Saturday, November 22, 2014

Yossy #1


 Part 1

Jodoh, salah satu misteri yang tidak pernah mampu dipecahkan oleh banyak orang. Mungkin sebagian orang merasa mudah dalam menemukan jodoh mereka, dan sebagian orang yang lain perlu merasakan getirnya kehidupan demi bertemu jodoh yang tepat. Tapi untukku, jodoh itu penuh kejutan. Aku tidak akan tahu pasti siapa jodohku sampai akhirnya aku menghembuskan nafas terakhir di sisinya.Aku pun kini sudah mulai menua, terbaring lemah di rumah sakit ditemani suami tercinta dan kedua putri kembarku yang sudah mulai beranjak dewasa.
***_***
Dalam heningnya malam, aku menangis tersedu. Antara benci dan takut menjadi satu. “Ibu bilang Ibu nggak setuju dan nggak akan pernah setuju, Luna!” ucap ibuku dengan tegas.“ Contohlah kakakmu Lina, punya suami yang seiman dan bisa jadi imam yang baik untuk keluarganya.” Mendengar namanya, emosiku makin menjadi-jadi. Spontan aku berteriak, “Lina lagi, Lina lagi! Puji aja terus, Bu. Ibu memang cuma sayang sama Lina. Nggak pernah sedikit pun Ibu coba untuk ngerti perasaan Luna. Kalau emang Ibu perhatian sama Luna, kenapa Ibu nggak dari awal bilang kalau Ibu nggak suka sama Mas Farel?! Kenapa Ibu diam lihat kedekatan Luna dan Mas Farel? Itu karena Ibu nggak pernah peduli sama Luna, kan? Ibu pilih kasih! Ibu cuma anggap Lina sebagai anak Ibu dan…” “Cukup Luna!” bentak ibuku. “Ibu nggak suka kamu jadi kurang ajar seperti itu. Pokoknya kamu harus tolak lamaran Farel!” Ibuku pun masuk ke kamarnya. Aku kalut.
Hari berikutnya, aku harus kembali ke rumah warisan yangada di Jogja. Karena aku diterima di salah satu universitas di sana, jadi aku pun memilih tinggal di rumah itu. Hatiku benar-benar tidak tenang. Ketidakakuran dengan ibuku dan kegalauanku akan lamaran Mas Farel benar-benar menyita pikiran, energi, dan suasana hatiku, sehingga kuputuskan untuk membeli banyak coklat di mini market dekat rumah. Selesai membeli, aku kembali ke parkiran samping mini market yang lebih sepi dari pada parkiran di depan mini market. Entah karena lemas atau malas, aku malah terdiam di motor dan melamun.
“Mbak, mbak,” panggil seseorang dari belakangku. “Eh i..iya Mas, kenapa?” “Misi Mbak, saya mau pulang,” jawabnya ramah. Lalu aku pun mempersilahkannya, “Oh iya, silahkan, Mas.” “Iya, tapi saya nggak bisa pulang kalau Mbaknya tetep di motor saya.”
“Hah? Motornya Mas?” Aku dengan polosnya melihat lebih jeli ke motor yang aku duduki. Ternyata motorku ada di sebelah motornya, karena mirip aku pun salah mengira. Aku turun dari motornya sambil meminta maaf. Laki-laki itu pun tertawa kecil, lalu berkata dengan halusnya, “Iya nggak apa-apa.Makanya jangan ngelamun malam-malam, Mbak.” Aku hanya mengangguk kecil. Tapi, seolah masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri, aku lagi-lagi malah melamun di atas motorku. Aku mendengar dia menyalakan mesin motornya, tapi kemudian dia mematikan mesinnya, lalu berkata kepadaku, “Yah, Mbak, kok ngelamun lagi? Mbak lagi ada masalah ya? Murung gitu mukanya.” Tanpa menoleh padanya, aku tersenyum kecut lalu mengangguk. “Kalau mau, cerita aja sama saya, Mbak. Nggak baik mendam masalah sendiri, nanti jadi penyakit lho.” Awalnya aku tidak ingin bercerita padanya. Dia siapa? Aku bahkan tidak tahu namanya. Tapi rupanya bibirku sudah tidak bisa dikunci lagi.A ku memang membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkanku saat ini.
“Pasti ada alasan kenapa ibunya Mbak Luna itu lebih kasih perhatian ke saudaranya Mbak Luna. Seorang ibu pasti sayang sama semua anak-anaknya tanpa terkecuali kok, Mbak. Buktinya ibunya Mbak Luna menolak untuk menyetujui lamaran calonnya Mbak Luna demi masa depan Mbak Luna, kan? Sekalipun membandingkan dengan suami saudaranya Mbak Luna yang alim dan satu keyakinan itu,” kata laki-laki itu mengeluarkan pendapatnya setelah mendengar masalahku. “Terus saya harus gimana ya menurut Mas?”
