Thursday, March 06, 2014

A Trip to the Past II


A Trip to the Past ( T )
Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku jarang bertemu dengan Mas R karena dia sudah sibuk dengan Ujian Nasional. Sedangkan aku? Seperti menganggap angin lalu kejadian itu, aku justru malah fokus dengan T. Bukan fokus, lebih tepatnya makin tertarik dengan T.
Aku mengenalnya pertama kali di tahun 2006 ketika ujian semester berlangsung. Saat itu dia masih kelas tujuh dan aku kelas delapan. Tiap ujian semester, ada suatu sistem di mana kelas tujuh atau kelas satu SMP absen awal hingga tengah akan dicampur dengan kakak kelas, baik kelas dua (kelas delapan) atau pun kelas tiga (kelas sembilan).  Jadi, dalam satu kelas, ada dua angkatan, angkatan adik kelas dan kakak kelas. Tidak hanya itu, bahkan sistem duduknya pun diatur dengan zig-zag terkadang. Sistem yang cukup memusingkan, tapi justru berkat hal ini lah aku dapat bertemu dengan T.
Selama aku mengenalnya dan mengingatnya hingga sekarang, aku jarang sekali berbicara dengannya. Aku masih ingat betul, setiap pagi aku stand by di depan kelas, melihat ke parkiran sepeda di bawah, hanya untuk melihatnya. Setelah dia hilang dari pandangan dan pergi ke kelasnya di lantai tiga, aku pun kembali ke kelas. Dia sama sekali tidak sadar bahwa aku selalu memperhatikan dia. Bahkan karena seringnya aku memperhatikan dia, aku pun tahu di menit-menit berapa dia tiba di sekolah dengan sepedanya. Dan demi untuk sampai di sekolah bersamaan atau setidaknya bertemu di jalan ketika aku di antar ayahku berangkat sekolah, aku memperkirakan kapan dia keluar dari gang rumahnya. Senangnya aku, perkiraanku benar sehingga kita sering bertemu di jalan atau sampai bersamaan di sekolah dan kita pun saling senyum atau menyapa. Hanya itu.
Heran kenapa aku bisa tahu rumahnya, padahal berbicara saja belum pernah? Aku sebenarnya tidak tahu letak rumahnya di mana, tapi aku tahu gang mana di desa mana dia tinggal. Suatu kali, dia pernah naik jalur angkutan umum yang sama denganku yaitu G1. Terkejutnya aku setelah tahu bahwa dia turun di gang Riswan di desa sebelah. Semenjak itu, aku selalu menunggunya sepulang sekolah jika dia tidak memakai sepedanya, tentu saja aku tidak terang-terangan menyatakan bahwa aku menunggunya.
Kelas Sembilan semester awal, aku mengetahui bahwa dia telah menjual sepedanya sehingga dia selalu naik G1. Aku pun mulai sering berangkat dan pulang sekolah naik angkutan umum karena motor ayahku mulai dipakai kakakku ke sekolahnya. Kita menjadi lebih sering bertemu, tapi tidak ada perubahan yang signifikan. Hanya ada sapaan senyum di antara kita.
Meski hanya itu yang terjadi, aku bahagia. Tapi jika bisa aku memutar kembali waktu, aku ingin pergi ke masa-masa ujian semester ganjil akhir tahun 2007. Untuk kedua kalinya kelasku dan kelasnya dicampur. Sayangnya, aku tetap tidak bisa satu ruangan dengannya karena kita sama-sama siswa yang harus pindah ruangan. Dia pindah ke ruang kelaskku dan aku pindah ke ruang kelasnya.
SALAH SATU hal atau kejadian yang masih teringat jelas adalah ketika aku selesai ujian, aku pergi ke ruang kelasku. Aku hanya berniat untuk menemui temanku karena biasanya aku pulang dengannya. Berbeda dengan ruang-ruang kelas 7 dan 8 di lantai tiga dan lantai dua, untuk deretan ruang kelas 9 di lantai dasar dua sisi dinding berbentuk kaca atau jendela sehingga orang di luar kelas dapat melihat ke dalam kelas dan juga sebaliknya. Aku berdiri di depan kaca jendela tengah, melihat ke dalam kelas yang sudah cukup berisik karena banyak murid yang mulai mengumpulkan ujian mereka.
Teman-temanku pun satu persatu mulai keluar kelas dan seperti biasa, mereka mendiskusikan ujian yang baru saja mereka lalui. Tanpa sadar aku mendekat ke arah jendela dan melihat T yang masih serius. Dia, yang masih membaca soal yang diangkatnya tepat satu jengkal dari mukanya, pun menoleh ke kiri dan melihatku di luar kelas. Spontan, tanpa berpikir, aku bertanya, “Udah selesai?”. “Bentar, Mba. Sebentar lagi,” balasnya. Aku pun hanya tersenyum dan dengan pura-pura kembali bergabung dengan teman-temanku.
