Sunday, November 23, 2014

Yossy #2


 Part 2
Aku membuka mata mendengar pintu yang berdecit pelan dan seseorang datang menjengukku, seseorang yang lama kurindukan. Dia tersenyum dan berjalan mendekat membawa satu paket buah untukku.“Pagi, bagaimana kabarnya, Bu Luna?” tanyanya. Aku tertawa kecil lalu menjawab,”Nggak perlu kaku begitu, aneh tahu. Begini-begini aku juga masih gaul kok.”
***_***
Awal semester tiga aku awali dengan bangun kesiangan, padahal dosen pagi itu sungguh killer, kegarangannya seolah-olah mampu membunuhku seketika di tempat. Namun ketika di kelas, tak kusangka, ada yang lebih garang daripada Pak Dosen. Dia seniorku yang super cuek dan super jutek. Sekalipun pakaiannya termasuk sopan, tetap saja keberandalannya masih terlihat. Aku masih ingat betul, saat  itu Pak Dosen tidak dapat hadir sehingga beliau memberi tugas yang langsung dikumpulkan  ketika jam kelas berakhir. Di saat semua sibuk dengan tugas, senior itu justru sibuk dengan urusannya sendiri. Aku penasaran dengan apa yang sedang dia lakukan, sehingga tanpa sadar aku memperhatikannya cukup lama. Dan aku ketahuan!
“Kenapa lihat-lihat? Suka?” tanyanya jutek. Antara kaget, malu, takut, tapi juga penasaran aku merespon, “Eng..nggak kok, Mas. Cuma heran aja, kok tugasnya nggak dikerjakan?” Masih dengan nada yang sama dia menjawab, “Suka-suka aku lah.” Sedikit sebal, aku kembali mengerjakan tugasku. Ketika aku berdiri dari kursi ingin mengumpulkan tugas, senior jutek itu berteriak, “Awas! Jangan diinjak!” Terkejut, aku melihat ke bawah. Ada satu foto yang hampir aku injak. Aku pun mengambilnya dan kucermati foto itu. “Baluran!” kataku tercengang. Rupanya laki-laki itu pun kaget. “Kamu tahu Baluran?”
“Iyalah, dari kecil aku pengin banget ke sana, tapi belum kesampaian. Mas pernah ke sana?” tanyaku sambil mengembalikan fotonya. “Pernah dong, ini kan juga hasil jepretanku,” katanya dengan bangga. Aku melihat beberapa foto berserakan di hadapannya, dan beberapa foto yang lain sudah ditempel di sebuah buku miliknya. “Sebenarnya Mas lagi ngapain sih?” tanyaku seolah lupa kejutekkannya. “Lagi nempel-nempel foto aja,” jawabnya datar. Tanpa izin, aku melihat foto yang berserakan dan takjub dengan foto-foto itu. Dari pemandangan pantai, gunung, sungai, hutan, gua, candi, dan air terjun, semuanya ada. “Kamu mau lihat yang ini?” tawarnya sambil menunjukkan bukunya. Dengan senang, aku pun melihat-lihat isinya. Banyak tempelan foto-foto perjalanannya beserta sedikit keterangan di bukunya itu. Dan yang pasti, dia terlihat berbeda di foto-fotonya. Terlihat begitu ceria, bahagia, dan menikmati alam sekitarnya. Sungguh berbeda dari dia yang galak dan jutek. Aku sering bertanya seputar foto-foto itu, dan aku tidak menyangka dia justru dengan senangnya menceritakan pengalaman-pengalamannya. Aku kira dia akan membentak atau menjawab seadanya dan sedatarnya.Perubahan yang drastis.
“Muka dan penampilannya garang sih, tapi ternyata orangnya asyik juga kalau diajak ngobrol,” kataku bercerita dengan semangat, tapi lawan bicaraku hanya tersenyum, sungguh manis. “Kok malah senyum-senyum? Kenapa? Ada yang aneh sama ceritaku?” tanyaku kebingungan. “Nggak sama sekali.” “Terus?” “Ya aku senyum karena aku lega dan senang sekarang kamu nggak sedih terus gara-gara mantanmu. ”Lalu laki-laki yang baru saja aku bicarakan itu datang menjemputku. “Wah, ternyata Edo udah di depan. Aku duluan ya, Mas Yoss. Maaf jadi nyita waktu kerjanya, hehe…”
“Santai aja, kebetulan juga lagi nggak banyak pembeli,” jawab Mas Yossy, lalu aku pun beranjak pergi. Perkataannya benar. Aku berhasil melupakan kesedihanku tentang Mas Farel. Bahkan aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Mungkin itu karena aku sepenuhnya tinggal di kota ini, bersama dengan ibuku, sehingga aku tidak perlu kembali ke kampung halaman. Sayangnya, aku masih jarang berkomunikasi dengan ibuku meskipun kita sudah satu rumah kembali dan aku merasa tidak betah jika ada kakakku yang sesekali menginap.
