Monday, November 24, 2014

Yossy #end


 Part 3

Dia duduk di sampingku, menemaniku yang sedang terkulai lemah di ruang inap. “Kamu ke sini sendirian, Do? Nggak sama orang spesial atau undangan special mungkin?” tanyaku iseng untuk memecah keheningan. Dia paham maksudku, tapi dia hanya menjawab sambil tersenyum, ”Nggak, Lun.“ Ya, dia memang tersenyum, tapi tersenyum getir. Tidak lama dia menjenguk dan menemaniku, karena aku harus istirahat. Namun, dalam pertemuan singkat ini, aku dapat melihat belum ada yang berubah dari dirinya, perasaan maupun sikapnya untukku. Caranya menatap, nadanya ketika bercerita dan bercengkrama, dan dalam sentuhan-sentuhan kecilnya aku masih dapat merasakan apa yang ada dalam isi hatinya. Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Kita tidak boleh bersama, dan aku pun telah mencintai orang lain. Aku hanya berdoa agar dia mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.
***_***
Bertahun-tahun telah berlalu.Kini aku yang menginjak umur 26 tahun bekerja sebagai editor sebuah perusahaan penerbitan di luar kota Jogja. Banyak yang sudah mendesakku untuk segera menikah, tapi aku masih belum bisa. Awalnya kupikir karena aku trauma, tapi ternyata karena aku tidak bisa melupakan Mas Yossy. Aku sadar bahwa aku mencintainya, sayangnya semua sudah terlambat. Namun, aku tidak menyia-nyiakan hidupku begitu saja. Aku ingat nasihatnya ketika kita pertama kali bertemu. Aku menyadari kebahagiaan yang paling mudah kita dapat adalah kebahagiaan yang berasal dari keluarga kita. Aku kini tahu betapa pentingnya kebahagiaan dan keharmonisan dalam keluarga. Selama ini aku memang salah karena aku terlalu egois dan menutup mata juga menutup hati untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam keluargaku.
Aku telah diselimuti kebencian yang membuatku buta akan kebenaran. Masa lalu yang tidak pernah aku ketahui, masa lalu ibuku yang tanpa perasaan bercerai dengan ayah tiriku dan Kak Lina yang selama ini kubenci karena merebut seluruh perhatian ibuku setelah perceraiannya. Kenyataan bahwa ayah tiriku tidak pernah mencintai ibuku, kenyataan bahwa ayah tiriku ‘sakit’, kenyataan bahwa kakakku hampir diperkosa ketika masih berumur 10 tahun oleh ayah tiriku itu sehingga membuat ibuku langsung meminta cerai karena takut aku menjadi korban berikutnya, semua disembunyikan dariku. Kakakku mengalami trauma, karena itu ibuku sangat perhatian padanya. Bahkan meskipun Kak Lina sudah menikah dengan Mas Danang, dia masih takut untuk bermesraan dengan suaminya, sehingga kakakku tetap harus diterapi. Andai aku tetap tidak mempedulikan mereka, mungkin sekarang aku akan merasa hidup sendirian, tanpa merasakan kebersamaan sebuah keluarga. Mengingat semua ini membuatku bersyukur telah dipertemukan dengan Mas Yossy, meskipun aku tidak pernah tahu di mana dia berada setelah dia menikah.
Hujan gerimis menemani makan siangku di kafetaria di seberang kantor. Sembari menunggu pesanan, aku menulis singkat dalam diary coklat-mini milikku, “Seperti Malam yang merindukan Bulan-Bintang agar mampu membuatnya tampak sempurna, aku merindukan laki-laki itu yang telah sempat menyempurnakanku”. Belum sempat aku memberi titik pada tulisanku, seseorang memanggilku entah darimana. Aku tidak menemukan siapa yang memanggilku, tapi aku merasa sangat mengenal suara itu. Baru satu detik aku kembali fokus pada diary-ku, seseorang mendekat dan memanggilku, “Luna.” Aku mendongak dan dia tersenyum ramah, sungguh manis. Aku masih terdiam membisu dan membatin, “Mimpikah aku?” Laki-laki yang berdiri di depanku bertanya, “Luna, kan?”
“Mas…Y..yos…sy?” tanyaku balik untuk memastikan. Tidak salah lagi, orang yang berbicara denganku adalah Mas Yossy. Pedih memang mengingat dia telah memiliki keluarga kecilnya sendiri. Tapi aku sudah tidak apa-apa dan aku kuat. Kita hanya sempat berbasa-basi di jam makan siang, tapi dia mengajakku bertemu lagi sepulang kerja karena kebetulan dia bekerja sebagai manager pemasaran di kantor yang letaknya dua blok dari kafetaria.Tentu saja aku senang dengan ajakan tersebut, namun aku juga takut. Aku takut aku makin tidak dapat lepas darinya yang sudah menjadi suami orang lain. Sayangnya aku tidak dapat menahan rasa ingin bertemu dengannya, maka kuiyakan ajakannya.
Kita bertemu dan sekaligus makan malam di warung makan pinggir jalan di dekat kantor. Layaknya sepasang sahabat yang lama tidak berjumpa, sama sekali tidak ada rasa canggung di antara kita. Justru banyak kisah yang kita obrolkan. Aku terkejut ketika tahu bahwa kita sebenarnya bekerja di kantor yang saling berdekatan selama hampir satu tahun, tapi baru sekarang kita dipertemukan. Sesekali dia juga memujiku karena potongan rambutku yang pendek sebahu dan seragam kantor hitam yang rapi sehingga membuatku terlihat lebih ceria tapi dewasa katanya. Ah, wanita mana yang tidak senang dipuji oleh orang terkasih, meskipun dia sudah beristri .Aku sadar dia telah beristri, namun melihat senyumannya yang hangat yang tidak pernah berubah dari waktu ke waktu, membuatku tidak ingin melupakannya.
