Esaura
Suatu hari, Aura keluar
villa untuk membeli beberapa bumbu masakan di warung yang cukup jauh dari
villa. Dalam perjalanan pulang, Aura dihadang dua preman. Aura sangat
ketakutan, apalagi jalanan itu gelap dan sepi. Saat kedua preman itu mendekat,
Aura berteriak keras. Lalu tiba-tiba Esa ada di depan Aura dan melontarkan
kepalan tangannya ke salah satu preman itu sampai terpental dan terjatuh ke
samping. Lalu preman yang satunya mencoba meninjunya, tetapi berhasil ditangkis
tangan kiri Esa sementara tangan kanannya memukul keras perut si preman itu.
“Awas!!” teriak Aura
dari belakang dan satu detik setelah Esa menoleh, satu hantaman keras dari
preman mengenai pipinya sampai keluar darah dari bibirnya. Tetapi Esa langsung
membalasnya sampai mereka lari terbirit-birit. “Kamu nggak apa-apa, Aura?”
tanya Esa khawatir dan Aura hanya mengangguk.
Kemudian di villa, Aura
mengobati luka-luka Esa dari perkelahian tadi. “Terima kasih sudah menolongku.
Maaf, Sa, aku lupa kalau malam-malam aku dilarang keluar villa sendirian,” kata
Aura dengan menyesal. Esa tetap saja diam sehingga Aura berpikir Esa pasti
marah besar atas kejadian tadi. Kemudian, dengan ekspresi yang susah ditebak
Aura, Esa berkata, “ Besok malam ada festival di kota. Kita akan pergi ke
sana.” Lalu Esa langsung beranjak dari tempat itu. Aura masih terdiam
memikirkan apa yang baru saja dia dengar. Saat Aura akan bertanya, Esa berkata
lagi,” Sebagai penebus kesalahanmu tadi.” Betapa gembiranya Aura mendengar hal
itu.
Mereka
pun bersenang-senang di festival itu. Aura berpenampilan sangat cantik sehingga
membuat semua orang kagum melihatnya. Tetapi sepuluh menit sebelum kembang api
dinyalakan, mereka mendengar orang di sebelah mereka berkata bahwa Aura tidak
cocok bersama dengan lelaki seperti Esa yang dicap sebagai pembawa sial.
Keceriaan yang sebelumnya ada pun hilang meskipun terlihat sikapnya biasa saja.
“Kamu
bukan pembawa sial kok. Peristiwa itu bukan kamu yang salah,” ucap Aura. Esa
pun terkejut dan bertanya, ”Apa maksudmu?”
“Aku
sudah tahu semua. Peristiwa kebakaran yang menimpa keluargamu dan nenekmu
dulu,” jawab Aura. Terpancar kesedihan dari wajah Esa. Lalu Aura meneruskan,
“Sudah, hiraukan saja mereka. Mereka hanya orang yang nggak peduli dan nggak
punya rasa iba sedikit pun. Mereka sama sekali nggak punya perasaan.”
Esa
tersenyum, tetapi bukan senyum bahagia. Dia tersenyum tetapi tersirat
kekecewaan dari wajahnya dan senyumnya seperti mengkasihani dirinya sendiri.
“Oh,
jadi kamu mau bilang kalau kamu merasa kasihan setelah tahu masa laluku.
Ternyata aku salah. Selama ini kamu baik dan perhatian sama aku karena kamu
kasihan sama aku. Bodohnya aku mengharap lebih,” ucap Esa lirih sambil masih
tersenyum.
“Bukan,
bukan itu maksudku. Aku…”
“Cukup!
Aku nggak butuh belas kasihanmu,” potong Esa dengan sinis. “Dari awal memang
nasibku sudah ditentukan. Aku hidup untuk diriku sendiri dan hidup seorang
diri.” Lalu Esa bersiap melangkah pergi.
“Kamu
ngomong apa sih? Kenapa kamu berpikiran seperti itu?” tanya Aura. Esa menoleh
dan dia berkata, “Karena aku ‘esa’. Hanya
aku seorang diri, nggak ada yang lain. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu
sendiri. Jadi, perhatian dan belas kasihanmu nggak akan mengubah apa pun!” Esa
pun pergi meninggalkan Aura.
“Esa…” Suara Aura bergetar
dan dia mulai menangis. Esa hanya menghentikan langkahnya tanpa berbalik
menghadap Aura. “Mungkin bagimu arti ‘esa’
seperti itu. Tapi bagi aku, kamu ‘esa’ku! Hanya satu, hanya kamu, hanya
seorang, nggak ada yang lain. Iya, sekarang aku benar-benar kasihan! Kamu nggak
pernah mau mencoba untuk mengubah nasibmu. Padahal aku cuma mau kamu bahagia,
tapi ternyata percuma. Sia-sia semua karena kamu sendiri yang membuat diri kamu
menderita.” Bunga di langit malam mulai bermunculan. Suaranya mengalahkan suara
tangisan Aura. Mereka terdiam sejenak. Lalu Aura pun berbalik pergi
meninggalkan Esa yang hanya terdiam.
0 comment:
Post a Comment