Story 8
SUKIDA
Begitu
tiba di kos, Chrysta langsung duduk di kasur dan menyandarkan diri. Bengong dan
shock. Chrysta sebenarnya memang sempat
menebak itu akan terjadi. Tapi, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Perasaannya campur aduk. Entah harus berekspresi sedih, kecewa, atau malah
senang.
“Tadi
ngobrol apa aja sama Cloud, Ta?” tanya Ryna, teman satu kos Chrysta yang
kebetulan ada di TKP alias di pendopo saat itu. Chrysta menghela nafas. Ingin bercerita,
tapi terasa sukar. Itu karena selama percakapan dengan Cloud pun, Chrysta speechless. Chrysta mencoba mengingat
kembali dari awal hingga akhir. Tapi dia seperti terkena amnesia sesaat. Kalimat
yang terucap dari Chrysta hanya ‘nggak tahu’ dengan muka pasrah.
“Lho
kok nggak tahu sih?” tanya Ryna. “Coba ceritakan pelan-pelan.”
Chrysta
pun mencoba menceritakannya.
***
Cuaca
masih saja gerimis. Kegelisahanku sedikit menghilang setelah melihat Cloud
datang. Rasa penasaran dengan apa yang sedang terjadi masih menghantuiku.
Kemudian kita berdua duduk di tepi pendopo.
“Ada
apa?” tanyaku to the point.
“Sebentar,
sebentar. Emm, aku bingung mau mulai darimana.” Cloud tampak berpikir keras
lalu dia meminta agar aku bercerita lebih dulu.
“Cerita
apa? Aku nggak punya cerita untuk diceritakan deh kayaknya.”
“Ya
cerita apa pun lah, terserah kamu. Aku belum terlalu siap buat ngomong tentang
aku. Cerita tentang workshop yang baru kamu ikuti tadi juga boleh.”
“Workshop?
Ya, seperti workshop-workshop yang lain. Dapat materi terus dipraktekan secara
langsung. Cuma itu. Nggak ada kisah istimewa yang terjadi.”
Cloud
hanya ber’ooh’ dan mengangguk. Tapi tetap saja terlihat dia sedang berpikir.
Diam sejenak. Aku menunggu.
“Jadi,
sebenarnya ada apa?” tanyaku lagi memecah keheningan. Cloud pun menegakkan
tubuhnya dan mengambil nafas panjang. Terlihat dia akan memulainya.
“Kamu
ingat waktu aku bilang masih dilema untuk masuk rohis karena ada kontradiksi?”
“Iya,
aku ingat,” jawabku dan seketika itu terlintas pikiran bahwa aku yang dia
maksud.
“Sebenarnya
kontradiksi yang aku maksud itu ada hubungannya sama kamu.”
Deg!
Satu dari beberapa tebakanku selama ini terkuak, tepat. Tapi untuk meyakinkan
diriku sendiri, aku hanya berekspresi bingung. Cloud pun mulai berpikir lagi,
bagaimana cara untuk mengungkapkan maksudnya dengan lebih mudah. Akhirnya dia
me-recall semua dari awal, dari mimpinya
pertama kali tentangku.
“Ingat
dulu waktu aku cerita tentang mimpiku? Mimpi kamu dengan Octa.”
Pikiranku
melayang ke masa lalu ketika awal-awal kita mulai dekat. “Ah! Iya, aku ingat.
Yang kamu bilang di mimpi itu aku dekat sekali dengan Octa, kan? Padahal Octa
sudah punya kekasih dalam realitanya. Heran, kenapa malah aku yang bersama
Octa.”
“Aku
juga nggak tahu. Memang beberapa hari itu aku sering kepikiran kamu.”
“Kok
bisa?” kataku dengan heran. “Jangan-jangan yang aku bilang kalau kamu cemburu
itu benar? Karena waktu itu respon kamu nggak menerima tapi juga nggak
menyangkal. Cuma bilang ‘mungkin’ dengan ekspresi yang sedikit serius. Padahal
aku bilang cemburu itu bercanda lho.”
“Yah,
begitulah. Aku juga sebenarnya cemburu kok tentang skandal pra-wedding kamu
sama Danny.”
Glek!
Aku bingung mau merespon apa.
“Emm,
dulu juga waktu ada dua acara Rohis, yang satu tahunan dan yang satu
jalan-jalan ke pantai, aku ngajak kamu kan? Personality
lho.”
Aku
mulai sedikit menangkap ‘sinyal’ tetapi masih dalam diam.
“Kamu
tahu kenapa?”
“Emmm…”
gumamku mencoba berpikir.
“Duh,
gimana ya?” kata Cloud bingung lalu menatapku dan berkata,” Intinya...” Dia
diam sejenak, masih menatapku, aku pun masih menunggu lanjutannya.
0 comment:
Post a Comment