanyakan apapun, begitu juga dengan aku yang tidak ingin menceritakan
segalanya.
***_***