Esaura
Dimulailah hari-hari
mereka tinggal di villa tersebut. Setiap hari, gadis itu selalu bertanya banyak
hal termasuk tentang villa itu dan tentang Esa. Tetapi Esa hanya mau menjawab
seperlunya saja, tidak mau membuka diri, dan membuka hati. Meskipun sikap Esa
terhadapnya dingin, gadis itu mulai merasa bahwa Esa sebenarnya sangat kesepian
dan menderita. Hal itu dapat terlihat dari sorot matanya. Si Gadis pun makin
penasaran dan ingin tahu lebih banyak lagi tentang kehidupan Esa.
Suatu
pagi, Esa ke lantai atas untuk membangunkan Si Gadis untuk membuatkan sarapan.
Esa terkejut karena ruangan-ruangan di lantai atas semua menjadi rapi. Dia pun
berpikir sambil mengetuk pintu kamar, “Apa semua ini yang merapikan dia? Hebat
juga! Padahal sebelumnya, di sini berantakan sekali. Tapi sejak kapan? Kenapa
aku sampai nggak tahu?”
“Kalau mau jadi patung, jangan di depan pintu
dong!” ucap gadis itu sehingga membuat Esa kaget.
“Heh! Tahu nggak
sekarang jam berapa? Kamu harusnya masak buat sarapan, malah bangun siang,”
kata Esa.
“Woi, bego! Namaku
Aura, tahu! Bukan ‘Heh’ ! Iya, ini
aku baru mau turun ke dapur buat masak.”
“Eh, nggak penting
siapa nama kamu, aku nggak peduli. Namaku juga bukan ‘bego’ ya! Sudah, kamu
nggak perlu buat sarapan. Aku sudah telat untuk ke bengkel,” balas Esa sambil
berlalu.
“Dasar cowok gila! Tahu
begitu, buat apa repot-repot membangunkanku?!” gerutu Aura. Lalu tanpa menoleh
ke arah Aura, Esa berteriak sambil menuruni tangga,” Jadi cewek itu seharusnya
bangunnya pagi-pagi, tahu! Dasar pemalas!”
“Apa?! Pemalas?! Dia
pikir siapa yang merapikan semua tempat di villa ini sampai benar-benar
bersih?“ ucap Aura dengan nada kesal.
Setelah Aura mandi dan sarapan, dia pergi ke
kota untuk membeli persediaan makanan. Di mini market, tidak sengaja dia mendengar
percakapan dua gadis SMA. Mereka berdua membicarakan tentang Esa dan masa
lalunya yang kelam. Mereka membicarakan tentang Esa yang kehilangan keluarga
dan neneknya, dicap sebagai anak pembawa sial saat masih kecil, dan lain-lain.
Aura merasa kasihan dan dia pun berpikir, “Mungkinkah itu alasan kenapa Esa
memilih tinggal di tempat terpencil seperti itu? Dia menganggap bahwa dirinya
memang pembawa sial sehingga tak pernah sekali pun dia mencoba membuka hatinya
untuk menyayangi dan mencintai orang lain karena dia takut kehilangan mereka.
Esa… benar-benar menderita.” Seketika itu, perasaan Aura seperti teriris dan
dia merasakan hatinya tersakiti. Dengan mata berkaca-kaca, dia bertanya pada
dirinya sendiri, “Apa? Apa yang bisa dan harus kulakukan agar dia tidak
menderita lagi? Bagaimana caranya agar dia bisa bahagia menjalani kehidupan
ini?”
Aura pun memutuskan
untuk lebih dekat lagi dengan Esa. Aura mencoba agar Esa membuka hatinya untuk
orang lain. Setiap hari, Aura selalu mengajak bicara Esa. Mereka sering
membicarakan topik pembicaraan yang ringan. Tetapi terkadang juga membicarakan
topik yang rumit-rumit sehingga membuat Esa terkadang tersenyum melihat
keluguan Aura.
to be continue...
0 comment:
Post a Comment