Saturday, November 17, 2012

Berawal dari Awal 3



Suatu hari, saat sedang berkumpul di sanggar pramuka, rahasia bahwa Tyas menyukai Ian hampir terbongkar. Karena Tyas tidak ingin menjadi bahan gossip, dia pun mengelak dengan berkata, “ Nggak lah! Mana mungkin aku suka sama Ian. Bukan tipeku banget! Aku malah sebel tahu!” Tyas mengatakannya dengan sangat jelas dan betapa terkejutnya dia saat Ian yang ternyata ada di belakangnya berkata dengan sinis, “Oh, maaf deh kalau aku bukan tipemu! Tapi, asal tahu aja, kamu juga bukan tipeku kok.” Lalu Ian menoleh ke Aula dan bertanya, ”Eh, La, Awan di mana sih? Aku kira dia di sini.”
”Nggak, paling dia di lapangan basket,” jawab Aula.
”Thanks.” Ian langsung pergi sedangkan Tyas masih berdiri mematung. Hancur sudah hati Tyas. Ingin menangis rasanya. Padahal pertama kalinya Tyas berbicara dengan Ian, tapi mungkin itu yang terakhir pula.
Tyas pun dirundung rasa sedih dan rasa bersalah. Ingin sekali Tyas meminta maaf, tapi dia terlalu takut. Takut Ian tidak mau memaafkannya dan makin membencinya. Malamnya, Kiki menelpon Tyas. Hal yang tidak pernah disangka-sangka Tyas sebelumnya. Tyas pun menjawab telpon itu dengan suara yang lemas dan hal itu membuat Kiki bertanya-tanya.
”Kenapa kamu? Kok kayaknya nggak semangat? Apa karena aku menelpon?” tanya Kiki.
”Nggak kok, nggak. Aku cuma lagi bingung, ada konflik kecil.”
”Konflik kecil kok bikin nggak semangat gitu? Kalau mau, cerita aja ke aku,” respon Kiki. Tyas diam sejenak. Berpikir.
”Sebenarnya hari ini aku nggak sengaja menyakiti perasaan orang lain, dan hal itu menyakiti perasaanku juga. Aku mengatakan sesuatu yang nggak seharusnya aku katakan dan aku benar-benar menyesal.”
”Oalah, ya kamu tinggal minta maaf aja ke dia.”
”Aku takut. Aku nggak terlalu mengenalnya, tapi kesan pertama yang aku berikan malah buruk gini. Jangan-jangan malah dia nggak mau terima maafku. Jangankan menerima, melihat atau berbicara denganku aja mungkin dia nggak mau.”
”Jangan pesimis gitu lah. Sebenarnya itu hak dia sih mau merespon maafmu dengan positif lalu memaafkan kamu, atau dengan negatif dan nggak mau berteman sama kamu. Tapi setidaknya kamu berusaha meminta maaf.” Suasana hening sejenak. Tyas kembali berpikir.
”Tia, kamu masih hidupkah?” ledek Kiki.
”Nggak, lagi pingsan nih,” sahut Tyas.
”Pingsan kok bisa ngomong, haha... Hei, sudahlah, nggak perlu terlalu kamu pikirkan. Cuma tekadkan niat untuk minta maaf dan minta maaflah ketika kamu ketemu dia. Oke?”
”Ya, oke,” jawab Tyas dengan sedikit ragu.
”Tenang aja, ada aku kok yang siap menghibur kamu kalau-kalau kamu sedih karena dia nggak mau memaafkan kamu, haha...,” canda Kiki.
Berkat Kiki, akhirnya Tyas membulatkan tekad untuk meminta maaf. “Tapi gimana caranya minta maaf ya? Kayaknya aku harus tunggu waktu yang tepat buat minta maaf,” ucap Tyas dalam hati.
Malam yang sama, tempat berbeda. Awan dan Aula duduk di teras rumah Aula. Mereka mengkhawatirkan Tyas. Lalu Aula mendapat sebuah ide dan dia berkata pada Awan, “Wan, besok kamu ultah kan? Kita manfaatkan moment itu aja!”
“Maksudnya?” tanya Awan bingung.
“Begini, besok pagi aku minta tolong sama Ian supaya kamu bisa dikurung di sanggar alasaannya aku mau kasih kejutan karena kamu ultah. Kita juga minta bantuan Astri buat manggil Tyas ke sanggar. Terus kita kurung deh mereka berdua. Oh iya, aku juga bilang ke Ian kalau Tyas nggak ikutan. Jadi, ini seolah-olah nggak disengaja. Gimana?”
“Em, boleh juga tuh,” jawab Awan setuju.
=+++=

0 comment:

Post a Comment

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management