Tuesday, November 18, 2014

Senyum Kala Senja

SENYUM KALA SENJA


 “Bayu!, ini pasti kerjaan kamu, kan?!” teriakku sambil terengah-engah. Tidak ada jawaban, tetapi aku masih mendengar ada beberapa orang menahan tawa sembari melangkah pergi. Lalu suasana menjadi hening. Aku tetap berteriak meminta tolong. Tenggorokkanku mulai terasa serak, sampai-sampai sulit untuk berbicara. Lalu aku alihkan tenaga untuk melepas ikatan. Satu jam berlalu. Gelap, dan itu membuatku panik. Ikatan di tanganku mulai mengendur, tapi tetap tidak bisa lepas. Aku pun pasrah.
Lalu seseorang melepas plastik hitam di kepalaku, tapi tidak ada orang di hadapanku. Aku yakin mereka bersembunyi di balik pilar besar tempat mereka mengikatku. Beberapa detik kemudian, nyanyian itu pun terdengar. “Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday Neta...” Kesal tapi bercampur senang melihat sahabatku, Bayu, yang membawa kue ulang tahun dengan lilin angka 17 di atasnya, dan teman-teman dari Merpati Putih dengan cerianya memberi kejutan, ucapan selamat, juga doa-doa untukku.
Hal-hal seperti itu sudah seperti menjadi ritual di Ekstrakulikuler Merpati Putih. Tapi itulah yang membuat kita menjadi semakin akrab. Dalam keanggotaan Merpati Putih, kita semua satu dan kita adalah keluarga. Tetapi Bayu berbeda. Bukan Merpati Putih yang membuat kita menjadi seperti keluarga, karena dari kecil kita memang sudah seperti keluarga. Ayahku dan Tante Windi, ibunya Bayu, adalah sahabat baik. Kelurga kita sering kali saling berkunjung ke rumah dan merayakan hari-hari spesial bersama. Aku pun mengenal betul bagaimana keluarga Bayu.
Bayu, anak laki-laki 15 tahun yang baru saja memasuki masa SMA, dan selisih dua tahun di bawahku. Aku sering sekali mengejeknya ‘Anak Mamih’ karena dia sangat dimanjakan oleh ibunya. Bagaimana tidak? Dari dulu ibunya sangat menginginkan anak laki-laki, tetapi Allah SWT selalu memberinya anak perempuan, Mbak Bulan dan Mbak Bintang. Begitu Bayu lahir, Tante Windi pun menjadi orang yang paling bahagia dan membuat Bayu menjadi anak kesayangannya.
Selisih umur dua perempuan kakak-beradik itu hanya satu tahun, tetapi selisih umur kakak kedua dengan Bayu cukup jauh, enam tahun. Hal ini juga yang membuat mereka berdua suka sekali usil dan membuat Bayu menangis ketika Bayu masih anak-anak. Setiap kali aku ke rumahnya dan melihat dia diusili kakak-kakanya sampai menangis, aku pun sering menenangkan dan mengajaknya main keluar rumah agar tangisnya berhenti. Ketika Bayu masuk SMA, mereka juga masih suka usil, hanya saja Bayu tidak lagi cengeng seperti dulu dan aku pun tidak perlu menenangkannya.
Pernah suatu kali ketika Bayu masih kelas enam SD, aku main ke rumahnya di waktu yang kurang tepat. Aku ke sana ketika, lagi-lagi, Bayu menangis, dan Tante Windi marah-marah dengan Mbak Bintang. “Kamu kok nakal banget sih sama adekmu. Adekmu ini kan nggak ngapa-ngapain kamu,” kata Tante Windi. “Lha, Ibu tuh terlalu memanjakan Adek. Dia dari tadi nge-game mulu, kayak nggak ada kerjaan lain aja. Main keluar kek, belajar kek, main bola kek. Anak cowok masa’ di rumah terus. Kuper nanti, Bu, kurang pergaulan,” protes Mbak Bintang dan mulailah perdebatan antara Tante Windi dan Mbak Bintang. Aku bingung dan hanya berdiri di depan pintu rumah bagian samping.
Lalu Mbak Bintang sadar akan kehadiranku yang sedaritadi mematung dan dia berkata, “Nah, kebetulan ada Neta. Net, ajak main Bayu tuh, biar dia nggak di rumah terus.” Aku belum mengiyakannya, justru aku melihat respon Tante Windi terlebih dahulu. Tanpa perlawanan. “Malah bengong nih bocah satu,” ucap Mbak Bintang. Aku pun segera mengajak Bayu yang agak ogah-ogahan beranjak dari kamarnya. “Neta, jagain Bayu ya? Mainnya jangan jauh-jauh. Terus hati-hati kalau nyebrang sungai. Jangan main dekat jalan raya juga, banyak motor suka ngebut. Terus jangan beli jajanan di jalan atau warung. Di rumah banyak makanan kok. Kalau capek langsung pulang aja, makan di rumah. Oh iya, Bayu pakai topinya. Panas banget di luar, pusing nanti,” kata Tante Windi menasehati. Mbak Bintang dengan muka kesal hanya menggelengkan kepala dan masuk ke kamarnya. Dengan tenang aku menjawab, “Iya, Tante, tenang aja. Aku bakal jaga Bayu, kan Bayu udah kayak adikku sendiri.”
Tidak satu atau dua kali hal seperti itu terjadi dan tidak satu atau dua kali pula Tante Windi mengingatkanku ketika aku dan Bayu akan bermain di luar. Tante sangat menyayangi Bayu, anak laki-laki satu-satunya. Aku jarang sekali melihat Tante Windi memarahi Bayu. Kadang aku merasa Tante Windi terlalu berlebihan, tapi entahlah. Mungkin ketika aku menjadi seorang ibu, aku akan seperti itu.
Awalnya aku pikir Bayu bahagia dengan semua kasih sayang dan perhatian ibunya. Apalagi banyak tetangga dan teman-teman kerja Tante Windi yang memuji-muji Bayu karena selain dia tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan, dia juga sopan dan pintar. Ibunya merasa begitu bangga dengan Bayu, dan makin sayanglah dia kepada Bayu. Tapi ternyata Bayu tidak sebahagia kelihatannya. Bayu lama-lama merasa terkekang oleh ibunya sendiri. Tidak bisa ini, tidak bisa itu. Tidak boleh itu, tidak boleh ini. Bahkan untuk masuk Merpati Putih pun harus aku yang membujuk Tante Windi agar membolehkan Bayu. Itu pun diperbolehkan karena aku sering berkecimpung di Merpati Putih, sehingga Tante Windi benar-benar memberi tanggung jawab padaku untuk menjaga Bayu.

