Thursday, December 11, 2014

Dua Kata (Keluarga)

Bosan. Jenuh. Aku terlalu termanja oleh kemudahan. Aku menyesal. Tapi aku tidak bisa menyalahkan mereka, orang yang telah merawatku sedari kecil. Aku tidak bisa menyalahkan perlakuan mereka padaku dan pertengkaran rutin mereka. Mengingatnya membuat mataku selalu berair, hatiku pun terbanjiri rasa benci. Kenapa harus aku? Kenapa harus seperti itu? Kenapa aku yang mengalaminya?
Tumbuh dengan melihat bagaimana mereka bersikap dan bertengkar satu sama lain, membuatku muak saja. Aku masih terlalu kecil, dan hanya bisa menangis. Lama-lama, kebiasaan mereka aku tiru, tanpa sadar. Aku dimanja mereka, bukan hanya materi tapi juga kasih sayang. Tapi aku pun dicemburui, dan dibenci seseorang, sampai hampir mati rasanya. Hampir mati melihat kebenciannya, melihat tatapannya, mendengar nada suaranya. Pada akhirnya aku selalu bertengkar dengannya, saudaraku sendiri. Sampai dia menjadi kebanggaan keluargaku, aku tidak pernah bertengkar dengannya, sekaligus jarang berbicara dengannya. Aku sungguh tidak ada apa-apanya. Aku hanya dapat menatapnya, atau mendengar derap langkahnya.
Di satu sisi, dia kukagumi karena prestasinya dan kecerdasannya. Tapi di sisi lain, aku takut, sangat takut, ketika berhadapan dengannya. Aku merasa tertekan. Aku takut jika aku tidak bisa membuatnya bangga. Aku takut aku diremehkan jika aku tidak sesukses dia. Aku takut menjalani kehidupan dewasaku nanti.
Begitu iri aku melihat keluarga bahagia yang harmonis. Apa lagi melihat saudara yang saling bercerita dan bercanda tawa layaknya sahabat. Kenapa aku tidak bisa? Terlalu jauh jarak, dan terlalu tebal dinding pemisah antara kita, jarak dan dinding yang tumbuh mungkin sejak aku lahir.
Andai aku tidak dilahirkan, mungkin cemburu dan benci itu tidak akan muncul. Andai aku tidak dilahirkan, mungkin dia tidak begitu menderita mengalami ketidakadilan yang dilakukan mereka. Aku sudah belasan saat tahu dari mana kebencian itu berasal. Aku paham, dan aku tidak lagi punya kebencian padanya. Tetapi justru kebencian itu berubah menjadi ketakutan juga belas kasih, meski aku tahu dia tidak mungkin dan tidak akan membutuhkan belas kasihan dariku.
Sekarang, rasa benci itu bukan lagi tertuju padanya, tapi pada nasibku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri, entah kenapa. Aku benci karena aku tumbuh seperti ini. Aku benci aku tidak berani melakukan apa pun agar aku menjadi seperti keluarga-keluarga lain yang selalu saling mengasihi satu sama lain. Aku benci tidak dapat menghancurkan bongkahan batu yang memisahkan kita. Aku benci kita terlahir seperti ini.
Adakah yang dapat merubahnya?
Powered by Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management