“Saya pribadi sih lebih mementingkan hubungan Mbak Luna sama ibunya Mbak Luna. Coba juga untuk lebih terbuka dan lebih dekat sama saudaranya Mbak Luna. Keakraban dan keharmonisan keluarga itu penting lho, Mbak. Kebahagiaan yang paling mudah kita peroleh adalah dari keluarga kita sendiri, karena kita tinggal lebih sering dengan mereka, kan? Eh, tapi ini bukan bermaksud menggurui lho, Mbak. Keputusan semua tetap terserah sama Mbak Luna.” Dengan seksama aku mendengarkan, dan dia masih melanjutkan, “Terus, kalau masalah calonnya Mbak Luna, saya sendiri kurang tahu harus gimana. Jodoh itu kan di tangan Allah SWT. Jodoh saya sendiri aja saya nggak tahu, masak saya ngutak-atik jodoh orang lain. Kalau Mbak Luna siap menghadapi semua resiko dalam memilih calonnya Mbak Luna yang beda agama itu, ya silahkan pilih jalan itu. Tapi kalau Mbak Luna ragu-ragu, lebih baik nggak usah sekalian, Mbak.” Aku menyetujui kata-katanya, tapi tetap saja berat untuk mengambil keputusan.“ Dipikir matang-matang dulu aja, Mbak.Jangan lupa shalat istikharah, Insya Allah bisa menolong.”
“Iya, Mas. Makasih banyak ya Mas udah sukarela jadi tempat curhat. Dan maaf, malah jadi ganggu, harusnya Mas udah bisa pulang dari tadikan,” kataku dengan tulus. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Dia benar-benar baik, bahkan dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang ke rumah karena sudah malam. Ketika dia pulang, aku baru sadar betapa bodohnya aku karena lupa menanyakan namanya dan betapa lambannya aku karena baru sadar kalau dia mengetahui namaku padahal aku tidak menyebutkan namaku.***
“Luna, apa iya kita harus berpisah?” Dengan sedih aku mengangguk. “Apa nggak bisa kita meyakinkan ibumu agar merestui kita?” Aku menunduk lalu menggeleng pelan. “Kita kan belum usaha, Lun.” “Percuma, Mas. Ibuku itu keras kepala,” balasku. “Jadi aku benar-benar nggak punya kesempatan?” “Maaf, Mas,” jawabku pelan. “Mas, sebaiknya pulang aja.Aku mau istirahat.” “Tunggu, Luna,” ucapnya ketika aku mau masuk ke rumah. “Apa kamu nggak mencintaiku lagi? Apakah aku benar-benar harus melupakanmu sebagai orang yang aku sayang?” Aku terdiam sambil tetap bediri membelakanginya, lalu kujawab, “Aku nggak cukup berani untuk menyebrangi batas yang ada. Aku nggak cukup kuat untuk menghancurkan tembok yang sangat kokoh di antara kita. Jalan terbaik kita memang harus berpisah. Aku harap Mas Farel mau mengerti.” Tanpa melihatnya, aku masuk ke rumah. Aku tidak menginginkan perpisahan seperti ini, tapi hanya ini yang bisa kulakukan agar dia mengerti. Ya, seperti itulah perpisahanku dengan Mas Farel. Menyakitkan.
Aku paling tidak bisa diam jika perasaanku sedang kacau. Aku pasti memilih keluar rumah dan pergi ke mana pun langkah kaki membawaku. Dan ketika aku melewati mini market, aku pun teringat seseorang. Kuputuskan untuk masuk ke dalam mini market, yang sebenarnya tidak mini karena ruangannya digabung dengan cafĂ© di sebelahnya. Aku mencari-cari sosok laki-laki yang samar-samar masih terekam di otakku. Aku pun berjalan menuju beberapa rak di dekat kasir dan kudapati laki-laki yang kucari sedang mengisi rak dengan bungkusan mie instan. “Mas,” panggilku setengah berbisik. “Iya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” Mendengar responnya yang formal, aku pun meragu. “Jangan-jangan aku salah orang,” pikirku. “Ada apa, Mbak Luna?” tanyanya sekali lagi dengan ramah. “Lho, kok kamu tahu namaku, Mas?” Sambil tersenyum, dia menjawab, “Mbak lupa? Mbak Luna kan punya member card yang Mbak pakai kalau belanja. Mbak juga sering belanja di sini, makanya saya cukup hafal Mbak Luna.” Aku pun ber-oh mendengar penjelasannya sambil mengangguk tanda mengerti. “Wah, nggak adil dong Mas kalau cuma Mas yang tahu namaku.” Laki-laki berwajah oval itu tertawa kecil karena mengerti maksudku. “Yossy,” katanya sambil melanjutkan pekerjaannya. “Ooh, Yossy. Eh, Mas Yossy selesai jam berapa shiftnya hari ini?” “Habis ini ganti shift kok, Mbak,” ucapnya sambil menunjuk ke kardus isi bungkusan mie yang siap diletakkan dalam rak. “Kenapa memang?”
“Emm, sebagai ucapan terima kasih, aku mau mentraktir Mas Yossy, itu juga kalau Mas Yossy nggak sibuk.” Kata dia hal itu tidak perlu aku lakukan, tapi aku tetap saja memaksanya karena dia juga sedang tidak terburu-buru. “Eh Mas Yoss, jangan berharap banyak dulu ya, aku nggak bisa mentraktir yang mahal-mahal.Maklum, dompet mahasiswa,” kataku dengan polosnya dan dia lagi-lagi tertawa kecil sambil mengangguk-angguk.
***_***
(pernah dikirim dengan judul Cinta Datang Terlambat)
Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management