***
Beberapa tahun berlalu. Aku dan Edo menjadi sangat akrab, tapi dia tidak pernah memberikan ketegasan tentang hubungan kita. Aku merasa kita memiliki perasaan yang sama, tapi aku meragu karena dia selalu menghindari pembicaraan yang menyinggung tentang itu dan lebih menganggapku sebagai sahabatnya. Sampai suatu hari, ketika aku berada di taman dengan Edo, ibuku menelpon. Ibuku  ingin berbicara dengan Edo begitu tahu aku sedang bersamanya. “Dia bilang apa aja ke kamu?” tanyaku ingin tahu. Raut wajah yang bingung dan sedih terlihat dari dirinya. “Ibumu kangen sama aku, katanya aku udah jarang main ke rumah.”
“Walah, iyalah, kita kan lagi sibuk-sibuknya skripsi. Terus kenapa kamu kelihatan bingung,  Do?” Dengan ragu dia mengatakan, ”Ibumu tanya kapan aku melamar dan nikahin kamu.” Aku terdiam sesaat. Ada perasaan senang karena itu artinya ibuku menyetujui jika aku memilihnya sebagai pendamping hidup. Sayangnya, orang yang aku inginkan itu entah benar-benar menginginkanku atau tidak. “Halah, udahlah nggak usah dianggap serius. Itu cuma ledekkan ibuku aja kok,” kataku berusaha terlihat santai. Responku tadi rupanya tidak mempengaruhinya. Akhir-akhir ini Edo memang terlihat berbeda. Dia biasanya tetap ceria, semangat, dan santai menghadapi masalah-masalah yang dia alami. Apa dia mulai sadar betapa pentingnya masalah skripsi sehingga dia menyesal karena seharusnya dia lulus tahun lalu? Atau apakah dia mulai memikirkan perjalanan hubunganku dan dia? Aku terdiam lagi dalam lamunan. Suasana semakin canggung, aku pun memutuskan untuk pulang terlebih dulu. “Jangan pergi,” ucap Edo dengan suara pelan. Aku pun kembali duduk di sampingnya. Aku tahu apa yang sedang dia pikirkan sehingga aku hanya menunggunya berbicara. Dia pun memulai narasinya, narasi yang berbeda dari narasi-narasi dia sebelumnya. Narasi yang dia ceritakan kali ini bukan tentang adventure-nya, tapi tentang alasan mengapa dia sampai sekarang tidak ingin memiliki hubungan yang serius dengan wanita mana pun.
“Aku tahu kamu benci kekangan, but it doesn’t mean you can generalizeother people. Kamu nggak bisa menganggap semua orang itu sama. Nggak semua perempuan over posesif seperti mantanmu atau mantan temanmu. Mungkin kalian memang belum beruntung dan belum menemukan orang yang tepat untuk kalian,” kataku berpendapat. “Ya wajar sih untuk orang yang suka berpetualang seperti kamu pasti nggak ingin punya pasangan yang suka mengatur dan mengekang. Lagian mana ada orang yang mau jadi tahanan seumur hidup. Tapi kalau kamu, para laki-laki pengelana, bisa kasih pengertian dan kepercayaan ke para perempuan yang ditinggal berkelana, mereka bisa berubah dan mengerti kok. Dan aku yakin kamu atau teman kamu itu akan menemukan pasangan yang pengertian yang nggak suka mengekang kebebasanmu. Syukur-syukur dapat perempuan yang punya hobi sama.”
“Seperti kamu ya, Lun?” celetuk Edo. Dengan salah tingkahnya aku menjawab,”Y..ya nggak cuma aku. Pasti banyak perempuan lain yang satu hobi lah.” “Sehobi tapi belum tentu sebaik dan sepengertian kamu.”Aku makin salah tingkah, dan kurasakan wajahku mulai memanas dan pasti memerah. Syukurlah, Edo sepertinya lebih lega setelah menceritakan ketakutannya itu.
Singkat cerita, hari kelulusan pun datang. Akhirnya aku dan senior kesayanganku itu lulus bersamaan. Kebahagiaanku bertambah akan kejutan yang dia siapkan untukku. Lamaran! Ya, Edo melamarku di hadapan ibu, kakak, dan kakak iparku, dan disaksikan banyak orang, termasuk beberapa teman-temanku. Dengan senang hati aku menerimanya dan dia melebarkan tangannya, memintaku untuk memeluknya dalam kebahagiaan.Seketika itu, orang-orang di sekitar kita bersorak dan teman-temanku memberi selamat. Aku jujur bahwa aku sangat bahagia, tapi entah mengapa masih ada sesuatu yang mengganjal perasaanku. Dan saat itu aku seperti melihat sosok Mas Yossy jauh di depanku. Begitu aku mencoba mendekat, dia menghilang dalam keramaian. Malamnya, aku berniat menemui Mas Yossy di mini market, tetapi ternyata dia tidak ada. Maka kuputuskan untuk bertanya pada salah satu pegawai di sana. Rupanya Mas Yossy mengambil cuti satu hari untuk hadir dalam wisuda kenalannya. Aku berpikir ulang, “Jangan-jangan yang tadi aku lihat itu benar Mas Yossy.”