Terdengar biasa, tapi bagiku saat itu tentu saja keajaiban. Sejak aku pertama mengenal dia, aku tidak pernah berbicara padanya layaknya seorang teman. Setiap kita bertemu, hanya ada senyuman. Karena itulah aku sendiri terkejut dengan apa yang aku lakukan. Lebih terkejut lagi ketika dia merespon.
Aku sama sekali tidak peduli dengan ujian yang baru kita lalui, sehingga aku pun tidak terlalu mengikuti pembicaraan teman-temanku. Aku selalu menoleh ke pintu kelas, melihat apakah dia sudah keluar kelas atau belum.
Ketika dia keluar kelas, aku melihatnya. Dia terus berjalan ke arah gerbang, dan aku masih melihatnya. Kita pun berpandangan, tanpa suatu kata atau senyum. SAAT ITU, dalam diam itu, SEHARUSNYA aku menghiraukan temanku dan menyusulnya ketika  dia terus berjalan dan berlalu. Mungkin aku akan beralasan ada urusan mendadak atau apa pun agar aku tidak tertahan dengan teman-temanku itu. Ini adalah hal bodoh yang tidak pernah kulakukan dan aku sangat menyesal. Kesempatan yang datang satu kali, kesempatan di mana dia tidak dengan teman-temannya, dan kesempatan yang mungkin dapat membuatku lebih dekat denganya tidak hanya sebagai kenalan dan hubungan adik-kakak kelas, hilang dalam sekejap.
Setelah itu, aku tidak pernah mendapatkan kesempatan emas lagi. Aku tersibukkan oleh ujian nasional dan kita pun tidak bisa ‘pulang bersama’ karena aku selalu ada tambahan pelajaran sampai sore demi mempersiapkan ujian nasional. Sekalipun ada kesempatan bertemu, dia selalu dengan teman-temannya dan aku hanya menjadi sosok perempuan yang mengaguminya dari kejauhan. Setelah aku lulus, dan satu tahun setelah kelulusanku pun, dapat terhitung berapa kali aku mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan T. Dan setelah dia memasuki masa SMA, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, bahkan dia sudah melupakanku.
Meskipun berakhir seperti itu, tapi aku tidak menyesalinya. Aku tidak pernah merasa disakiti atau tersakiti. Banyak hal yang masih aku ingat tentang dia dan selalu membuatku tersenyum-senyum sendiri ketika bernostalgia atau ketika aku membaca buku diary-ku. Terlalu banyak kekonyolan saat aku menyukainya. Dan aku sadari bahwa I loved him so much, much, much. My lecturer once said that when we love someone, we have to accept the good side and the bad or the dark side of him or her. Simpelnya, Ketika kita mencintai seseorang, kita harus siap untuk menerima sisi terburuknya. So, if we just accept one of the sides, then we should question our heart whether we really love him/her or not.
That’s what I did back then. Aku melihat perkembangan dia dari dia kelas satu SMP. Dia yang masih polos, lugu, dan lucu. Berubah menjadi anak yang sedikit bandel. Dan puncaknya ketika dia menginjak SMA kelas dua atau kelas sebelas di mana dia suka merokok, ‘main cewek’, dan suka ‘minum’. Meskipun dia seperti itu dan meskipun saat itu aku sendiri sudah memiliki kekasih, aku masih saja memikirkannya dan mencari tahu tentangnya lewat sahabatku yang sekolah di SMA yang sama dengan T. Aku sungguh payah, tidak dapat berbuat apa-apa. Terlebih lagi karena dia tidak mengingatku lagi. Bahkan sekarang, 2014, ketika aku sudah memilih Jogja sebagai tempat tinggalku yang kedua tiga tahun lalu, dia pun ada di sini dua tahun lalu, melanjutkan sekolah di UGM tepatnya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku pun masih tidak pernah bertemu dengannya. Tidak akan ada yang berubah dan tidak akan ada yang terjadi. Semua hanya masa lalu, masa lalu yang manis untukku.
To be continued…

0 comment:

Post a Comment

Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management