Hari mulai gelap. Setelah acara ‘surprise’ yang teman-temanku berikan saat itu, aku dan Bayu berencana untuk main ke alun-alun kota dan shalat Isya’ di Masjid Agung. “Argh, sebel! Capek aku kalau diawasin terus sama Ibu. Dikit-dikit izin, bentar-bentar lapor. Sms nggak dibalas, telepon nggak diangkat, langsung deh marah-marah. Berlebihan banget khawatirnya. Coba aku nggak dilahirin di keluargaku yang sekarang ya,” keluh Bayu setelah melihat ke layar handphone-nya. Kaget aku dengar kalimatnya yang terakhir. “Ya ampun, eling Bay, kamu tuh harusnya bersyukur. Itu juga kan karena Ibu sayang sama kamu. Toh demi kebaikanmu juga. Kenapa sih emang? Disuruh pulang sekarang ya?” Bayu tidak segera menjawab, hanya mengangguk sebal. “Ya udah, kita pulang aja. Main kan bisa besok-besok,” kataku sambil mengacak-acak rambut Bayu.
Sayangnya, tidak ada ‘besok-besok’ untuk kita berdua. Tidak ada lagi paket ‘YUTA’, Bayu-Neta. Tidak ada lagi. Bayu pergi meninggalkanku, juga keluarganya. Bayu meninggalkan kita semua. Dia mendahului kita meninggalkan dunia ini. Sakit rasanya. Tetapi lebih sakit lagi melihat Tante Windi, orang yang paling terpukul dengan kematian Bayu karena kecelakaan yang menimpanya.

Empat tahun telah berlalu. Aku berdiri, menatap ukiran nama ‘Bayu Hermawan’ dalam batu nisan. Teringatlah aku pada senyuman yang Bayu berikan ketika ulang tahunku ke-17. Senja itu, Bayu kuberitahu doaku agar dapat terus bersamanya, menjadi sahabatnya, menghabiskan waktu suka-duka bersama, selamanya. Tak kusangka, senyuman kala itu adalah senyum termanis terakhir yang ia hadiahkan untukku. Aku tidak dapat memahami mengapa Allah SWT dengan cepat dan teganya mengambil Bayu dari kami. Tetapi kini, aku sadar. Sekalipun tidak ada seorang pun yang dapat menyaingi perasaan sayang dan cinta Tante Windi terhadap putranya, rupanya ada yang lebih mencintai dan menyayanginya. Ialah dzat yang lebih berkuasa atas segala hal di dunia ini, termasuk kematian yang tidak bisa dikendalikan oleh seorang pun. Mungkin kami, termasuk aku dan terutama Tante Windi, terlalu congkak dan bangga, juga terlalu mencintai Bayu. Aku terlalu bangga memiliki sahabat yang sekaligus kuanggap seperti adik kandungku. Begitu juga Tante Windi yang sangat bangga terhadap Bayu yang selalu dipuji orang lain. Kini bukan rasa bangga lagi yang kumiliki ketika aku menemukan sahabat baru atau bahkan pasangan hidup, karena aku tidak dapat mengendalikan kematian. Bukan rasa bangga, melainkan ketakutan akan kehilangan mereka, lagi. Aku tidak ingin hatiku diperbudak oleh kesombongan sehingga melupakan siapa yang memegang kendali atas hidup kita, kita yang hanya manusia biasa.
(dikirim untuk persyaratan masuk FLPYogyakarta)
Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management