Banyak yang ingin kuceritakan padanya, tapi aku terlalu sibuk mempersiapkan pernikahanku dengan Edo, mempersiapkan fisik maupun mental. Satu minggu sebelum hari akad nikah, akhirnya aku bisa menemui Mas Yossy. Hari kamis, jadwalnya hanya sampai siang hari, karena itu aku datang ke sana sekitar jam dua siang. Aku sangat senang ketika melihatnya ada di bagian kasir. Aku melambaikan tangan dari jauh ketika dia melihatku, lalu bertanya tanpa suara, “Masih sibuk?” “Nggak kok,” jawabnya tanpa bersuara sambil menggelengkan kepala. Lalu aku pun menunggunya di cafĂ© sebelah mini market. Kuperhatikan dia yang masih melayani beberapa pembeli lagi. Dia tetap ramah seperti biasa. Semakin aku melihatnya, semakin aku merasa seperti ada rasa rindu yang terobati, apalagi ketika melihatnya tersenyum padaku. Tapi senyum itu memudar seketika begitu aku memberitahunya aku akan menikah. Aku tidak tahu mengapa dia bersikap aneh setelah menerima undangan pernikahan dariku. Dia tidak berbakat dalam seni peran, sehingga aku tahu senyumnya bukan senyum yang sesungguhnya. Matanya tidak dapat membohongiku bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. “Kenapa ada kesedihan dalam ucapan selamatmu?” tanyaku dalam hati.
Hari pernikahanku pun tiba. Sebelum acara dimulai, aku masih duduk di ruang rias, menatapi foto keluarga Edo ketika Edo masih kecil. Aku sangat bahagia, tapi seandainya ayah kandungku dan ibu kandung Edo masih hidup, pasti aku akan lebih bahagia lagi. Tiba-tiba ibuku masuk dan melihat foto yang kupegang. Ibuku terlihat sangat terkejut melihat foto itu. Dari nada suaranya, ibuku mulai ketakutan. “A..Ayu..?” gumamnya pelan sambil tetap melihat foto itu. “Lho ibu kenal almarhumah  ibunya Edo?” “Ibu kandung?!” kata ibuku makin kaget dan mulai gemetaran tidak percaya. Aku meminta ibuku duduk dan menenangkan diri sejenak. Setelah itu ibuku mulai berbicara. “Pernikahan kalian harus dibatalkan.” “Apa, Bu? Batal?! Ke..kenapa?” Ibuku mulai menangis dan memelukku, lalu dengan sedih ibuku bergumam, “Ya Allah, kenapa ini harus terjadi?” Aku sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kalian nggak boleh menikah, Luna. Itu karena… karena… kamu dan Edo…”
“Kenapa dengan aku dan Edo, Bu?” desakku. Masih menangis, ibuku menjawab, “Kalian saudara sepersusuan.” Syok yang tidak mungkin terelakkan. Kali ini aku yang harus menenangkan diri. Aku benar-benar tidak percaya apa yang dikatakan ibuku. Tapi ibuku menjelaskan semuanya padaku. Ketika aku lahir, ibuku tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk menyusuiku sehingga aku mendapat asi dari ibunya Edo yang saat itu menjadi tetangga ibuku. Beberapa tahun kemudian, keluarga mereka pindah dan ibuku kehilangan kontak dengannya.Sungguh malang. Sekarang, batal sudah pernikahanku. Aku merasa sangat depresi. Kenapa aku selalu gagal?! Pertama adalah Mas Farel karena kita berbeda agama, sekarang Edo karena kita saudara sepersusuan. Apa yang salah denganku? Apa aku sudah dikutuk untuk tidak menikah? Aku tidak percaya dengan semua ini. Aku berharap, sangat berharap ini hanya mimpi buruk.
Satu hal yang ingin kulakukan, bertemu dan bercerita dengan Mas Yossy. Tapi bukannya membaik, perasaanku justru makin hancur begitu tahu Mas Yossy cuti kerja karena akan menikah! Sungguh perasaanku hancur, lebih hancur ketika berpisah dengan Mas Farel, dan lebih hancur ketika pernikahanku batal. Ini sangat menyakitkan dan aku tidak dapat berhenti untuk menangis, meskipun dalam pelukan ibuku. Pelukan ibuku yang lama kurindukan. Aku tidak ingat kapan terakhir kali ibuku memelukku dengan hangatnya. Ibuku tidak menanyakan apapun, begitu juga dengan aku yang tidak ingin menceritakan segalanya.
***_***
Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management