Yes, I am Falling in Love
( Sisi’s story )
Setiap orang pasti
punya hati untuk menyayangi orang lain. Tidak hanya menyayangi orang tua, tapi
juga keluarga dan sahabat. Dan pastinya ada satu orang special di hati kita, yang Insya Allah jadi jodoh kita, atau
setidaknya kita berharap dialah jodoh kita.
Ya itulah manusia. Begitu juga denganku. Aku
yang berumur 19 tahun ini pun punya hati untuk menyayangi juga mencintai. Tapi
sejujurnya aku bukan orang yang mudah sekali memutuskan bahwa ‘Ya, aku cinta
kamu’. Apakah aku tipe perempuan yang sukar jatuh cinta? Entah lah. Yang aku pahami,
aku mudah saja hanya menyukai seseorang tapi untuk cinta itu sendiri perlu
waktu agar aku menyadarinya dan meyakininya.
Hanya dua kali aku
benar-benar merasa ‘Ya, aku jatuh cinta.’ Pertama adalah cinta pertamaku di SMP
kelas 2 saat aku masih 13 tahun. Bahkan aku menyukainya selama empat tahun dan
itu bertepuk sebelah tangan. Tragisnya, sampai lulus SMP pun aku belum
benar-benar jadi temannya. Yang bisa aku lakukan saat itu hanya melihat si anak
laki-laki itu dari kejauhan dan hanya tersenyum serta menyapanya ketika
bertemu.
Di sela-sela waktu empat
tahun itu, tepatnya setelah memasuki masa SMA, aku memang menyukai beberapa
orang, dan bahkan sempat memiliki seseorang yang disebut ‘kekasih’. Tapi terkadang
terbesit kerinduan dengan si First Love. Bukannya jahat, tapi begitulah
perasaanku yang tidak bisa terbendung. Sayangnya, si First Love sudah entah ke
mana. Dan aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sampai sekarang.
Kemudian, aku bertemu
dengan teman lamaku di sebuah reuni empat tahun yang lalu. Dialah yang mampu
mengambil tahta cinta pertamaku di hatiku. Kalau boleh aku membandingkan,
secara fisik dan penampilan, si First Love lebih unggul. Dia lebih tampan,
lebih putih, dan lebih tinggi. Tapi terkadang, atau mungkin sering, hati kita
tidak satu jalan dengan pikiran kita kan?
Berkat pertemuan itu,
aku dan dia menjadi lebih dekat. Aku pun mulai menyukainya. Dan satu tahun
kemudian, kita menjalin sebuah hubungan sebagai pasangan kekasih. Apakah aku
saat itu yakin bahwa di sini, di hatiku, ada keyakinan akan ‘cinta’? Tidak. Aku
hanya merasa menyukainya lebih dari rasa sukaku terhadap orang lain yang pernah
aku sukai tetapi aku tidak merasa adanya ‘dia’ (baca : cinta). Tidak, sampai aku
kehilangan dia.
Sebelum hubungan kita
saat itu benar-benar berakhir, kita sama-sama meragu akan perasaan satu sama
lain. Aku tidak lagi merasakan adanya kebahagiaan dalam dirinya, dan itu
terlihat dari sikapnya yang semakin lama semakin menjauh. Sedangkan dia pun
meragukanku dan menganggap perasaanku padanya mudah berubah hanya karena
kehadiran orang ketiga serta hasutan dari teman-temanku. Saat itu aku
benar-benar merasa sedih dan sakit. Bahkan aku langsung menangis di depan
sahabatku.
Di hari berikutnya, aku
membiarkan diriku dengan duniaku sendiri selama 24 jam. Tanpa kekasihku, tanpa
sahabatku, dan tanpa keluargaku. Kubiarkan diriku me-relax-kan hati serta pikiran dengan pergi ke tempat-tempat yang menenangkan,
sendiri. Aku merenung juga berdoa, berharap aku tahu jawaban dari keadaan saat
itu.
Akhirnya keputusan
telah kubuat. Meskipun aku bukan perempuan yang dengan mudah berhadapan dengan
orang yang aku sukai, meskipun aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dan
omongkan ketika bersamanya dan hanya akan lebih banyak diam di hadapannya, aku
memberanikan diri untuk menemuinya. Itu adalah keputusan yang belum pernah aku
lakukan sebelumnya dan aku sangat takut juga malu. Aku takut akan bagaimana
jika aku tidak bisa mengatakannya dengan baik?; bagaimana jika dia tidak
percaya dengan apa yang akan aku katakan? dan ‘bagaimana jika…’ - ‘bagaimana
jika…’ lainnya.
Lalu apa yang selanjutnya terjadi?
0 comment:
Post a Comment