“Eh, kamu udah izin belum sama suami kamu?” tanya Mas Yossy tiba-tiba. Tentu tidak mengherankan pertanyaan itu terlontar darinya karena dia belum tahu apa yang terjadi. Masa lalu yang pahit, tapi aku akhirnya menceritakan kejadian pada hari itu.Aku tahu kebaikan hati Mas Yossy yang mudah khawatir, karena itu aku menunjukkan bahwa aku baik-baik saja dan memang aku sudah baik-baik saja. Lalu kualihkan topik tentangku menjadi topik tentangnya. Aku pun bertanya balik tentang istrinya, dan keterkejutanku tidak berbeda jauh dengan Mas Yossy ketika mendengar cerita batalnya pernikahanku.
“Kapan?! Kok bisa-bisanya sih kalian cerai, Mas?” tanyaku penasaran. Dengan tenang dia menjawab, “Satu setengah tahun yang lalu. Ya kamu kan tahu sendiri, seorang istri itu butuh diberi nafkah lahir maupun batin. Tapi, aku baru bisa kasih dia nafkah lahir. Akhirnya dia malah cari nafkah batin di tempat lain.”Aku masih berpikir bagaimana mungkin seorang Mas Yossy yang kutahu begitu penyayang dalam hal keluarga tidak bisa memberikan nafkah batin pada istrinya sendiri. “Kenapa Mas nggak kasih nafkah batin? Jangan bilang Mas belum pernah nyentuh dia sama sekali?” Dia diam sejenak, lalu menjawab, ”Bagaimana bisa aku sentuh dia sedangkan dia belum bisa sentuh hatiku.”
“Hah?! Jadi Mas Yossy nggak cinta sama dia? Terus kenapa nikah kalau nggak cinta?” Lagi-lagi hening sejenak, dibarengi dengan helaan nafasnya. “Beberapa faktor memaksaku untuk menikahi Ratri, tapi aku rasa faktor utamanyaadalah karena pernikahan perempuan yang sangat aku cinta dengan orang lain. Karena itu kuputuskan untuk menerima perjodohan keluargaku, jika memang Ratri mau menerimaku sebagai suaminya, yang masih mencintai perempuan lain.” Rumit, tapi aku tahu persis bagaimana perasaan Mas Yossy. “Dan sekarang Mas masih mencintai perempuan itu?” tanyaku pelan, dan entah bagaimana aku merasakan sedikit harapan. Tapi harapan itu memudar kembali setelah mendengar jawabannya, “Iya, masih.” Lalu dia meneruskan kalimatnya, “Tapi aku bahagia, karena ketika aku dan diadipertemukan kembali, aku mengetahui bahwa ternyata dia masih sendiri.” Aku mengernyitkan dahi, berpikir.
“Dulu aku terlalu pengecut untuk menunjukkan perasaanku. Aku pikir emang mungkin lebih baik kalau aku mengalah dengan membiarkan dia bahagia sama orang lain. Aku juga sadar cepat atau lambat mereka berdua akan naik ke pelaminan. Dan setelah tahu dia akan menikah, rupanya aku nggak sanggup menerimanya. Aku memutuskan untuk ambil cuti kerja. Aku pun mempertimbangkan dan membicarakan lagi perjodohanku dengan Ratri. Akhirnya setelah aku menikah, aku nggak cuma cuti kerja tapi mengundurkan diri dan mencari kerja di sekitar sini.”Aku masih mencerna penjelasan dari ceritanya. Aku merasa tidak asing dengan kejadian itu. “Aku tahu kok ada pertanyaan ‘siapa’ di kepalamu,” katanya setelah melihat ekspresiku. Tanpa basa-basi lebih jauh, dia berkata, “Itu kamu.”Antara terkejut dan bahagia, aku masih terdiam tidak percaya. Lebih tidak percaya lagi ketika dia bertanya, “Luna, will you marry me?” Betapa tidak romantisnya.
***_***
Andai dulu aku sadar lebih cepat siapa yang aku cintai dan andai saat itu dia berani menunjukkan perasaannya, mungkin cinta kita takkan terlambat untuk disatukan. Namun, bukankah setiap hal selalu lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Dan itu berlaku pula untuk cinta.
Kini, suamiku senantiasa menjagaku selama aku terbaring lemah di rumah sakit. Pernah suatu waktu, aku tidak tahu mengapa dia membawa satu album foto.“Eh, Mah, aku mau kasih tahu sesuatu yang mengejutkan,” katanya antusias.“Papah gimana sih?Kata dokter, kan aku nggak boleh sampai terkejut,” kataku. “Hahaha, tenang, ini bukan suatu kejutan ekstrim yang berakibat buruk sama kesehatan Mamah kok… Coba Mamah lihat ini.”Dia menunjukkan sebuah foto. Di sana ada aku, Kak Lina, dan Mas Danang. Lalu kucermati foto seseorang di samping Mas Danang.“Papah! Kok Papah bisa ada di foto pernikahan kakakku” tanyaku heran. “Iya, Papah kan kenal sama Mas Danang. Dia itu senior waktu Papah masih kuliah. Tapi Papah sama sekali nggak lihat Mamah selama acara itu. Malahan Papah juga baru sadar ada Mamah di foto ini.”
Sering memang manusia tidak menyadari bahwa jodoh mereka sangat dekat dengan mereka. Tapi akankah Mas Yossy-ku ini benar-benar akan menjadi jodohku sampai aku tiada nanti?Tidak ada yang tahu pasti, namun aku kini hanya mampu meyakini bahwa dialah jodohku.
TamaT
(Putri Sintha)
Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management